33 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Siaran Ramadan Perlu Ramah Lingkungan

PADA bulan Ramadan terjadi perubahan gestur pola kepemirsaan. Jam sahur sampai menjelang imsak, misalnya, jika bulan-bulan sebelumnya menjadi jam hantu karena jarang sekali terdapat masyarakat yang menonton televisi atau mendengar radio, pada bulan Ramadan menjadi kebalikannya, ramai penuh pemirsa.

Jika sambil menunggu imsak kecenderungannya adalah menikmati siaran televisi dan radio, pun demikian halnya saat menjelang buka puasa, termasuk pasca-Tarawih. Pada masa 2019–2021, misalnya, seperti temuan Nielsen (2022), pada tahun 2021 dibandingkan 2019 mengalami peningkatan kepemirsaan sebesar 24 persen dan 35 persen. Temuan itu juga menjelaskan bagaimana masyarakat mempunyai kecenderungan menonton program religi, anak-anak, dan hiburan lebih tinggi di bulan Ramadan.

Selain itu, jika melihat temuan data dari sisi kualitas sebagaimana dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), indeks program siaran agama sepanjang 2017–2024 selalu di atas standar yang ditetapkan KPI, yakni di atas angka 3. Baik kepemirsaan maupun indeks kualitas, program siaran agama sangat memungkinkan menjadi corong edukasi bagi masyarakat. Televisi bisa menjaga rating kepemirsaan sekaligus kualitas program siarannya sehingga masyarakat tidak khawatir terhadap dampak dari program siarannya.

Kesesuaian dua dimensi ini sangat tepat apabila isu lingkungan dimasukkan ke dalam program siaran agama, utamanya saat bulan Ramadan. Naiknya tingkat kepemirsaan terhadap siaran agama pada bulan puasa dan kualitas programnya yang apik akan memudahkan masyarakat menerima konstruksi keagamaan yang bernuansa dan berimplikasi pada meningkatnya kesalehan lingkungan.

Apalagi, KPI melonggarkan lembaga penyiaran untuk meningkatkan durasi dan frekuensi yang bermuatan dakwah selama bulan Ramadan sebagaimana tertuang dalam SE Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan. Seyogianya kelonggaran ini harus dimaknai lebih sensitif oleh lembaga penyiaran sesuai dengan kebutuhan sosial. Selain pesan-pesan dakwah yang bisa menumbuhkan kesalehan sosial dan individual, pesan dakwah mesti diperluas ke dimensi kemanusiaan yang lain, seperti kesalehan lingkungan.

Baca Juga :  Sambut Ramadan, Stok Beras di Seruyan Dipastikan Aman

Kesalehan Lingkungan

Mendorong pesan-pesan dakwah agar meningkatkan kesalehan lingkungan oleh para penceramah, diakui atau tidak, cukup langka ditemui di lembaga penyiaran. Padahal, dalam Alquran, pesan mewujudkan kesalehan lingkungan ini merupakan bagian dari ekspresi keberagamaan yang harus dijalankan oleh umat, seperti tertuang dalam Al-Baqarah 30 atau Al-A’raf 56 serta banyak lainnya.

Selain wasilah kekhalifahan manusia untuk menjaga lingkungan, sangat tepat dengan Indonesia yang intim dengan peristiwa bencana alam. Seperti yang kita simak seharihari, bencana alam berupa tanah longsor dan banjir yang menimpa sebagian besar daerah di Sumatera Barat dan Jawa Tengah, termasuk gempa bumi di dekat Tuban-Bawean, Jawa Timur.

Bencana alam tersebut mengakibatkan kerusakan alam, infrastruktur, dan fasilitas publik yang juga menghambat aktivitas dan mobilitas kita. Belum lagi, berkaitan dengan perubahan iklim, sampah, kebakaran hutan, dan seterusnya.

Selanjutnya adalah pesan dakwah tentang kesalehan lingkungan ini ditujukan untuk menggeser mentalitas dan perspektif lembaga penyiaran terhadap isu lingkungan. Hal ini relevan dengan apa yang dituturkan penggagas fikih lingkungan Kiai Ali Yafie (2006) mengenai keterpusatan perspektif alam modern yang melulu memandang alam semesta, termasuk lingkungan, sebagai mesin sehingga berimplikasi melahirkan egosentrisme.

Dalam konteks industri media, egosentrisme ini erat kaitannya dengan orientasi program siaran untuk menambang keuntungan materi yang dengan melipat kepentingan-kepentingan publik yang lain. Pendapatan iklan menjadi yang utama ketimbang isi program, termasuk juga nuansa hiburan yang lebih tebal daripada tuntunan.

Baca Juga :  Waspada Pencurian di Bulan Ramadan, Aktifkan Kembali Siskamling

Hal ini sedikitnya dapat dilihat dari beragam siaran yang sifatnya menyajikan program dengan karakter budaya populer nan homogen. Tidak hanya itu, tapi juga dalam pola siaran yang terus dilakukan secara intens dan berulang-ulang. Belum lagi muatan isu lingkungan yang jauh dari atensi materi mitigasi, dampak kerusakan, apa yang harus dilakukan, karena lebih memuat peristiwa saat terjadinya bencana.

Akibatnya, yang dirangsang oleh program siaran sekadar empati dan simpati masyarakat. Tidak menyentuh pada hal-hal yang bersifat literatif dan mengedukasi masyarakat mengenai lingkungan sehingga masyarakat mempunyai kesadaran yang komprehensif dalam hal penanggulangan bencana.

Muatan siaran dakwah dan pola siaran agama, terlebih pada saat Ramadan, homogen hadir di beragam program siaran yang terkesan memfasilitasi kepentingan ekonomi. Mulai dari iklan, talk show, sinetron, hingga banyak lagi lainnya hanya menangkap geliat pemeringkatan pemirsa. Bukan pembangunan kesadaran yang lebih luas dan komprehensif terkait kepentingan publik seperti lingkungan.

Maka perlu mengetengahkan apa yang dibilang Kiai Ali Yafie tentang perspektif lingkungan sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan memiliki dimensi spiritual. Sehingga isu lingkungan, baik dalam kaitannya dengan spirit dakwah maupun program siaran lainnya, menjadi muatan yang menyentuh substansi, yaitu mendorong kesalehan lingkungan. (*)

*) UBAIDILLAH, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

PADA bulan Ramadan terjadi perubahan gestur pola kepemirsaan. Jam sahur sampai menjelang imsak, misalnya, jika bulan-bulan sebelumnya menjadi jam hantu karena jarang sekali terdapat masyarakat yang menonton televisi atau mendengar radio, pada bulan Ramadan menjadi kebalikannya, ramai penuh pemirsa.

Jika sambil menunggu imsak kecenderungannya adalah menikmati siaran televisi dan radio, pun demikian halnya saat menjelang buka puasa, termasuk pasca-Tarawih. Pada masa 2019–2021, misalnya, seperti temuan Nielsen (2022), pada tahun 2021 dibandingkan 2019 mengalami peningkatan kepemirsaan sebesar 24 persen dan 35 persen. Temuan itu juga menjelaskan bagaimana masyarakat mempunyai kecenderungan menonton program religi, anak-anak, dan hiburan lebih tinggi di bulan Ramadan.

Selain itu, jika melihat temuan data dari sisi kualitas sebagaimana dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), indeks program siaran agama sepanjang 2017–2024 selalu di atas standar yang ditetapkan KPI, yakni di atas angka 3. Baik kepemirsaan maupun indeks kualitas, program siaran agama sangat memungkinkan menjadi corong edukasi bagi masyarakat. Televisi bisa menjaga rating kepemirsaan sekaligus kualitas program siarannya sehingga masyarakat tidak khawatir terhadap dampak dari program siarannya.

Kesesuaian dua dimensi ini sangat tepat apabila isu lingkungan dimasukkan ke dalam program siaran agama, utamanya saat bulan Ramadan. Naiknya tingkat kepemirsaan terhadap siaran agama pada bulan puasa dan kualitas programnya yang apik akan memudahkan masyarakat menerima konstruksi keagamaan yang bernuansa dan berimplikasi pada meningkatnya kesalehan lingkungan.

Apalagi, KPI melonggarkan lembaga penyiaran untuk meningkatkan durasi dan frekuensi yang bermuatan dakwah selama bulan Ramadan sebagaimana tertuang dalam SE Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadan. Seyogianya kelonggaran ini harus dimaknai lebih sensitif oleh lembaga penyiaran sesuai dengan kebutuhan sosial. Selain pesan-pesan dakwah yang bisa menumbuhkan kesalehan sosial dan individual, pesan dakwah mesti diperluas ke dimensi kemanusiaan yang lain, seperti kesalehan lingkungan.

Baca Juga :  Sambut Ramadan, Stok Beras di Seruyan Dipastikan Aman

Kesalehan Lingkungan

Mendorong pesan-pesan dakwah agar meningkatkan kesalehan lingkungan oleh para penceramah, diakui atau tidak, cukup langka ditemui di lembaga penyiaran. Padahal, dalam Alquran, pesan mewujudkan kesalehan lingkungan ini merupakan bagian dari ekspresi keberagamaan yang harus dijalankan oleh umat, seperti tertuang dalam Al-Baqarah 30 atau Al-A’raf 56 serta banyak lainnya.

Selain wasilah kekhalifahan manusia untuk menjaga lingkungan, sangat tepat dengan Indonesia yang intim dengan peristiwa bencana alam. Seperti yang kita simak seharihari, bencana alam berupa tanah longsor dan banjir yang menimpa sebagian besar daerah di Sumatera Barat dan Jawa Tengah, termasuk gempa bumi di dekat Tuban-Bawean, Jawa Timur.

Bencana alam tersebut mengakibatkan kerusakan alam, infrastruktur, dan fasilitas publik yang juga menghambat aktivitas dan mobilitas kita. Belum lagi, berkaitan dengan perubahan iklim, sampah, kebakaran hutan, dan seterusnya.

Selanjutnya adalah pesan dakwah tentang kesalehan lingkungan ini ditujukan untuk menggeser mentalitas dan perspektif lembaga penyiaran terhadap isu lingkungan. Hal ini relevan dengan apa yang dituturkan penggagas fikih lingkungan Kiai Ali Yafie (2006) mengenai keterpusatan perspektif alam modern yang melulu memandang alam semesta, termasuk lingkungan, sebagai mesin sehingga berimplikasi melahirkan egosentrisme.

Dalam konteks industri media, egosentrisme ini erat kaitannya dengan orientasi program siaran untuk menambang keuntungan materi yang dengan melipat kepentingan-kepentingan publik yang lain. Pendapatan iklan menjadi yang utama ketimbang isi program, termasuk juga nuansa hiburan yang lebih tebal daripada tuntunan.

Baca Juga :  Waspada Pencurian di Bulan Ramadan, Aktifkan Kembali Siskamling

Hal ini sedikitnya dapat dilihat dari beragam siaran yang sifatnya menyajikan program dengan karakter budaya populer nan homogen. Tidak hanya itu, tapi juga dalam pola siaran yang terus dilakukan secara intens dan berulang-ulang. Belum lagi muatan isu lingkungan yang jauh dari atensi materi mitigasi, dampak kerusakan, apa yang harus dilakukan, karena lebih memuat peristiwa saat terjadinya bencana.

Akibatnya, yang dirangsang oleh program siaran sekadar empati dan simpati masyarakat. Tidak menyentuh pada hal-hal yang bersifat literatif dan mengedukasi masyarakat mengenai lingkungan sehingga masyarakat mempunyai kesadaran yang komprehensif dalam hal penanggulangan bencana.

Muatan siaran dakwah dan pola siaran agama, terlebih pada saat Ramadan, homogen hadir di beragam program siaran yang terkesan memfasilitasi kepentingan ekonomi. Mulai dari iklan, talk show, sinetron, hingga banyak lagi lainnya hanya menangkap geliat pemeringkatan pemirsa. Bukan pembangunan kesadaran yang lebih luas dan komprehensif terkait kepentingan publik seperti lingkungan.

Maka perlu mengetengahkan apa yang dibilang Kiai Ali Yafie tentang perspektif lingkungan sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan memiliki dimensi spiritual. Sehingga isu lingkungan, baik dalam kaitannya dengan spirit dakwah maupun program siaran lainnya, menjadi muatan yang menyentuh substansi, yaitu mendorong kesalehan lingkungan. (*)

*) UBAIDILLAH, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

Terpopuler

Artikel Terbaru