28.3 C
Jakarta
Monday, July 14, 2025

Menyusun RTRW, Apa sih Sulitnya?

BANJIR besar yang terjadi di Kalimantan
Selatan menyisakan perdebatan panjang. Di satu sisi, ada yang bilang
penyebabnya adalah alam seperti curah hujan atau gelombang air laut yang
tinggi. Di sisi lain, ada yang bilang akibat rusaknya lingkungan sebagai dampak
pembabatan hutan untuk aktivitas ekonomi seperti pembukaan perkebunan dan
pertambangan.

Tak perlu banyak berdebat lagi. Sebab, data
untuk perdebatan tersebut sudah banyak digelar di jurnal ilmiah atau media
massa. Yang jelas, dari pengetahuan umum saja, sudah tampak bahwa bencana alam
(natural disaster) merupakan keluaran dari interaksi antara bahaya alam
(natural hazard) dan kerentanan (vulnerability) suatu kawasan atau wilayah.
Kerentanan suatu wilayah dibentuk kondisi fisik, lingkungan, sosial, ekonomi, politik,
kelembagaan, dan praktik ”pembangunan” yang tidak memperhatikan prinsip
keberlanjutan di wilayah tersebut.

Aneh… Kita sudah merdeka lebih dari 75 tahun,
memiliki puluhan perguruan tinggi terkemuka dengan aneka jurusan, mestinya bisa
mendiagnosis dan menyelesaikan problem-problem bencana alam tersebut. Negara
juga telah bersusah payah membuat undang-undang tentang tata ruang, lingkungan
hidup, serta memiliki jajaran birokrasi yang mengurusinya. Termasuk urusan
pekerjaan umum dan pusat statistik.

Pertanyaannya, masak sih membuat tata ruang
wilayah yang andal saja kesulitan hingga kini? Ini problem teknis atau hanya
soal keseriusan political will?

Kalimat terakhir itu muncul mengacu pada
evaluasi yang dilakukan Soedradjat (2000). Disebutkan bahwa pada 1997, telah
dilakukan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) kabupaten/kota. Dari 214 kabupaten yang dievaluasi, 30 persen kinerjanya
buruk. Dalam arti, rencana tata ruang tidak dapat dijadikan sebagai acuan
pembangunan. Lalu, 50 persen masih memerlukan perbaikan dan 20 persen dapat
digunakan sebagai acuan pembangunan.

Saya tidak memiliki data sampai tahun ini,
apakah tudingan Soedradjat itu masih sama kondisinya. Namun, saya berhipotesis
bahwa bisa jadi kerusakan alam yang terjadi hingga melahirkan bencana
akhir-akhir ini disebabkan tidak andalnya RTRW dan atau tidak seriusnya RTRW
itu dijadikan acuan pembangunan serta penegakan hukum bagi yang melanggarnya.

Baca Juga :  Mendorong Peran Pemuda sebagai Penggerak UMKM Digital

Membuat RTRW yang andal mestinya tidaklah
sulit. Negeri ini memiliki kelengkapan birokrasi guna mengumpulkan data akurat,
valid, dan up-to-date tentang iklim, curah hujan, sedimentasi sungai, luas
hutan, kondisi daerah aliran sungai, data kependudukan yang meliputi kepadatan,
persebaran, pertumbuhan, aktivitas ekonomi, dan sebagainya.

Untuk mengolah data tersebut, mestinya bukan
hal yang sulit bagi birokrasi yang telah dibayar mahal. Jika birokrasi tidak
mampu, kita punya ratusan ahli dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.
Misalnya, ahli lingkungan, geografi, demografi, tata ruang, teknik sipil,
arsitektur, geologi, biologi, ahli pemetaan, pengembangan wilayah, ahli sungai,
ahli kehutanan, dan seterusnya.

Sekali lagi, di mana letak sulitnya bikin
RTRW yang andal? Data tentang kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan seterusnya
diolah, kemudian dipetakan secara teratur. Maka, dengan mudah akan diketahui
daerah mana saja yang harus dipertahankan daya dukung lingkungannya dan daerah
mana yang boleh dibangun untuk aktivitas manusia. Termasuk untuk perkebunan,
pertambangan, dan aktivitas ekonomi lainnya.

Membuat RTRW yang andal dimulai dari
mengumpulkan informasi yang kemudian dihimpun dalam sebuah sistem informasi
geografis. Survei-survei dilakukan dengan cara pemotretan dari udara, pemetaan
dari darat, survei verbal, lisan dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan
sosial-ekonomi masyarakat.

Jika data fisik, seperti kelandaian,
kecuraman, tekstur tanah, dan curah hujan dapat digabungkan dengan data
sosial-ekonomi, akan didapatkan kualitas lahan dan dapat melakukan klasifikasi
tata guna lahan yang dikehendaki. Caranya dengan membandingkan syarat-syarat
yang dikehendaki dalam memanfaatkan lahan serta dipertimbangkan pengaruhnya
bagi kelestarian lingkungan. Tentu saja penegakan hukum juga harus dikedepankan
agar tidak setiap individu atau pengusaha dengan seenaknya mendirikan bangunan
atau tempat usaha dengan cara mengeksploitasi alam.

Baca Juga :  Akses Vaksin Covid-19 yang Berkeadilan

Badan litbang kota dan kabupaten juga harus
secara kontinu memperbarui peta-peta rawan bencana dan peta-peta penggunaan
lahan. Inventarisasi potensi lahan untuk mengidentifikasi kemungkinan
pengembangan wilayah yang berwawasan lingkungan merupakan langkah awal yang
perlu didesain dan dibuat prosedur maupun format-formatnya.

Selanjutnya, ada rencana semidetail untuk
studi feasibilitas proyek-proyek pembangunan yang bersifat kuantitatif.
Analisis cost-benefit harus tajam yang didasarkan atas analisis terpadu agar
dalam menetapkan suatu daerah dapat dibangun atau tidak bisa tepat.

Tujuannya, daya dukung lingkungan tidak
diabaikan agar manfaat sosial ekonomi bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Singkatnya, RTRW dibuat dengan manajemen informasi yang terpadu, multidisiplin,
kontinu, dengan mengorganisasikan dan mengolah data agar diperoleh sistem
informasi yang komprehensif.

Jika RTRW yang andal sudah jadi, tahap
selanjutnya adalah pedoman perencanaan dan dasar pelaksanaan pembangunan
wilayah. Dengan kata lain, rencana tata ruang merupakan suatu bentuk
kesepakatan publik dan mengikat sebagai suatu kontrak sosial atau suatu bentuk
keputusan kolektif yang dihasilkan dari proses politik dan kemudian menjadi
kebijakan publik yang harus ditaati seluruh pelaku pembangunan.

Singkat cerita, sesungguhnya bencana dapat
dihindari atau diminimalkan dampaknya jika setiap daerah punya RTRW yang andal
dan penegakan hukum berjalan dengan baik. Dalam menghadapi bencana, sistem
informasi, sistem komunikasi darurat, isyarat adanya bencana, serta komunikasi
untuk mengumpulkan informasi sangat diperlukan agar tidak simpang siur. (*)


Saratri Wilonoyudho, Guru Besar Ilmu
Kependudukan dan Lingkungan

BANJIR besar yang terjadi di Kalimantan
Selatan menyisakan perdebatan panjang. Di satu sisi, ada yang bilang
penyebabnya adalah alam seperti curah hujan atau gelombang air laut yang
tinggi. Di sisi lain, ada yang bilang akibat rusaknya lingkungan sebagai dampak
pembabatan hutan untuk aktivitas ekonomi seperti pembukaan perkebunan dan
pertambangan.

Tak perlu banyak berdebat lagi. Sebab, data
untuk perdebatan tersebut sudah banyak digelar di jurnal ilmiah atau media
massa. Yang jelas, dari pengetahuan umum saja, sudah tampak bahwa bencana alam
(natural disaster) merupakan keluaran dari interaksi antara bahaya alam
(natural hazard) dan kerentanan (vulnerability) suatu kawasan atau wilayah.
Kerentanan suatu wilayah dibentuk kondisi fisik, lingkungan, sosial, ekonomi, politik,
kelembagaan, dan praktik ”pembangunan” yang tidak memperhatikan prinsip
keberlanjutan di wilayah tersebut.

Aneh… Kita sudah merdeka lebih dari 75 tahun,
memiliki puluhan perguruan tinggi terkemuka dengan aneka jurusan, mestinya bisa
mendiagnosis dan menyelesaikan problem-problem bencana alam tersebut. Negara
juga telah bersusah payah membuat undang-undang tentang tata ruang, lingkungan
hidup, serta memiliki jajaran birokrasi yang mengurusinya. Termasuk urusan
pekerjaan umum dan pusat statistik.

Pertanyaannya, masak sih membuat tata ruang
wilayah yang andal saja kesulitan hingga kini? Ini problem teknis atau hanya
soal keseriusan political will?

Kalimat terakhir itu muncul mengacu pada
evaluasi yang dilakukan Soedradjat (2000). Disebutkan bahwa pada 1997, telah
dilakukan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) kabupaten/kota. Dari 214 kabupaten yang dievaluasi, 30 persen kinerjanya
buruk. Dalam arti, rencana tata ruang tidak dapat dijadikan sebagai acuan
pembangunan. Lalu, 50 persen masih memerlukan perbaikan dan 20 persen dapat
digunakan sebagai acuan pembangunan.

Saya tidak memiliki data sampai tahun ini,
apakah tudingan Soedradjat itu masih sama kondisinya. Namun, saya berhipotesis
bahwa bisa jadi kerusakan alam yang terjadi hingga melahirkan bencana
akhir-akhir ini disebabkan tidak andalnya RTRW dan atau tidak seriusnya RTRW
itu dijadikan acuan pembangunan serta penegakan hukum bagi yang melanggarnya.

Baca Juga :  Mendorong Peran Pemuda sebagai Penggerak UMKM Digital

Membuat RTRW yang andal mestinya tidaklah
sulit. Negeri ini memiliki kelengkapan birokrasi guna mengumpulkan data akurat,
valid, dan up-to-date tentang iklim, curah hujan, sedimentasi sungai, luas
hutan, kondisi daerah aliran sungai, data kependudukan yang meliputi kepadatan,
persebaran, pertumbuhan, aktivitas ekonomi, dan sebagainya.

Untuk mengolah data tersebut, mestinya bukan
hal yang sulit bagi birokrasi yang telah dibayar mahal. Jika birokrasi tidak
mampu, kita punya ratusan ahli dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.
Misalnya, ahli lingkungan, geografi, demografi, tata ruang, teknik sipil,
arsitektur, geologi, biologi, ahli pemetaan, pengembangan wilayah, ahli sungai,
ahli kehutanan, dan seterusnya.

Sekali lagi, di mana letak sulitnya bikin
RTRW yang andal? Data tentang kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan seterusnya
diolah, kemudian dipetakan secara teratur. Maka, dengan mudah akan diketahui
daerah mana saja yang harus dipertahankan daya dukung lingkungannya dan daerah
mana yang boleh dibangun untuk aktivitas manusia. Termasuk untuk perkebunan,
pertambangan, dan aktivitas ekonomi lainnya.

Membuat RTRW yang andal dimulai dari
mengumpulkan informasi yang kemudian dihimpun dalam sebuah sistem informasi
geografis. Survei-survei dilakukan dengan cara pemotretan dari udara, pemetaan
dari darat, survei verbal, lisan dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan
sosial-ekonomi masyarakat.

Jika data fisik, seperti kelandaian,
kecuraman, tekstur tanah, dan curah hujan dapat digabungkan dengan data
sosial-ekonomi, akan didapatkan kualitas lahan dan dapat melakukan klasifikasi
tata guna lahan yang dikehendaki. Caranya dengan membandingkan syarat-syarat
yang dikehendaki dalam memanfaatkan lahan serta dipertimbangkan pengaruhnya
bagi kelestarian lingkungan. Tentu saja penegakan hukum juga harus dikedepankan
agar tidak setiap individu atau pengusaha dengan seenaknya mendirikan bangunan
atau tempat usaha dengan cara mengeksploitasi alam.

Baca Juga :  Akses Vaksin Covid-19 yang Berkeadilan

Badan litbang kota dan kabupaten juga harus
secara kontinu memperbarui peta-peta rawan bencana dan peta-peta penggunaan
lahan. Inventarisasi potensi lahan untuk mengidentifikasi kemungkinan
pengembangan wilayah yang berwawasan lingkungan merupakan langkah awal yang
perlu didesain dan dibuat prosedur maupun format-formatnya.

Selanjutnya, ada rencana semidetail untuk
studi feasibilitas proyek-proyek pembangunan yang bersifat kuantitatif.
Analisis cost-benefit harus tajam yang didasarkan atas analisis terpadu agar
dalam menetapkan suatu daerah dapat dibangun atau tidak bisa tepat.

Tujuannya, daya dukung lingkungan tidak
diabaikan agar manfaat sosial ekonomi bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Singkatnya, RTRW dibuat dengan manajemen informasi yang terpadu, multidisiplin,
kontinu, dengan mengorganisasikan dan mengolah data agar diperoleh sistem
informasi yang komprehensif.

Jika RTRW yang andal sudah jadi, tahap
selanjutnya adalah pedoman perencanaan dan dasar pelaksanaan pembangunan
wilayah. Dengan kata lain, rencana tata ruang merupakan suatu bentuk
kesepakatan publik dan mengikat sebagai suatu kontrak sosial atau suatu bentuk
keputusan kolektif yang dihasilkan dari proses politik dan kemudian menjadi
kebijakan publik yang harus ditaati seluruh pelaku pembangunan.

Singkat cerita, sesungguhnya bencana dapat
dihindari atau diminimalkan dampaknya jika setiap daerah punya RTRW yang andal
dan penegakan hukum berjalan dengan baik. Dalam menghadapi bencana, sistem
informasi, sistem komunikasi darurat, isyarat adanya bencana, serta komunikasi
untuk mengumpulkan informasi sangat diperlukan agar tidak simpang siur. (*)


Saratri Wilonoyudho, Guru Besar Ilmu
Kependudukan dan Lingkungan

Terpopuler

Artikel Terbaru