PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Pengamat Politik dari Universitas Palangka Raya, Ahmad Robi Ulzikri, menyoroti temuan dugaan politik uang oleh salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Barito Utara.
Ahmad Robi Ulzikri menilai. Bahwa politik uang masih menjadi penyakit yang mencederai demokrasi di Indonesia. Temuan Gakkumdu di Barito Utara, menurutnya, menjadi sinyal bahwa praktik ini masih terus berlangsung dalam kontestasi politik.
“Politik uang itu tidak tiba-tiba terjadi kalau tidak ada supply and demand. Kalau di ekonomi ada istilah penjual dan pembeli,” ujarnya, Sabtu (15/3).
Ia menjelaskan, di balik mekanisme ini, selalu ada aktor intelektual yang biasanya memiliki keterkaitan dengan pasangan calon tertentu. Oleh karena itu, ia menantang Gakkumdu untuk mengungkap siapa sosok di balik praktik politik uang tersebut.
“Itu PR Gakkumdu, bisakah mengungkap sampai akarnya? Siapa aktor intelektualnya? Dan afiliasinya ke paslon mana? Semoga dapat terungkap supaya ada efek jera,” jelasnya.
Ia mengungkapkan. Bahwa dalam praktik politik uang, terdapat pihak yang berperan sebagai pemasok dan penerima. Para politisi yang tidak bertanggung jawab menggunakan perantara atau broker politik untuk menawarkan uang kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Siapa supplier-nya? Ya, politisi kotor lewat para broker politik, dan demand-nya adalah oknum masyarakat sebagai pemilik suara yang menerima politik uang. Broker paham kondisi ekonomi masyarakat kita memang butuh uang untuk hidup,” katanya.
Ahmad Robi Ulzikri juga menjelaskan. Bahwa dampak dari politik uang sangat merugikan masyarakat. Menurutnya, kandidat yang menang dengan praktik politik uang akan terikat dalam hubungan politik balas budi dengan pihak yang membantu mereka memperoleh kemenangan.
“Dampak politik uang apa? Para pemenang dari hasil politik uang akan terjerat dalam hubungan politik balas budi antara si pemenang dan si broker. Yang jadi korban justru masyarakat itu sendiri,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) karena korupsi, yang berawal dari praktik politik uang di masa kampanye.
“Sudah banyak kasus kepala daerah kena OTT korupsi, ya karena hasil dari produk politik uang awalnya,” ungkapnya.
Ia mengharapkan, PSU yang seharusnya menjadi instrumen penegakan demokrasi tidak justru berubah menjadi ajang untuk semakin melemahkan demokrasi itu sendiri.
“Jangan sampai PSU yang tadinya untuk menegakkan demokrasi justru malah jadi ajang memberangus demokrasi,” tutupnya.(hfz)