33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Mewaspadai Pinjaman Online

PINJAMAN online terus menjadi isu yang mencuri perhatian publik. Hal itu seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan akses pembiayaan yang mudah, cepat, dan tanpa jaminan. Didukung dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, pinjaman online semakin menarik minat masyarakat pada masa pandemi saat ini.

Pinjaman online atau peer-to-peer lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Di Indonesia, pinjaman online menjadi salah satu jenis financial technology (fintech) yang mengalami pertumbuhan pesat. Berdasar data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai 10 Juni 2021, total jumlah perusahaan pinjaman online terdaftar dan berizin di OJK adalah 125 perusahaan. Data statistik pinjaman online menyebutkan, total akumulasi penyaluran pinjaman online hingga Maret 2021 adalah Rp 181,67 triliun atau meningkat Rp 25,77 triliun dari awal tahun.

Namun, terdapat beberapa hal penting yang perlu diwaspadai dari maraknya pinjaman online. Pertama, tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan pinjaman atau kredit konvensional, pinjaman online memiliki tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi. Hal ini karena risiko dalam pinjaman online yang lebih tinggi dan tidak menggunakan jaminan atau agunan. Bunga pinjaman online per hari 0,05 persen sampai maksimal 0,8 persen apabila per bulan, maka bunganya 1,5 persen sampai 2,4 persen.

Kedua, penyalahgunaan data pribadi. Dalam pinjaman online, penyalahgunaan data pribadi menjadi salah satu persoalan yang paling banyak dilaporkan masyarakat. Penyalahgunaan data pribadi yang paling sering dilakukan antara lain nomor kontak atau telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen karena semuanya dapat disadap perusahaan pinjaman online.

Ketika konsumen dalam kondisi kredit macet, perusahaan pinjaman online akan menghubungi sejumlah nomor kontak yang ada di ponsel konsumen. Bahkan, sering kali metode penagihan yang dilakukan terkesan kurang etis. Keterlibatan debt collector dalam pinjaman online semakin meresahkan karena menggunakan ancaman, teror, dan intimidasi dalam penagihannya. Tidak hanya peminjam yang ditagih, tetapi juga semua kontak yang ada di ponsel peminjam turut ditagih.

Baca Juga :  Korupsi sebagai Produk Transaksi Posisi?

Ketiga, maraknya praktik perusahaan online ilegal. Data statistik Satgas Waspada Investasi (Investment Alert Task Force) menunjukkan bahwa sejak 2018 hingga April 2021 terdapat 3.198 perusahaan online ilegal. Maraknya praktik pinjaman online ilegal berujung pada lemahnya perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Kondisi itu tampak pada penerapan suku bunga yang lebih tinggi, kasus pencurian data pribadi, dan financial crime atau kejahatan keuangan.

 

Dalam konteks bunga, misalnya, bunga akan lebih tinggi apabila konsumen meminjam di pinjaman online ilegal. Di pinjaman online ilegal bunganya bisa lebih tinggi karena mencapai 30 persen atau lebih dengan jumlah denda keterlambatan bisa mencapai 100 persen dari jumlah pokok pinjaman. Artinya, konsumen jasa keuangan perlu mewaspadai apakah pinjaman online tersebut ilegal ataukah sudah terdaftar dan berizin di OJK.

Lantas, bagaimana solusinya? Perlu dipahami bahwa industri fintech adalah industri yang berpotensi risiko tinggi (high risk). Suku bunga yang tinggi, pencurian data pribadi, perusahaan fintech ilegal, misinformation, dan error transaction adalah berbagai risiko yang perlu dimitigasi dengan baik demi menjaga stabilitas moneter dan memperkuat perlindungan konsumen.

Menyikapi berbagai risiko itu, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Pertama, pembentukan undang-undang tentang fintech. Pinjaman online, misalnya, saat ini baru diatur dalam peraturan OJK (POJK). POJK adalah secondary legislation atau peraturan teknis yang tentu saja belum secara komprehensif mengatur dan mengawasi penyelenggaraan industri fintech. Sanksi pidana tidak bisa diatur dalam POJK. Akibatnya, mitigasi risiko dan sanksi pidana tidak bisa diterapkan untuk perusahaan pinjaman online ilegal.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Undang-undang fintech sebagai primary legislation memiliki peran strategis dalam pengaturan dan pengawasan industry fintech. Salah satu negara di dunia yang sudah memiliki undang-undang fintech adalah Meksiko melalui The Mexican Fintech Act yang dibuat pada 2018. Pengaturan mengenai fintech juga dapat kita lihat di Singapura. Di Singapura ada beberapa undang-undang yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai fintech. Sebagai contoh, Payment Services Act 2019 (PS Act).

Selain berfungsi sebagai payung hukum industri fintech, undang-undang fintech berfungsi sebagai legal mitigation bagi para stakeholder untuk mencegah berbagai potensi risiko dalam industri fintech yang dapat mengancam stabilitas moneter, memperkuat perlindungan konsumen, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi digital.

Kedua, pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor fintech. Pertumbuhan pesat industri fintech juga sejalan dengan tingginya sengketa konsumen. Kondisi itu merupakan konsekuensi dari aktivitas interaksi antara pelaku usaha dan konsumen dalam praktik bisnis layanan jasa keuangan.

Eksistensi lembaga penyelesaian sengketa penting sebagai mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement) selain pengadilan. Adanya LAPS di sektor fintech memiliki peran strategis sebagai media perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan.

Ketiga, penguatan edukasi konsumen. Sering kali masyarakat terjebak dengan pinjaman online ilegal karena masih minimnya informasi. Akibatnya, masyarakat terjebak dengan bunga yang tinggi, pencurian data pribadi, penipuan, dan berbagai kejahatan keuangan lainnya.

Karena itu, OJK dan berbagai otoritas terkait seperti Bank Indonesia serta Kementerian Komunikasi dan Informatika terus memperkuat edukasi konsumen. Berbagai segmen konsumen, khususnya generasi milenial, perlu diberi pemahaman lebih akan berbagai potensi risiko dan bagaimana membedakan perusahaan pinjaman online ilegal dengan yang sudah terdaftar dan berizin di OJK. (*)

 

Dona Budi Kharisma, Dosen Hukum E-Commerce dan Fintech Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

PINJAMAN online terus menjadi isu yang mencuri perhatian publik. Hal itu seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan akses pembiayaan yang mudah, cepat, dan tanpa jaminan. Didukung dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, pinjaman online semakin menarik minat masyarakat pada masa pandemi saat ini.

Pinjaman online atau peer-to-peer lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Di Indonesia, pinjaman online menjadi salah satu jenis financial technology (fintech) yang mengalami pertumbuhan pesat. Berdasar data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai 10 Juni 2021, total jumlah perusahaan pinjaman online terdaftar dan berizin di OJK adalah 125 perusahaan. Data statistik pinjaman online menyebutkan, total akumulasi penyaluran pinjaman online hingga Maret 2021 adalah Rp 181,67 triliun atau meningkat Rp 25,77 triliun dari awal tahun.

Namun, terdapat beberapa hal penting yang perlu diwaspadai dari maraknya pinjaman online. Pertama, tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan pinjaman atau kredit konvensional, pinjaman online memiliki tingkat suku bunga yang cenderung lebih tinggi. Hal ini karena risiko dalam pinjaman online yang lebih tinggi dan tidak menggunakan jaminan atau agunan. Bunga pinjaman online per hari 0,05 persen sampai maksimal 0,8 persen apabila per bulan, maka bunganya 1,5 persen sampai 2,4 persen.

Kedua, penyalahgunaan data pribadi. Dalam pinjaman online, penyalahgunaan data pribadi menjadi salah satu persoalan yang paling banyak dilaporkan masyarakat. Penyalahgunaan data pribadi yang paling sering dilakukan antara lain nomor kontak atau telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen karena semuanya dapat disadap perusahaan pinjaman online.

Ketika konsumen dalam kondisi kredit macet, perusahaan pinjaman online akan menghubungi sejumlah nomor kontak yang ada di ponsel konsumen. Bahkan, sering kali metode penagihan yang dilakukan terkesan kurang etis. Keterlibatan debt collector dalam pinjaman online semakin meresahkan karena menggunakan ancaman, teror, dan intimidasi dalam penagihannya. Tidak hanya peminjam yang ditagih, tetapi juga semua kontak yang ada di ponsel peminjam turut ditagih.

Baca Juga :  Korupsi sebagai Produk Transaksi Posisi?

Ketiga, maraknya praktik perusahaan online ilegal. Data statistik Satgas Waspada Investasi (Investment Alert Task Force) menunjukkan bahwa sejak 2018 hingga April 2021 terdapat 3.198 perusahaan online ilegal. Maraknya praktik pinjaman online ilegal berujung pada lemahnya perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Kondisi itu tampak pada penerapan suku bunga yang lebih tinggi, kasus pencurian data pribadi, dan financial crime atau kejahatan keuangan.

 

Dalam konteks bunga, misalnya, bunga akan lebih tinggi apabila konsumen meminjam di pinjaman online ilegal. Di pinjaman online ilegal bunganya bisa lebih tinggi karena mencapai 30 persen atau lebih dengan jumlah denda keterlambatan bisa mencapai 100 persen dari jumlah pokok pinjaman. Artinya, konsumen jasa keuangan perlu mewaspadai apakah pinjaman online tersebut ilegal ataukah sudah terdaftar dan berizin di OJK.

Lantas, bagaimana solusinya? Perlu dipahami bahwa industri fintech adalah industri yang berpotensi risiko tinggi (high risk). Suku bunga yang tinggi, pencurian data pribadi, perusahaan fintech ilegal, misinformation, dan error transaction adalah berbagai risiko yang perlu dimitigasi dengan baik demi menjaga stabilitas moneter dan memperkuat perlindungan konsumen.

Menyikapi berbagai risiko itu, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Pertama, pembentukan undang-undang tentang fintech. Pinjaman online, misalnya, saat ini baru diatur dalam peraturan OJK (POJK). POJK adalah secondary legislation atau peraturan teknis yang tentu saja belum secara komprehensif mengatur dan mengawasi penyelenggaraan industri fintech. Sanksi pidana tidak bisa diatur dalam POJK. Akibatnya, mitigasi risiko dan sanksi pidana tidak bisa diterapkan untuk perusahaan pinjaman online ilegal.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Undang-undang fintech sebagai primary legislation memiliki peran strategis dalam pengaturan dan pengawasan industry fintech. Salah satu negara di dunia yang sudah memiliki undang-undang fintech adalah Meksiko melalui The Mexican Fintech Act yang dibuat pada 2018. Pengaturan mengenai fintech juga dapat kita lihat di Singapura. Di Singapura ada beberapa undang-undang yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai fintech. Sebagai contoh, Payment Services Act 2019 (PS Act).

Selain berfungsi sebagai payung hukum industri fintech, undang-undang fintech berfungsi sebagai legal mitigation bagi para stakeholder untuk mencegah berbagai potensi risiko dalam industri fintech yang dapat mengancam stabilitas moneter, memperkuat perlindungan konsumen, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi digital.

Kedua, pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor fintech. Pertumbuhan pesat industri fintech juga sejalan dengan tingginya sengketa konsumen. Kondisi itu merupakan konsekuensi dari aktivitas interaksi antara pelaku usaha dan konsumen dalam praktik bisnis layanan jasa keuangan.

Eksistensi lembaga penyelesaian sengketa penting sebagai mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement) selain pengadilan. Adanya LAPS di sektor fintech memiliki peran strategis sebagai media perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan.

Ketiga, penguatan edukasi konsumen. Sering kali masyarakat terjebak dengan pinjaman online ilegal karena masih minimnya informasi. Akibatnya, masyarakat terjebak dengan bunga yang tinggi, pencurian data pribadi, penipuan, dan berbagai kejahatan keuangan lainnya.

Karena itu, OJK dan berbagai otoritas terkait seperti Bank Indonesia serta Kementerian Komunikasi dan Informatika terus memperkuat edukasi konsumen. Berbagai segmen konsumen, khususnya generasi milenial, perlu diberi pemahaman lebih akan berbagai potensi risiko dan bagaimana membedakan perusahaan pinjaman online ilegal dengan yang sudah terdaftar dan berizin di OJK. (*)

 

Dona Budi Kharisma, Dosen Hukum E-Commerce dan Fintech Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru