27.5 C
Jakarta
Sunday, May 11, 2025

Korupsi sebagai Produk Transaksi Posisi?

AKANKAH korupsi terus terjadi dan mewabah di jiwa-jiwa politisi? Penetapan Azis Syamsuddin sebagai tersangka oleh KPK kian memperpanjang deret hitung politikus yang korup. Bupati, wali kota, gubernur, serta anggota DPR-DPRD silih berganti menjadi lakon utama penggarongan dana publik. Tidak hanya sampai di sini, aparatur penegak hukum pun mewarnai potret korupsi. Menteri dan birokrat tidak ketinggalan. Mereka semua menorehkan sejarah korupsi berjilid-jilid. Institusi peradilan ikut โ€berkreasiโ€ meringankan sanksi. Itu merupakan kabar telanjang yang menggoreskan luka teramat perih pada khalayak ramai.

Banyaknya kasus korupsi membawa ingatan saya ke tahun 1766 saat John Spilsbury menciptakan jigsaw puzzle. Dia lukis peta wilayah dalam sebuah kayu untuk selanjutnya dipotong-potong guna menderaskan pikiran agar mampu menyusunnya secara logis. Bahkan lebih tua lagi, dalam legenda Dewa Tan 4.000 tahun lalu di Tiongkok yang mengonstruksi permainan dengan 700 balok yang ditata kembali di tahun 1815 bernama Tangram Puzzle. Melalui 700 keping balok ini saja, sebuah teka-teki menjadi mustahil dipecahkan, apalagi dengan ribuan kasus korupsi. Korupsi demi korupsi sejatinya tidak sekadar berisi benda mati (lipatan uang), tetapi ada narasi esensial berupa jiwa jahat yang berniat merugikan negara.

Spektrum korupsi mendeskripsikan tingkat integritas para โ€pemulungโ€ kekuasaan. Terdapat intrik jabatan yang digembalakan. Adu kekuatan memperebutkan โ€kursi kedinasanโ€ senantiasa membentuk formasi aktivitas korupsi. Semua dipertontonkan dan pikiran warga negara membuncah penuh tanda tanya. Korupsi semakin jemawa apabila jiwa-jiwa culas diproteksi.

Atau kita yang tidak paham bahwa semua pejabat pada mulanya adalah baik-baik saja. Mereka dalam tradisi Romawi kuno adalah novus homo (manusia baru) yang seyogianya dianggap suci dari tindakan tidak terpuji. Butuh alibi retorik bahwa โ€mereka bukan korupsi, melainkan berbagi rezekiโ€. Kalau demikian, berarti sebagian besar jiwa ini sedang kecanduan korupsi. Di ujung keserakahan, perlu kembali ke jiwa pertobatan pejabat sendiri sambil mengenang pantun dari tanah Melayu: Orang keling berkedai kain/Kapas sudah menjadi benang/Baik berpaling pada yang lain/Hak yang lepas jangan dikenang.

Baca Juga :  Sepak Bola, atau Olahraga, Bebas Politik?

Tiada yang dapat dikenang dari pejabat negara yang mengalami โ€samparโ€ korupsi. Karena itu, proses seleksi penguasa harus mampu mendeteksi โ€jiwa jahat yang tersembunyiโ€ di setiap kelokan politik. Konstruksi pembiayaan parpol juga menyediakan ruang bagi politikus untuk terjerat korupsi. Diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik tergiring memasuki lahan korupsi dalam teritorial politik.

Ingatlah pula torehan Pramoedya Ananta Toer tahun 1957 melalui novel Korupsi. Bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik yang membudaya. Kondisi ini menambah kelam republik yang meneguhkan diri sebagai negara hukum. Regulasi diniscayakan berkarakter koruptif. Bukankah parlemen dan pemerintah adalah pembentuk hukum (rechtsvorming) yang menelurkan undang-undang (perda). Konsekuensi terjauh dalam relasi legislatif dan eksekutif yang bertalenta koruptif adalah hadirnya hukum yang timpang. Pasal-pasal hukum memuai menjadi pasar-pasar yang menata struktur anggaran berbagi proyek yang transaksional. Prahara korupsi di parlemen dan birokrasi dimulai dengan pernak-pernik pungli.

Ketahuilah, kurun waktu kolonialisme (abad XVIIโ€“XX) membawa order rasuah yang diawali dari โ€sogok-menyogokโ€ sebagai alat komunikasi jabatan. Inilah yang melatari Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro (1825โ€“1830) serta kisah penangkapan wanita punjer pergerakan Aceh Cut Nyak Dhien (1848โ€“1908). Terdapat โ€bilik jabatanโ€ yang memunggungi perjuangan bangsa. Arena โ€upeti jabatanโ€ pada ujung ceritanya tidak lepas dari isu โ€transaksi posisiโ€. Pada titik ini korupsi adalah produk ikutan tatanan yang kekuasaan dijualbelikan karena sumber aslinya adalah jiwa-jiwa pengingkar sumpah jabatan. Jiwa rakus merupakan โ€samudraโ€ pandemi korupsi.

Baca Juga :  Literasi Haji Lintas Zaman

Semua itu memberi pembenaran keberadaan korupsi yang sudah sangat mendistorsi kewibawaan negara. Era reformasi yang menampilkan โ€perjamuan para koruptorโ€ adalah cermin betapa kultur korupsi tidak pernah punah. Korupsi bercokol menghunjam dan tumbuh subur. Kondisi itu dipotret oleh rakyat sampai pada babak yang terus menyajikan episode. Betapa naifnya.

KPK yang โ€dilemahkanโ€ itu pun cermat menangkap pesan batin rakyat yang antikorupsi. Ia berperan sebagai suluh hukum dan gairah gerakan rakyat bahwa korupsi dapat dienyahkan. Nalar kejujuran berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi.

Atas kondisi ini saya menyelami novel A Confession karya Leo Tolstoy yang terbit 1882 yang merilis: โ€Menjadi jelas untuk mengatakan, di ruang dan waktu tanpa batas, semuanya berkembang menjadi lebih sempurna dan semakin sempurna adalah berbeda.โ€ Ya berbeda antara politisi yang korupsi dan yang mengabdi. Juga KPK hari ini.

Selebihnya saya melanjutkan membaca buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661โ€“728 H) yang berjudul Tazkiyatun Nafs yang membekali penyucian jiwa agar hidup mulia menata niat: niat ingsun antikorupsi. Saya percaya politisi masa depan akan terpanggil untuk bebas korupsi karena kita tidak hendak bersatire ala Samuel C. Florman: plus la change, plus la meme chose โ€“ semakin berubah, semakin sama saja.

Akhirnya, sebagai penutup, saya teringat catatan Rutger Bregman dalam bukunya Human Kind (2020): menurut legenda, ada dua kata tertulis di depan Kuil Apollo di Delfi. Kuil itu merupakan tempat ziarah penting. Orang datang ke sana dari seluruh Yunani untuk mencari nasihat dewa. Yang mereka baca sebelum masuk adalah Gnothi Seauton. Kenali dirimu. (*)

 

SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengmas, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

AKANKAH korupsi terus terjadi dan mewabah di jiwa-jiwa politisi? Penetapan Azis Syamsuddin sebagai tersangka oleh KPK kian memperpanjang deret hitung politikus yang korup. Bupati, wali kota, gubernur, serta anggota DPR-DPRD silih berganti menjadi lakon utama penggarongan dana publik. Tidak hanya sampai di sini, aparatur penegak hukum pun mewarnai potret korupsi. Menteri dan birokrat tidak ketinggalan. Mereka semua menorehkan sejarah korupsi berjilid-jilid. Institusi peradilan ikut โ€berkreasiโ€ meringankan sanksi. Itu merupakan kabar telanjang yang menggoreskan luka teramat perih pada khalayak ramai.

Banyaknya kasus korupsi membawa ingatan saya ke tahun 1766 saat John Spilsbury menciptakan jigsaw puzzle. Dia lukis peta wilayah dalam sebuah kayu untuk selanjutnya dipotong-potong guna menderaskan pikiran agar mampu menyusunnya secara logis. Bahkan lebih tua lagi, dalam legenda Dewa Tan 4.000 tahun lalu di Tiongkok yang mengonstruksi permainan dengan 700 balok yang ditata kembali di tahun 1815 bernama Tangram Puzzle. Melalui 700 keping balok ini saja, sebuah teka-teki menjadi mustahil dipecahkan, apalagi dengan ribuan kasus korupsi. Korupsi demi korupsi sejatinya tidak sekadar berisi benda mati (lipatan uang), tetapi ada narasi esensial berupa jiwa jahat yang berniat merugikan negara.

Spektrum korupsi mendeskripsikan tingkat integritas para โ€pemulungโ€ kekuasaan. Terdapat intrik jabatan yang digembalakan. Adu kekuatan memperebutkan โ€kursi kedinasanโ€ senantiasa membentuk formasi aktivitas korupsi. Semua dipertontonkan dan pikiran warga negara membuncah penuh tanda tanya. Korupsi semakin jemawa apabila jiwa-jiwa culas diproteksi.

Atau kita yang tidak paham bahwa semua pejabat pada mulanya adalah baik-baik saja. Mereka dalam tradisi Romawi kuno adalah novus homo (manusia baru) yang seyogianya dianggap suci dari tindakan tidak terpuji. Butuh alibi retorik bahwa โ€mereka bukan korupsi, melainkan berbagi rezekiโ€. Kalau demikian, berarti sebagian besar jiwa ini sedang kecanduan korupsi. Di ujung keserakahan, perlu kembali ke jiwa pertobatan pejabat sendiri sambil mengenang pantun dari tanah Melayu: Orang keling berkedai kain/Kapas sudah menjadi benang/Baik berpaling pada yang lain/Hak yang lepas jangan dikenang.

Baca Juga :  Sepak Bola, atau Olahraga, Bebas Politik?

Tiada yang dapat dikenang dari pejabat negara yang mengalami โ€samparโ€ korupsi. Karena itu, proses seleksi penguasa harus mampu mendeteksi โ€jiwa jahat yang tersembunyiโ€ di setiap kelokan politik. Konstruksi pembiayaan parpol juga menyediakan ruang bagi politikus untuk terjerat korupsi. Diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik tergiring memasuki lahan korupsi dalam teritorial politik.

Ingatlah pula torehan Pramoedya Ananta Toer tahun 1957 melalui novel Korupsi. Bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik yang membudaya. Kondisi ini menambah kelam republik yang meneguhkan diri sebagai negara hukum. Regulasi diniscayakan berkarakter koruptif. Bukankah parlemen dan pemerintah adalah pembentuk hukum (rechtsvorming) yang menelurkan undang-undang (perda). Konsekuensi terjauh dalam relasi legislatif dan eksekutif yang bertalenta koruptif adalah hadirnya hukum yang timpang. Pasal-pasal hukum memuai menjadi pasar-pasar yang menata struktur anggaran berbagi proyek yang transaksional. Prahara korupsi di parlemen dan birokrasi dimulai dengan pernak-pernik pungli.

Ketahuilah, kurun waktu kolonialisme (abad XVIIโ€“XX) membawa order rasuah yang diawali dari โ€sogok-menyogokโ€ sebagai alat komunikasi jabatan. Inilah yang melatari Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro (1825โ€“1830) serta kisah penangkapan wanita punjer pergerakan Aceh Cut Nyak Dhien (1848โ€“1908). Terdapat โ€bilik jabatanโ€ yang memunggungi perjuangan bangsa. Arena โ€upeti jabatanโ€ pada ujung ceritanya tidak lepas dari isu โ€transaksi posisiโ€. Pada titik ini korupsi adalah produk ikutan tatanan yang kekuasaan dijualbelikan karena sumber aslinya adalah jiwa-jiwa pengingkar sumpah jabatan. Jiwa rakus merupakan โ€samudraโ€ pandemi korupsi.

Baca Juga :  Literasi Haji Lintas Zaman

Semua itu memberi pembenaran keberadaan korupsi yang sudah sangat mendistorsi kewibawaan negara. Era reformasi yang menampilkan โ€perjamuan para koruptorโ€ adalah cermin betapa kultur korupsi tidak pernah punah. Korupsi bercokol menghunjam dan tumbuh subur. Kondisi itu dipotret oleh rakyat sampai pada babak yang terus menyajikan episode. Betapa naifnya.

KPK yang โ€dilemahkanโ€ itu pun cermat menangkap pesan batin rakyat yang antikorupsi. Ia berperan sebagai suluh hukum dan gairah gerakan rakyat bahwa korupsi dapat dienyahkan. Nalar kejujuran berkata agar kejahatan korupsi tidak diproteksi.

Atas kondisi ini saya menyelami novel A Confession karya Leo Tolstoy yang terbit 1882 yang merilis: โ€Menjadi jelas untuk mengatakan, di ruang dan waktu tanpa batas, semuanya berkembang menjadi lebih sempurna dan semakin sempurna adalah berbeda.โ€ Ya berbeda antara politisi yang korupsi dan yang mengabdi. Juga KPK hari ini.

Selebihnya saya melanjutkan membaca buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661โ€“728 H) yang berjudul Tazkiyatun Nafs yang membekali penyucian jiwa agar hidup mulia menata niat: niat ingsun antikorupsi. Saya percaya politisi masa depan akan terpanggil untuk bebas korupsi karena kita tidak hendak bersatire ala Samuel C. Florman: plus la change, plus la meme chose โ€“ semakin berubah, semakin sama saja.

Akhirnya, sebagai penutup, saya teringat catatan Rutger Bregman dalam bukunya Human Kind (2020): menurut legenda, ada dua kata tertulis di depan Kuil Apollo di Delfi. Kuil itu merupakan tempat ziarah penting. Orang datang ke sana dari seluruh Yunani untuk mencari nasihat dewa. Yang mereka baca sebelum masuk adalah Gnothi Seauton. Kenali dirimu. (*)

 

SUPARTO WIJOYO, Wakil Direktur Bidang Riset, Pengmas, Digitalisasi, dan Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru