28.9 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Menguji Imparsialitas Hakim MK

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian permohonan atas pengujian usia pasangan calon presiden-wakil presiden menimbulkan kontroversi.

Terlebih, dalam putusan tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion menyebutkan, ”Baru kali ini saya mengalami peristiwa ’aneh’ yang ’luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.”

Sebelumnya, dalam Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU/XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang (UU) untuk mengubahnya.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansi memutuskan bahwa persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah ”berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Mahkamah menambahkan syarat alternatif sebagai norma baru, yaitu ”pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.

Aspek legal standing penting untuk dianalisis lebih lanjut pada putusan ini. Putusan MK lazimnya dimulai dengan menilai kedudukan hukum pemohon harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, pemohon disyaratkan harus merupakan pihak yang menganggap haknya dirugikan atas berlakunya suatu UU yang hendak diajukan.

Kedua, adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan objek permohonan. Ketiga, apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, kerugian yang bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya UU tersebut.

Hakim MK menilai pemohon merupakan warga negara Indonesia dan memiliki kualifikasi sebagai mahasiswa di Surakarta dan bercita-cita ingin menjadi presiden dan wakil presiden.

Dia memiliki hak konstitusional yang sama untuk memilih dan/atau dipilih sebagai capres serta cawapres. Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menimbulkan diskriminasi terhadap pemohon karena melanggar hak konstitusionalnya untuk dipilih dan memilih capres dan cawapres yang berusia di bawah 40 tahun pada Pemilu 2024.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Pertimbangan MK atas kedudukan pemohon masih bersifat abstrak. MK memberikan keputusan hanya mendasarkan pada imajinasi pemohon yang bercita-cita menjadi pasangan capres-cawapres. Belum terdapat kerugian yang nyata.

Bahkan, pemohon belum tentu akan mendaftarkan diri sebagai pasangan capres karena syarat untuk mendaftar telah dikunci oleh konstitusi. Yakni Pasal 6A UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945, yaitu pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Pasal 6 UUD NRI 1945 merupakan dasar pengaturan persyaratan capres dan cawapres. Pasal tersebut mengatur dua hal penting. Pertama, capres dan cawapres harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Kedua, syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan UU. Ketentuan tersebut secara jelas menegaskan dan memberikan kewenangan kepada DPR dan presiden sebagai pembuat UU untuk mengatur syarat-syarat lebih lengkap capres dan cawapres.

Penambahan norma baru oleh MK berupa syarat alternatif berkaitan usia pasangan capres-cawapres dengan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu itu dapat dipandang MK telah mengambil alih kewenangan kamar cabang kekuasaan yang lain, yaitu kamar kewenangan legislatif. MK seyogianya tetap dapat menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dengan menguji dan membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD.

Baca Juga :  Soal Putusan MK, Gibran Bisa Maju Cawapres Lewat Jalur Ini

Para hakim MK sebaiknya dapat menjaga dirinya dari godaan untuk tidak terlalu banyak menjadi pembuat UU (positive legislator) dengan menambahkan norma baru. Penambahan norma baru oleh MK dapat dimaklumi apabila digunakan secara sangat terbatas pada hal-hal yang bersifat sangat urgen dan menyangkut hajat hidup orang banyak yang dilanggar.

Sedangkan putusan yang ini tidak terdapat urgensi yang sedemikian penting untuk diambil. Selain itu, juga berdekatan dengan periode pendaftaran pasangan capres dan cawapres sehingga terkesan sangat beririsan dengan aspek nonhukum.

Para hakim MK seyogianya tetap dapat memegang dua prinsip penting dalam menjalankan tugas agar mendapat dukungan dan selalu di hati masyarakat, yaitu prinsip integritas dan prinsip imparsialitas. Prinsip integritas berkaitan dengan tindakan dan perilaku hukum yang dilakukan.

Integritas ini merupakan gambaran diri dalam suatu organisasi yang terlihat dari perilaku dan tindakan sehari-hari. Integritas menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tecermin dalam perbuatan, dalam hal ini integritas peradilan dilihat dari putusan yang dihasilkan.

Sedangkan faktor imparsialitas memiliki arti netral atau tidak memihak. MK harus dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai lembaga negara yang independen dan memutuskan semata berdasar aspek hukum dan mengutamakan kepentingan konstitusi.

Untuk menjaga marwah MK atas berkembangnya dugaan pelanggaran integritas dan imparsialitas pada putusan ini, diperlukan langkah hukum dari Dewan Etik MK. Dewan Etik MK diharapkan dapat melakukan pemeriksaan terhadap para hakim demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan menjaga kepercayaan masyarakat. (*)

*) Mohammad Syaiful Aris, Dosen hukum pemilu Universitas Airlangga Surabaya

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagian permohonan atas pengujian usia pasangan calon presiden-wakil presiden menimbulkan kontroversi.

Terlebih, dalam putusan tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion menyebutkan, ”Baru kali ini saya mengalami peristiwa ’aneh’ yang ’luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.”

Sebelumnya, dalam Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU/XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang (UU) untuk mengubahnya.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansi memutuskan bahwa persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah ”berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Mahkamah menambahkan syarat alternatif sebagai norma baru, yaitu ”pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.

Aspek legal standing penting untuk dianalisis lebih lanjut pada putusan ini. Putusan MK lazimnya dimulai dengan menilai kedudukan hukum pemohon harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, pemohon disyaratkan harus merupakan pihak yang menganggap haknya dirugikan atas berlakunya suatu UU yang hendak diajukan.

Kedua, adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan objek permohonan. Ketiga, apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, kerugian yang bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya UU tersebut.

Hakim MK menilai pemohon merupakan warga negara Indonesia dan memiliki kualifikasi sebagai mahasiswa di Surakarta dan bercita-cita ingin menjadi presiden dan wakil presiden.

Dia memiliki hak konstitusional yang sama untuk memilih dan/atau dipilih sebagai capres serta cawapres. Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menimbulkan diskriminasi terhadap pemohon karena melanggar hak konstitusionalnya untuk dipilih dan memilih capres dan cawapres yang berusia di bawah 40 tahun pada Pemilu 2024.

Baca Juga :  Deja Vu PDI 1996 dan Partai Demokrat Hari Ini

Pertimbangan MK atas kedudukan pemohon masih bersifat abstrak. MK memberikan keputusan hanya mendasarkan pada imajinasi pemohon yang bercita-cita menjadi pasangan capres-cawapres. Belum terdapat kerugian yang nyata.

Bahkan, pemohon belum tentu akan mendaftarkan diri sebagai pasangan capres karena syarat untuk mendaftar telah dikunci oleh konstitusi. Yakni Pasal 6A UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945, yaitu pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Pasal 6 UUD NRI 1945 merupakan dasar pengaturan persyaratan capres dan cawapres. Pasal tersebut mengatur dua hal penting. Pertama, capres dan cawapres harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Kedua, syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan UU. Ketentuan tersebut secara jelas menegaskan dan memberikan kewenangan kepada DPR dan presiden sebagai pembuat UU untuk mengatur syarat-syarat lebih lengkap capres dan cawapres.

Penambahan norma baru oleh MK berupa syarat alternatif berkaitan usia pasangan capres-cawapres dengan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu itu dapat dipandang MK telah mengambil alih kewenangan kamar cabang kekuasaan yang lain, yaitu kamar kewenangan legislatif. MK seyogianya tetap dapat menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dengan menguji dan membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD.

Baca Juga :  Soal Putusan MK, Gibran Bisa Maju Cawapres Lewat Jalur Ini

Para hakim MK sebaiknya dapat menjaga dirinya dari godaan untuk tidak terlalu banyak menjadi pembuat UU (positive legislator) dengan menambahkan norma baru. Penambahan norma baru oleh MK dapat dimaklumi apabila digunakan secara sangat terbatas pada hal-hal yang bersifat sangat urgen dan menyangkut hajat hidup orang banyak yang dilanggar.

Sedangkan putusan yang ini tidak terdapat urgensi yang sedemikian penting untuk diambil. Selain itu, juga berdekatan dengan periode pendaftaran pasangan capres dan cawapres sehingga terkesan sangat beririsan dengan aspek nonhukum.

Para hakim MK seyogianya tetap dapat memegang dua prinsip penting dalam menjalankan tugas agar mendapat dukungan dan selalu di hati masyarakat, yaitu prinsip integritas dan prinsip imparsialitas. Prinsip integritas berkaitan dengan tindakan dan perilaku hukum yang dilakukan.

Integritas ini merupakan gambaran diri dalam suatu organisasi yang terlihat dari perilaku dan tindakan sehari-hari. Integritas menunjukkan konsistensi antara ucapan dan keyakinan yang tecermin dalam perbuatan, dalam hal ini integritas peradilan dilihat dari putusan yang dihasilkan.

Sedangkan faktor imparsialitas memiliki arti netral atau tidak memihak. MK harus dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai lembaga negara yang independen dan memutuskan semata berdasar aspek hukum dan mengutamakan kepentingan konstitusi.

Untuk menjaga marwah MK atas berkembangnya dugaan pelanggaran integritas dan imparsialitas pada putusan ini, diperlukan langkah hukum dari Dewan Etik MK. Dewan Etik MK diharapkan dapat melakukan pemeriksaan terhadap para hakim demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan menjaga kepercayaan masyarakat. (*)

*) Mohammad Syaiful Aris, Dosen hukum pemilu Universitas Airlangga Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru