KITA semua terkejut dan sedih mendengar kabar yang melintas di ponsel. Bejo Sugiantoro meninggal dunia setelah tak sadarkan ketika bermain sepak bola di lapangan SIER, Rungkut, Surabaya, 25 Februari 2025 sore. Semua usaha sudah dilakukan untuk menolongnya, namun akhirnya dia wafat dalam usia 47 tahun.
Bagi banyak orang, Bejo Sugiantoro adalah representasi hal-hal indah tentang Persebaya Surabaya. Dia adalah bagian dari kebahagiaan dan kebanggaan masyarakat Surabaya pada Liga Indonesia musim 1996-1997 dan 2004.
Bejo tumbuh dari kompetisi internal sepak bola di Surabaya. Dia bergabung dengan Persebaya senior pada usia 17 tahun. Namanya bersinar di bawah bimbingan duet Rusdi Bahlawan dan Subodro. Dia muncul pada saat yang tepat, ketika reputasi pemain belakang legendaris Indonesia asal Persib Bandung Robby Darwis belum tergantikan.
Mungkin Bejo adalah pemain bertahan terakhir dalam kompetisi Indonesia yang menyandang predikat sebagai libero—karena sistem permainan berubah ke formasi empat bek sejajar dan peraturan offside yang lebih ketat.
Dalam khazanah sepak bola, istilah libero banyak disematkan pada sosok Franz Beckenbauer, pemain Jerman; maupun Franco Baresi, pemain asal Italia. Libero bisa diartikan sebagai sosok pemain belakang yang bertugas mengatur pertahanan dan bebas bergerak untuk menyerang. Dia pandai membaca arah permainan.
Itulah yang selama ini dimiliki Bejo. Kemampuan membaca permainan dengan baik. Analis sepak bola dan mantan pemain tim nasional, Iswadi Idris, menyebut Bejo adalah nilai plus Persebaya dalam laga final Liga Indonesia 1996-1997 melawan Bandung Raya. Bejo memiliki kemampuan untuk muncul dari belakang ke tengah untuk membantu serangan.
“Kemampuan ini menyebabkan lini tengah Persebaya kelebihan satu orang. Hal ini akan menyulitkan barisan pertahanan lawan dalam mengorganisasi pertahanan,” kata Iswadi, di Jawa Pos edisi 28 Juli 1997.
Benar saja. Saat final Liga Indonesia 1996-1997 di Senayan, Bejo dan Justino Pinheiro menjadi benteng tangguh yang mematikan ujung tombak Bandung Raya, Peri Sandria.
Permainan Bejo ini yang memikat pelatih timnas asal Belanda, Henk Wullems. Bersama Eri Irianto, Aji Santoso, Khairil Anwar, dan Uston Nawawi, dia dipanggil untuk memperkuat timnas dalam SEA Games XIX di Jakarta pada Oktober 1997. Timnas Indonesia akhirnya meraih medali perak setelah dikalahkan Thailand.
Tujuh tahun kemudian, keberuntungan kembali menaungi Bejo. Kali ini ia mengantarkan Persebaya menjadi juara Liga Indonesia X 2004 setelah mengalahkan Persija Jakarta pada laga terakhir di Stadion Gelora 10 Nopember, 23 Desember 2004.
Foto ikonik Bejo saat itu adalah ketika dia menangis dan menggendong sang anak Rachmat Irianto yang akrab disapa Rian. Saat itu Rian masih berusia lima tahun, dan kelak, dia menjadi pemain sepak bola sebagaimana ayahnya. Dan saat mengantarkan Persib Bandung menjadi juara Liga 1 Musim 2023-24, Rian melakukan apa yang pernah dilakukan Bejo dulu: menggendong putranya.
Pengabdian Bejo untuk Persebaya tak hanya sebagai pemain. Dia sempat menjadi bagian dari tim pelatih Bajul Ijo yang ikut menggembleng bek tim nasional Rizky Ridho. Sebagai pelatih, dia sangat tegas. Tidak hanya kepada pemain, tapi juga kepada supporter.
Bejo sempat mendatangi tribun utara, karena spanduk bertuliskan Arema FC di papan skor dibalik oleh Bonek dalam laga yang digelar pada 9 April 2019 di Gelora Bung Tomo. Dia meminta kepada Bonek untuk mengembalikan spanduk tersebut seperti sedia kala. Bagi Bejo, rivalitas harus ditunjukkan dengan sehat di atas lapangan hijau.
“Minta tolong agar spanduknya jangan dibalik. Katanya Bonek menjadi yang terbaik. Minta tolong dibalik spanduknya,” kata Bejo saat itu, yang ramai dikutip media. Pertandingan akhirnya dimulai setelah spanduk itu dikembalikan ke posisi semula.
Bejo sangat ingin menyaksikan Persebaya kembali juara liga nasional setelah “puasa” sejak 2004. Namun keinginannya tak pernah terwujud. Tahun 2023, manajemen Persebaya mengistirahatkannya. Bejo kemudian melatih klub tetangga Persebaya, Deltras Sidoarjo.
Tuhan telah memanggil Bejo “pulang”, menutup pertandingan kehidupannya. Lokasinya pun di tempat yang sangat dia cintai sepanjang hayat: lapangan hijau.
Dan dari Bejo kita tahu, pemain boleh datang silih berganti, klub bisa jadi berpindah, tetapi status legenda hanya datang sekali. Selamat Jalan, Cak.
*) Eri Irawan, penggemar sepak bola, Ketua Komisi C DPRD Surabaya.