26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Darurat Pelakor dan Pebinor

TERBONGKARNYA skandal perselingkuhan di internal grup band Sabyan
semakin menambah panjang daftar kasus perceraian di negeri ini. Berdasar data
yang disampaikan Dirjen Bimas Islam Kemenag, angka perceraian di Indonesia
terus naik sejak 2015 hingga 2020. Angka perceraian pada 2015 mencapai 394.246
kasus, kemudian pada 2016 naik menjadi 401.717 kasus. Jumlah tersebut kembali
naik pada 2017 sebanyak 415.510 kasus dan pada 2018 meningkat lagi sebesar
444.358 kasus. Angka perceraian tetap naik pada 2019, yakni mencapai 480.618
kasus. Sementara itu, per Agustus 2020, jumlah angka perceraian di Indonesia
sudah mencapai 306.688 kasus.

Secara global, angka perceraian
memang diprediksi meningkat, terutama akibat pandemi Covid-19. Beberapa negara
seperti Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok, dan Swedia melaporkan kenaikan
angka perceraian sepanjang pandemi Covid-19 (BBC, 2020). Firma hukum Stewarts
yang berbasis di Inggris melaporkan, sebagian besar angka perceraian selama
pandemi Covid-19 diajukan perempuan, yakni 76 persen. Jumlah tersebut meningkat
dibandingkan 2019 yang hanya 60 persen.

Faktor psikologis sebagai dampak
karantina wilayah cukup signifikan menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga.
Banyak istri yang menyimpan ekspektasi besar, jika karantina wilayah diterapkan,
akan lebih banyak waktu bersama keluarga dan terjadi pembagian pengasuhan anak
atau mengurus rumah yang berimbang bersama suami.

Faktanya, ekspektasi tersebut
justru berbanding terbalik. Para suami ternyata juga bekerja dari rumah, yang
bahkan kadang meningkatkan risiko stres. Alhasil, komunikasi suami-istri justru
semakin kacau. Kebuntuan komunikasi mengakibatkan para suami-istri kadang
mencari pelampiasan atau sekadar teman curhat, terutama dalam komunitas
masing-masing. Praktik seperti itulah yang sering kali memicu retaknya rumah
tangga dan memunculkan timbulnya peran pelakor (perebut laki orang) dan pebinor
(perebut bini orang).

Urgensi Sertifikasi Pranikah

Komunikasi yang nyambung antara
suami dengan pelakor atau istri dengan pebinor sering kali menjadi jalan bagi
tumbuhnya benih-benih perselingkuhan. Benih tersebut akan sangat subur jika
setiap hari dipupuk rumitnya komunikasi antara suami dan istri yang sah.
Padahal, faktor komunikasi ini sejatinya telah menjadi materi nasihat dalam proses
pranikah. Di sinilah pentingnya peran penghulu dalam mewujudkan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah. Sebab, nasihat pranikah sejatinya sangat
dibutuhkan, terutama untuk para calon pasangan suami istri (pasutri) yang
berusia muda. Sebab, usia muda identik dengan semangat dan emosi yang bergelora
sehingga komunikasi yang gagal antara suami-istri sering kali berdampak pada
perceraian.

Baca Juga :  Muhammadiyah dan Program Politik yang Terabaikan

Gagasan sertifikasi pranikah
awalnya dipopulerkan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy. Sayangnya, gagasan tersebut justru ditertawakan sebagian
besar masyarakat, terutama warganet Indonesia. Padahal, sertifikasi pranikah
sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa calon pasutri telah memahami dinamika
dalam berumah tangga. Sayangnya, pemberian nasihat pranikah oleh penghulu
kepada calon pasutri sering kali dilewatkan. Proses yang biasa disebut dengan
jomblokan tersebut berisi materi-materi penting yang bisa menjadi bekal bagi
calon pasutri untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Model sertifikasi pranikah
didesain dalam bentuk pelatihan. Pelatihan diberikan dalam beberapa materi,
mulai seputar kesehatan reproduksi hingga komunikasi. Peserta yang telah
mengikuti pelatihan akan mendapat sertifikat. Nanti sertifikat tersebut bisa digunakan
sebagai syarat untuk menikah. Apabila ada materi yang belum diikuti selama
pelatihan, sementara calon pasutri sudah kebelet menikah, materi yang belum
diikuti bisa dilanjutkan setelah menikah. Dibutuhkan komitmen bersama, baik
masyarakat maupun pemerintah, untuk merealisasikan program tersebut.

RUU Ketahanan Keluarga

Saat angka perceraian di
Indonesia meningkat, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan beberapa alat dan
norma hukum terkait. Selain sertifikasi pranikah, ada draf RUU Ketahanan
Keluarga yang ditawarkan DPR. Namun, nasib RUU Ketahanan Keluarga hampir sama
dengan program sertifikasi pranikah. Ditertawakan dan di-bully habis-habisan
oleh warganet Indonesia. Padahal, secara komprehensif, materi muatan dalam RUU
Ketahanan Keluarga bisa menjadi salah satu obat penawar untuk menekan angka
perceraian.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK)
diusulkan Fraksi Golkar, PAN, PKS, dan Gerindra pada 7 Februari 2020 untuk
menjadi lex specialis dari Undang-Undang Perkawinan. Namun, banyak lapisan
masyarakat yang menolak dengan dalih pemerintah terlalu jauh ikut campur dalam
urusan pribadi warga negara, hiperregulasi, tumpang-tindih aturan, hingga
bertentangan dengan semangat pengarusutamaan gender (Ria, 2020).

Padahal, tidak semua substansi
dalam RUU KK menuai kontroversi. Salah satu hal positif dalam RUU KK termaktub
dalam pasal 17 ayat (1) huruf c yang menyebutkan kewajiban mengikuti
pendampingan pranikah. Norma tersebut selaras dengan gagasan Menko PMK untuk
menyelenggarakan program sertifikasi pranikah. Sehingga, RUU KK tampaknya hanya
membutuhkan harmonisasi dan sinkronisasi. Mengingat, ada pula peraturan daerah
yang nomenklaturnya hampir mirip dengan RUU KK, yaitu Perda DIY Nomor 7 Tahun
2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga, Perda Provinsi Banten Nomor 5
Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga, dan sebagainya.

Karena itu, jalan tengah dan
alternatif solusi yang bisa ditawarkan di tengah darurat pelakor dan pebinor
yang mengakibatkan tingginya angka perceraian di Indonesia adalah melalui
penerapan pelatihan/sertifikasi pranikah dan melanjutkan kembali pembahasan RUU
KK. Selain itu, perlu digagas sebuah LSM atau NGO yang berfokus dalam hal
pemantauan dan pendampingan kasus disharmonisasi rumah tangga. Misalnya,
menggunakan nama Indonesia Marriage Watch atau sejenisnya. Sebab, dalam konteks
bernegara, rumah tangga merupakan miniatur terkecil sebuah negara. Apabila
rumah tangga tersebut harmonis, ketahanan negara juga akan baik dan harmonis. (*)

(SHOLAHUDDIN AL-FATIH, Dosen
Fakultas Hukum UMM)

TERBONGKARNYA skandal perselingkuhan di internal grup band Sabyan
semakin menambah panjang daftar kasus perceraian di negeri ini. Berdasar data
yang disampaikan Dirjen Bimas Islam Kemenag, angka perceraian di Indonesia
terus naik sejak 2015 hingga 2020. Angka perceraian pada 2015 mencapai 394.246
kasus, kemudian pada 2016 naik menjadi 401.717 kasus. Jumlah tersebut kembali
naik pada 2017 sebanyak 415.510 kasus dan pada 2018 meningkat lagi sebesar
444.358 kasus. Angka perceraian tetap naik pada 2019, yakni mencapai 480.618
kasus. Sementara itu, per Agustus 2020, jumlah angka perceraian di Indonesia
sudah mencapai 306.688 kasus.

Secara global, angka perceraian
memang diprediksi meningkat, terutama akibat pandemi Covid-19. Beberapa negara
seperti Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok, dan Swedia melaporkan kenaikan
angka perceraian sepanjang pandemi Covid-19 (BBC, 2020). Firma hukum Stewarts
yang berbasis di Inggris melaporkan, sebagian besar angka perceraian selama
pandemi Covid-19 diajukan perempuan, yakni 76 persen. Jumlah tersebut meningkat
dibandingkan 2019 yang hanya 60 persen.

Faktor psikologis sebagai dampak
karantina wilayah cukup signifikan menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga.
Banyak istri yang menyimpan ekspektasi besar, jika karantina wilayah diterapkan,
akan lebih banyak waktu bersama keluarga dan terjadi pembagian pengasuhan anak
atau mengurus rumah yang berimbang bersama suami.

Faktanya, ekspektasi tersebut
justru berbanding terbalik. Para suami ternyata juga bekerja dari rumah, yang
bahkan kadang meningkatkan risiko stres. Alhasil, komunikasi suami-istri justru
semakin kacau. Kebuntuan komunikasi mengakibatkan para suami-istri kadang
mencari pelampiasan atau sekadar teman curhat, terutama dalam komunitas
masing-masing. Praktik seperti itulah yang sering kali memicu retaknya rumah
tangga dan memunculkan timbulnya peran pelakor (perebut laki orang) dan pebinor
(perebut bini orang).

Urgensi Sertifikasi Pranikah

Komunikasi yang nyambung antara
suami dengan pelakor atau istri dengan pebinor sering kali menjadi jalan bagi
tumbuhnya benih-benih perselingkuhan. Benih tersebut akan sangat subur jika
setiap hari dipupuk rumitnya komunikasi antara suami dan istri yang sah.
Padahal, faktor komunikasi ini sejatinya telah menjadi materi nasihat dalam proses
pranikah. Di sinilah pentingnya peran penghulu dalam mewujudkan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah. Sebab, nasihat pranikah sejatinya sangat
dibutuhkan, terutama untuk para calon pasangan suami istri (pasutri) yang
berusia muda. Sebab, usia muda identik dengan semangat dan emosi yang bergelora
sehingga komunikasi yang gagal antara suami-istri sering kali berdampak pada
perceraian.

Baca Juga :  Muhammadiyah dan Program Politik yang Terabaikan

Gagasan sertifikasi pranikah
awalnya dipopulerkan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy. Sayangnya, gagasan tersebut justru ditertawakan sebagian
besar masyarakat, terutama warganet Indonesia. Padahal, sertifikasi pranikah
sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa calon pasutri telah memahami dinamika
dalam berumah tangga. Sayangnya, pemberian nasihat pranikah oleh penghulu
kepada calon pasutri sering kali dilewatkan. Proses yang biasa disebut dengan
jomblokan tersebut berisi materi-materi penting yang bisa menjadi bekal bagi
calon pasutri untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Model sertifikasi pranikah
didesain dalam bentuk pelatihan. Pelatihan diberikan dalam beberapa materi,
mulai seputar kesehatan reproduksi hingga komunikasi. Peserta yang telah
mengikuti pelatihan akan mendapat sertifikat. Nanti sertifikat tersebut bisa digunakan
sebagai syarat untuk menikah. Apabila ada materi yang belum diikuti selama
pelatihan, sementara calon pasutri sudah kebelet menikah, materi yang belum
diikuti bisa dilanjutkan setelah menikah. Dibutuhkan komitmen bersama, baik
masyarakat maupun pemerintah, untuk merealisasikan program tersebut.

RUU Ketahanan Keluarga

Saat angka perceraian di
Indonesia meningkat, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan beberapa alat dan
norma hukum terkait. Selain sertifikasi pranikah, ada draf RUU Ketahanan
Keluarga yang ditawarkan DPR. Namun, nasib RUU Ketahanan Keluarga hampir sama
dengan program sertifikasi pranikah. Ditertawakan dan di-bully habis-habisan
oleh warganet Indonesia. Padahal, secara komprehensif, materi muatan dalam RUU
Ketahanan Keluarga bisa menjadi salah satu obat penawar untuk menekan angka
perceraian.

Baca Juga :  Refleksi Hari Buku Nasional: Buku vs Internet

RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK)
diusulkan Fraksi Golkar, PAN, PKS, dan Gerindra pada 7 Februari 2020 untuk
menjadi lex specialis dari Undang-Undang Perkawinan. Namun, banyak lapisan
masyarakat yang menolak dengan dalih pemerintah terlalu jauh ikut campur dalam
urusan pribadi warga negara, hiperregulasi, tumpang-tindih aturan, hingga
bertentangan dengan semangat pengarusutamaan gender (Ria, 2020).

Padahal, tidak semua substansi
dalam RUU KK menuai kontroversi. Salah satu hal positif dalam RUU KK termaktub
dalam pasal 17 ayat (1) huruf c yang menyebutkan kewajiban mengikuti
pendampingan pranikah. Norma tersebut selaras dengan gagasan Menko PMK untuk
menyelenggarakan program sertifikasi pranikah. Sehingga, RUU KK tampaknya hanya
membutuhkan harmonisasi dan sinkronisasi. Mengingat, ada pula peraturan daerah
yang nomenklaturnya hampir mirip dengan RUU KK, yaitu Perda DIY Nomor 7 Tahun
2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga, Perda Provinsi Banten Nomor 5
Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga, dan sebagainya.

Karena itu, jalan tengah dan
alternatif solusi yang bisa ditawarkan di tengah darurat pelakor dan pebinor
yang mengakibatkan tingginya angka perceraian di Indonesia adalah melalui
penerapan pelatihan/sertifikasi pranikah dan melanjutkan kembali pembahasan RUU
KK. Selain itu, perlu digagas sebuah LSM atau NGO yang berfokus dalam hal
pemantauan dan pendampingan kasus disharmonisasi rumah tangga. Misalnya,
menggunakan nama Indonesia Marriage Watch atau sejenisnya. Sebab, dalam konteks
bernegara, rumah tangga merupakan miniatur terkecil sebuah negara. Apabila
rumah tangga tersebut harmonis, ketahanan negara juga akan baik dan harmonis. (*)

(SHOLAHUDDIN AL-FATIH, Dosen
Fakultas Hukum UMM)

Terpopuler

Artikel Terbaru