Site icon Prokalteng

Membiayai Janji Politisi

NURKHOLISOH IBNU AMAN

PEMILU 2024 sudah di depan mata. Partai politik mulai bergerak membentuk koalisi, sedangkan politisi mulai menebar janji. Mulai dari menaikkan gaji guru, memberi subsidi BBM, hingga menyediakan makan gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil.

Kalau dicermati, janji-janji politisi biasanya terkait belanja negara. Bagaimana anggaran akan dihabiskan.

Jarang kita mendengar janji politisi yang terkait pendapatan negara. Padahal, belanja dan pendapatan ibarat dua sisi koin. Tiada satu tanpa yang lain. Kalau merencanakan suatu pos belanja negara, tentu perlu dipikirkan pendapatan negara untuk membiayainya.

Wajar sebenarnya apabila politisi lebih memilih untuk membahas belanja negara karena lebih menyenangkan untuk didengar sehingga berpotensi menarik suara. Namun, taktik itu sejatinya merugikan karena berarti melewatkan kesempatan emas untuk melakukan pendidikan politik.

Masyarakat perlu tahu bahwa setiap program pemerintah membawa konsekuensi biaya. Padahal, kemampuan pendanaan pemerintah sering kali terbatas sehingga pemerintah perlu membuat keputusan sulit seperti mencabut subsidi, menaikkan pajak, atau bahkan menarik utang.

Manifesto Politik

Di Inggris, partai politik memiliki tradisi untuk menerbitkan manifesto sebelum pemilihan umum. Manifesto itu memuat berbagai program kerja apabila terpilih nanti, sekaligus bagaimana program tersebut akan dibiayai.

Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, Partai Konservatif menjanjikan tidak ada kenaikan pajak. Karena itu, rencana mereka untuk meningkatkan investasi di bidang kesehatan dan pendidikan akan mengorbankan beberapa sektor lain yang dianggap kurang prioritas.

Di sisi lain, Partai Buruh berencana menaikkan pajak, khususnya bagi korporasi dan individu golongan menengah atas. Tambahan pajak itu akan digunakan untuk membiayai berbagai program ambisius seperti memodernisasi fasilitas kesehatan, membangun infrastruktur ’’hijau’’, dan memberi layanan preschool gratis. Bukan hanya itu, Partai Buruh berencana menambah utang karena pendapatan dari kenaikan pajak saja dianggap belum cukup.

Sikap dan kebijakan partai itu secara gamblang dimuat dalam manifesto politik yang dapat diakses secara terbuka oleh publik. Hal itu memudahkan masyarakat dalam menentukan pilihan yang menurut mereka paling bijak. Pilihan yang dihasilkan akan berbasis informasi lengkap (informed decision), bukan pilihan yang didorong oleh emosi sesaat atau praduga belaka.

Pajak dan Utang

Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, terkenal dengan ucapannya yang berbunyi, ’’The State has no source of money other than money which people earn themselves.’’

Kalimat itu seolah mengingatkan kita bahwa semua program pemerintah yang dijanjikan politisi sebenarnya akan ’’dibayar’’ oleh kita sendiri. Adalah keliru apabila menganggap ada orang lain yang akan membayar. Orang lain itu sejatinya diri kita masing-masing selaku warga negara.

Thatcher juga pernah berucap, ’’Everything a politician promises at election time has to be paid for either by higher taxation or by borrowing.’’ Hanya ada dua cara untuk membiayai janji politisi: pajak dan utang. Pajak diperoleh dengan paksaan, sedangkan utang didapat dengan sukarela. Dua instrumen pembiayaan pembangunan itu sama-sama tidak populer di mata calon pemilih. Tak heran jika topik pajak dan utang kemudian absen dalam kampanye politik.

Kondisi di Indonesia

Di Indonesia, pendapatan negara dari pajak masih jauh dari optimal. Rasio pajak (tax ratio) yang hanya di kisaran 10 persen membuat Indonesia setara dengan negara-negara miskin di Afrika.

Sebenarnya sudah banyak langkah perbaikan yang dilakukan pemerintah. Namun, hal itu belum mampu mendongkrak penerimaan pajak secara signifikan. Perlu terobosan luar biasa untuk mengejar rasio pajak negara berkembang lain seperti India (18 persen), Turki (24 persen), dan Brasil (32 persen).

Riset Bank Dunia (2019) mencatat bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki perbedaan terbesar antara realisasi penerimaan dengan potensi pendapatan dari pajak.

Partai politik dan politisi seharusnya terbuka beradu gagasan untuk menggali potensi pajak itu. Meski kontroversial, menaikkan tax ratio adalah keniscayaan apabila ingin meningkatkan fasilitas publik seperti yang kerap dijanjikan dalam kampanye.

Sementara itu, utang sebagai alternatif selain pajak lebih kontroversial. Masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif telanjur antipati terhadap pembiayaan pembangunan melalui utang.

Dalam bayangan mereka, utang bersifat jahat. Padahal, seperti yang diingatkan Thatcher, utang merupakan salah satu sumber dana pemerintah yang alami. Kehadirannya adalah hal yang wajar karena tak semua biaya pembangunan bisa dibebankan kepada pajak.

Sekali lagi, partai politik dan politisi harus terbuka mengakui adanya kebutuhan untuk berutang. Sudah waktunya utang pemerintah dibicarakan secara normatif. Meski sulit, kejujuran adalah langkah awal untuk meraih kedewasaan dalam berpolitik. Agar kampanye tidak hanya berisi janji yang sebenarnya tak sanggup dibiayai. (*)

*) NURKHOLISOH IBNU AMAN, Kandidat PhD Finance, The University of Edinburgh

Exit mobile version