30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Akses Vaksin Covid-19 yang Berkeadilan

BEBERAPA bulan terakhir ini, pemerintah mengupayakan herd immunity melalui vaksinasi. Tetapi, jumlah vaksin yang tersedia sangat terbatas. Sampai akhir Juli, jumlah penduduk Indonesia yang sudah divaksin tahap kedua masih sebesar 18,3 juta jiwa (target 208,218 juta jiwa). Itu berarti belum sampai 9 persen dari target. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan vaksin masih sangat tinggi dan harus berebut dengan negara-negara lainnya.

 

Perlindungan paten menjadi salah satu sebab terbatasnya akses dan mahalnya harga vaksin. Sejak negosiasi, perlindungan paten di bidang ini banyak ditentang oleh negara-negara karena dianggap tidak adil dan tidak sesuai dengan filosofi perlindungan paten. Yaitu mengembangkan dan mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

 

Perusahaan farmasi global jarang memublikasikan nilai investasi penelitian dan pengembangan untuk pembuatan satu vaksin baru. Tetapi, pada sisi lain, dengan hak monopoli yang dimiliki, perusahaan tersebut bisa mengontrol harga dan ketersediaannya. Hal itu tentunya tidak fair. Tulisan ini membahas upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendapatkan akses vaksin dengan harga murah, cepat, dan terjangkau menurut hukum internasional dan nasional.

 

Perjanjian TRIPS

 

Hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) adalah Perjanjian Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS). Perjanjian ini sangat berpengaruh dan komprehensif, merupakan bagian dari perjanjian WTO hasil putaran Uruguay, 1994. Pasal 27-nya memberikan legal basis perlindungan paten di bidang farmasi, termasuk obat-obatan dan vaksin.

 

HKI sangat penting untuk pengembangan obat dan vaksin baru. Tetapi, Perjanjian TRIPS juga mengakui dampaknya yang serius terhadap kesehatan publik. Terutama terhadap akses obat-obatan dan vaksin bagi negara yang sedang berkembang dan kurang berkembang.

Untuk itu, perjanjian ini memperbolehkan negara anggota WTO memformulasikan atau melakukan amandemen terhadap hukum dan peraturan nasional untuk mengadopsi langkah-langkah yang dibutuhkan guna melindungi kesehatan masyarakat, nutrisi, dan mempromosikan kepentingan umum sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian tersebut.

Baca Juga :  Varian Delta dan Anak-Anak Kita

 

Fleksibilitas Perjanjian TRIPS dan Doha Declaration

 

Perjanjian TRIPS juga memberikan beberapa fleksibilitas yang memungkinkan negara melakukan manuver guna menjaga kesehatan publik dengan tetap memberikan perlindungan paten. Pasal 31 memperbolehkan negara-negara menggunakan hak paten tanpa izin dari pemegang hak dengan syarat-syarat tertentu. Dan negara-negara anggota diberi kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat tersebut. Fleksibilitas ini bisa diberikan untuk kondisi darurat nasional (national emergency) atau keadaan yang sangat urgen (extreme urgency) untuk penggunaan nonkomersial dan dalam waktu yang terbatas.

Pandemi Covid-19 merupakan kondisi darurat kesehatan internasional dan nasional. Hal ini bisa menjadi justifikasi utama memberlakukan fleksibilitas Perjanjian TRIPS tersebut. Fleksibilitas tersebut meliputi lisensi wajib, penggunaan paten oleh pemerintah, dan parallel importation atau bolar provision. Negara yang akan menerapkan fleksibilitas itu harus memberitahukan kepada pemegang hak dengan memberikan remunerasi yang cukup (adequate). Negara yang tidak mempunyai manufacturing capacity juga diperbolehkan melakukan parallel import dari negara lain yang menggunakan lisensi wajib berbasis pada prinsip exhaustion of IP Rights (pasal 6).

Doha Declaration of the TRIPS Agreement on Public Health 2001 juga menegaskan kembali perlunya negara-negara memaksimalkan penggunaan fleksibilitas Perjanjian TRIPS tersebut untuk melindungi kesehatan publik dan mempromosikan akses obat-obatan bagi semua. Selanjutnya, pasal 31bis Perjanjian TRIPS meneguhkan kembali diperbolehkannya dilakukan lisensi wajib dan kemudahan dalam proses penggunaannya.

 

Hukum Paten Nasional

 

Untuk mengimplementasikan dan memanfaatkan fleksibilitas pasal 31 dan pasal 31bis Perjanjian TRIPS serta Doha Declaration, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten telah mengatur tentang Lisensi Wajib (pasal 81–107), Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (pasal 109–120) beserta Perpresnya Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, serta Bolar Provision dan Parallel Import (pasal 167).

 

Dari tiga fleksibilitas tersebut, penggunaan paten oleh pemerintah telah dilakukan tiga kali untuk obat Antiviral dan Antiretroviral. Pertama melalui Perpres 83/2004 untuk Nevirapin dan Lamivudin dengan batasan waktu selama 7–8 tahun. Kedua, melalui Perpres 6/2007 untuk Nevirapin, Lamivudin, dan Efavirenz dengan batas waktu sampai berakhirnya masa perlindungan paten. Terakhir, untuk Efavirenz, Abacavir, Didanosin, kombinasi Lopinavir dan Ritonavir, Tenofovir, kombinasi Tenofovir dan Emtrisitabin, kombinasi Tenovir, Emtrisitabin, dan Efavirenz.

Baca Juga :  Membela Palestina Atas Nama…

Semua penggunaan paten oleh pemerintah tersebut dalam upaya untuk penanggulangan penyakit HIV/AIDS dan hepatitis B di Indonesia. Sehingga orang yang hidup dengan HIV dan hepatitis B memiliki akses terhadap obat-obatan penting tersebut. Perusahaan pemegang hak paten diberi remunerasi 0,5 persen dan kenyataannya mereka tidak mempermasalahkan.

Berdasar pengalaman tersebut, penggunaan paten oleh pemerintah bisa dilakukan untuk proses dan produk vaksin Covid-19 yang telah dipatenkan di Indonesia. Sedangkan untuk proses dan produk vaksin yang tidak atau belum dipatenkan di Indonesia, perusahaan farmasi nasional bisa secara langsung menirunya. Kuncinya adalah manufacturing capacity, apakah perusahaan farmasi nasional bisa dan mampu memproduksinya serta apakah bahan baku tersedia.

Vaksin AstraZeneca yang diikhlaskan hak patennya oleh Sarah Gilbert, sang inventor, juga masih belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh negara karena tidak semua negara mempunyai manufacturing capacity untuk memproduksinya. Jika untuk obat-obatan HIV dan hepatitis B, penggunaan paten oleh pemerintah bisa diimplementasikan, maka terhadap penyakit yang merupakan pandemi seperti Covid-19 ini, tentunya fleksibilitas tersebut harus dimanfaatkan untuk membangun herd immunity di Indonesia.

Semangat dari pemerintah untuk memperjuangkan itu sangat diperlukan. Mengingat perjuangan mendapatkan TRIPS waiver pada forum internasional belum mendapatkan respons yang menggembirakan, mengapa tidak memanfaatkan yang telah ada legal basis-nya? Fleksibilitas tersebut diatur oleh hukum internasional untuk mewujudkan keadilan dalam perlindungan paten, yaitu keadilan bagi pemegang hak dan masyarakat. (*)

 

NURUL BARIZAH, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Memperoleh PhD in Laws dari University of Technology Sydney

BEBERAPA bulan terakhir ini, pemerintah mengupayakan herd immunity melalui vaksinasi. Tetapi, jumlah vaksin yang tersedia sangat terbatas. Sampai akhir Juli, jumlah penduduk Indonesia yang sudah divaksin tahap kedua masih sebesar 18,3 juta jiwa (target 208,218 juta jiwa). Itu berarti belum sampai 9 persen dari target. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan vaksin masih sangat tinggi dan harus berebut dengan negara-negara lainnya.

 

Perlindungan paten menjadi salah satu sebab terbatasnya akses dan mahalnya harga vaksin. Sejak negosiasi, perlindungan paten di bidang ini banyak ditentang oleh negara-negara karena dianggap tidak adil dan tidak sesuai dengan filosofi perlindungan paten. Yaitu mengembangkan dan mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

 

Perusahaan farmasi global jarang memublikasikan nilai investasi penelitian dan pengembangan untuk pembuatan satu vaksin baru. Tetapi, pada sisi lain, dengan hak monopoli yang dimiliki, perusahaan tersebut bisa mengontrol harga dan ketersediaannya. Hal itu tentunya tidak fair. Tulisan ini membahas upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendapatkan akses vaksin dengan harga murah, cepat, dan terjangkau menurut hukum internasional dan nasional.

 

Perjanjian TRIPS

 

Hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) adalah Perjanjian Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS). Perjanjian ini sangat berpengaruh dan komprehensif, merupakan bagian dari perjanjian WTO hasil putaran Uruguay, 1994. Pasal 27-nya memberikan legal basis perlindungan paten di bidang farmasi, termasuk obat-obatan dan vaksin.

 

HKI sangat penting untuk pengembangan obat dan vaksin baru. Tetapi, Perjanjian TRIPS juga mengakui dampaknya yang serius terhadap kesehatan publik. Terutama terhadap akses obat-obatan dan vaksin bagi negara yang sedang berkembang dan kurang berkembang.

Untuk itu, perjanjian ini memperbolehkan negara anggota WTO memformulasikan atau melakukan amandemen terhadap hukum dan peraturan nasional untuk mengadopsi langkah-langkah yang dibutuhkan guna melindungi kesehatan masyarakat, nutrisi, dan mempromosikan kepentingan umum sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian tersebut.

Baca Juga :  Varian Delta dan Anak-Anak Kita

 

Fleksibilitas Perjanjian TRIPS dan Doha Declaration

 

Perjanjian TRIPS juga memberikan beberapa fleksibilitas yang memungkinkan negara melakukan manuver guna menjaga kesehatan publik dengan tetap memberikan perlindungan paten. Pasal 31 memperbolehkan negara-negara menggunakan hak paten tanpa izin dari pemegang hak dengan syarat-syarat tertentu. Dan negara-negara anggota diberi kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat tersebut. Fleksibilitas ini bisa diberikan untuk kondisi darurat nasional (national emergency) atau keadaan yang sangat urgen (extreme urgency) untuk penggunaan nonkomersial dan dalam waktu yang terbatas.

Pandemi Covid-19 merupakan kondisi darurat kesehatan internasional dan nasional. Hal ini bisa menjadi justifikasi utama memberlakukan fleksibilitas Perjanjian TRIPS tersebut. Fleksibilitas tersebut meliputi lisensi wajib, penggunaan paten oleh pemerintah, dan parallel importation atau bolar provision. Negara yang akan menerapkan fleksibilitas itu harus memberitahukan kepada pemegang hak dengan memberikan remunerasi yang cukup (adequate). Negara yang tidak mempunyai manufacturing capacity juga diperbolehkan melakukan parallel import dari negara lain yang menggunakan lisensi wajib berbasis pada prinsip exhaustion of IP Rights (pasal 6).

Doha Declaration of the TRIPS Agreement on Public Health 2001 juga menegaskan kembali perlunya negara-negara memaksimalkan penggunaan fleksibilitas Perjanjian TRIPS tersebut untuk melindungi kesehatan publik dan mempromosikan akses obat-obatan bagi semua. Selanjutnya, pasal 31bis Perjanjian TRIPS meneguhkan kembali diperbolehkannya dilakukan lisensi wajib dan kemudahan dalam proses penggunaannya.

 

Hukum Paten Nasional

 

Untuk mengimplementasikan dan memanfaatkan fleksibilitas pasal 31 dan pasal 31bis Perjanjian TRIPS serta Doha Declaration, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten telah mengatur tentang Lisensi Wajib (pasal 81–107), Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (pasal 109–120) beserta Perpresnya Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, serta Bolar Provision dan Parallel Import (pasal 167).

 

Dari tiga fleksibilitas tersebut, penggunaan paten oleh pemerintah telah dilakukan tiga kali untuk obat Antiviral dan Antiretroviral. Pertama melalui Perpres 83/2004 untuk Nevirapin dan Lamivudin dengan batasan waktu selama 7–8 tahun. Kedua, melalui Perpres 6/2007 untuk Nevirapin, Lamivudin, dan Efavirenz dengan batas waktu sampai berakhirnya masa perlindungan paten. Terakhir, untuk Efavirenz, Abacavir, Didanosin, kombinasi Lopinavir dan Ritonavir, Tenofovir, kombinasi Tenofovir dan Emtrisitabin, kombinasi Tenovir, Emtrisitabin, dan Efavirenz.

Baca Juga :  Membela Palestina Atas Nama…

Semua penggunaan paten oleh pemerintah tersebut dalam upaya untuk penanggulangan penyakit HIV/AIDS dan hepatitis B di Indonesia. Sehingga orang yang hidup dengan HIV dan hepatitis B memiliki akses terhadap obat-obatan penting tersebut. Perusahaan pemegang hak paten diberi remunerasi 0,5 persen dan kenyataannya mereka tidak mempermasalahkan.

Berdasar pengalaman tersebut, penggunaan paten oleh pemerintah bisa dilakukan untuk proses dan produk vaksin Covid-19 yang telah dipatenkan di Indonesia. Sedangkan untuk proses dan produk vaksin yang tidak atau belum dipatenkan di Indonesia, perusahaan farmasi nasional bisa secara langsung menirunya. Kuncinya adalah manufacturing capacity, apakah perusahaan farmasi nasional bisa dan mampu memproduksinya serta apakah bahan baku tersedia.

Vaksin AstraZeneca yang diikhlaskan hak patennya oleh Sarah Gilbert, sang inventor, juga masih belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh negara karena tidak semua negara mempunyai manufacturing capacity untuk memproduksinya. Jika untuk obat-obatan HIV dan hepatitis B, penggunaan paten oleh pemerintah bisa diimplementasikan, maka terhadap penyakit yang merupakan pandemi seperti Covid-19 ini, tentunya fleksibilitas tersebut harus dimanfaatkan untuk membangun herd immunity di Indonesia.

Semangat dari pemerintah untuk memperjuangkan itu sangat diperlukan. Mengingat perjuangan mendapatkan TRIPS waiver pada forum internasional belum mendapatkan respons yang menggembirakan, mengapa tidak memanfaatkan yang telah ada legal basis-nya? Fleksibilitas tersebut diatur oleh hukum internasional untuk mewujudkan keadilan dalam perlindungan paten, yaitu keadilan bagi pemegang hak dan masyarakat. (*)

 

NURUL BARIZAH, Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Memperoleh PhD in Laws dari University of Technology Sydney

Terpopuler

Artikel Terbaru