25 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Politik Media Sosial

AWAL 2021 ditandai dengan sejumlah momen
politik di berbagai negara yang menunjukkan besarnya peran media sosial
(medsos) dalam kelangsungan demokrasi. Tantangannya adalah bagaimana agar
medsos menyokong demokrasi, tidak justru membuatnya surut.

Di Amerika Serikat (AS), akun Twitter resmi
Donald Trump hingga kini ditangguhkan lantaran diduga mengandung hoax dan
provokasi. Penangguhan akun itu mengiringi potret buram demokrasi AS akibat
huru-hara di US Capitol awal Januari lalu oleh pendukung garis keras Trump yang
menolak terpilihnya Joe Biden. Alhasil, Trump berhadapan dengan pemakzulan
kedua karena dipandang menghasut pengikutnya via medsos menentang hasil pemilu.
Kendati pemakzulan itu akhirnya gagal lantaran tak memenuhi dua pertiga suara
senator.

Di Myanmar, otoritas militer menutup akses
internet untuk meredam gejolak aksi protes atas kudeta terhadap pemerintahan
sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Mereka juga memburu para pemilik akun medsos
yang menggalang gerakan antikudeta.

Hal yang sama terjadi di Uganda. Otoritas
setempat memerintah penyedia layanan internet memblokir semua platform medsos
dan aplikasi perpesanan menjelang pemilu di negara itu. Pemblokiran tersebut
dipandang menguntungkan Presiden Petahana Yoweri Museveni, mengingat lawan
politiknya adalah tokoh muda karismatis Bobi Wine, yang memiliki banyak
pendukung di medsos.

Tiga peristiwa itu terjadi di tengah momentum
peralihan kepemimpinan politik sekalipun aktornya berbeda-beda. Di AS,
penangguhan akun Trump langsung dilakukan pihak Twitter setelah berkali-kali
memperingatkannya karena kerap membagikan kabar palsu dan hasutan politik. Di
Myanmar, pelakunya adalah pemimpin militer pengudeta pemerintah sipil yang
sebelumnya berkuasa. Sementara di Uganda, aktor pemblokiran medsos adalah Komisi
Komunikasi yang berada di bawah otoritas pemerintah petahana.

Berbagai peristiwa itu menunjukkan dengan
gamblang betapa medsos merupakan alat politik yang amat strategis dan efektif
untuk memengaruhi maupun membatasi opini publik. Dalam sebuah kelas tentang
civil society di University of Nottingham, dosen saya Karma Tashi Choedron
mengatakan, saat ini tak ada satu pun gerakan sosial maupun perubahan momen
politik yang tak melibatkan medsos.

Baca Juga :  Ini soal Keseriusan untuk Menuntaskan

Konten politik di medsos bisa diviralkan
dengan cepat sehingga dapat mengubah persepsi publik dalam tempo singkat. Pun,
akun medsos dan akses komunikasi digital bisa diblokir untuk meredam opini yang
berseberangan. Pada akhirnya, kendali opini ditentukan oleh siapa yang
menguasai narasi di jagat maya.

Di Indonesia, topik perihal politik dan
medsos tengah hangat. Terlebih setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih
aktif mengkritik pemerintah. Pernyataan presiden itu mendapat beragam respons.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan, ”Bagaimana caranya mengkritik
pemerintah tanpa dipanggil polisi?”

Sementara di medsos, warganet meramaikan
tagar #LaporTakDitangkap. Pun, dalam waktu berdekatan, viral foto (lama)
pertemuan Presiden Jokowi dengan para penggiat medsos. Banyak kalangan
menyebutkan, mereka adalah buzzer politik istana.

Buzzer, pemblokiran, dan iklan politik memang
merupakan tiga topik kunci dalam demokrasi digital. Ketiganya berkelindan luar
biasa dalam kontestasi politik beberapa tahun terakhir. Pemilik ruang kuasa,
entah itu pemerintah, pemodal, maupun partai politik, memiliki pengaruh lebih
dalam menentukan boleh tidaknya tiga hal tersebut. Mereka juga bisa
melakukannya dengan cara tersamar, lalu mengelabui publik dengan ragam dalih.

Apakah yang dilakukan itu meningkatkan atau
menurunkan level demokrasi menjadi tanda tanya. AS sebagai negara adidaya
promotor demokrasi kerap menjadi cermin bagi isu-isu baru dalam demokrasi,
termasuk demokrasi digital. Dalam konteks itu, pemblokiran terhadap akun Trump
dipandang sebagai langkah menyelamatkan demokrasi. Sementara skandal iklan
politik memanfaatkan data pribadi pengguna medsos oleh Facebook-Cambridge
Analytica dinilai merusak demokrasi.

Jillian C. York dalam sebuah kolom di The
Guardian (11/2) menulis, ”It’s taken Donald Trump to show social media giants
the meaning of moderation.” York mempertanyakan langkah pemilik platform medsos
seperti Twitter dan Facebook yang terlambat menangani berbagai kasus itu.
Twitter terlambat memblokir akun Trump sehingga berakibat pecahnya huru-hara di
US Capitol. Facebook terlambat merespons iklan politik yang mengeksploitasi
data pengguna. Alhasil, moderasi dan pembatasan iklan politik menjadi
alternatif solusi agar konten negatif dan hasutan politik tak leluasa hilir
mudik di medsos.

Baca Juga :  Pudarnya Pancasila Dalam RUU Cipta Kerja

Di Indonesia pun, Facebook sudah mengeluarkan
pernyataan untuk uji coba pembatasan iklan politik. Tapi, apakah semudah itu?
Bagaimana dengan tarik-menarik kepentingan antara pemilik platform dan
penguasa? Bisakah dengan leluasa otoritas nasional ikut terlibat memblokir
akun-akun lawan politiknya dan membatasi akses internet?

Moderasi dan pembatasan iklan politik memang
menjadi langkah baru yang layak dipertimbangkan. Namun, kunci dari demokrasi
digital adalah warganet yang beradab (civilized netizen). Seperti halnya kunci
demokrasi adalah warga yang baik (good citizen) sebagai basis civil society.

Sebaik apa pun regulasi medsos oleh
pemerintah dan pemilik platform, jika warganet mudah terhasut, apa daya.
Politik medsos adalah perihal kepentingan politisi untuk menggapai dan
melanggengkan kekuasaan. Segala cara dilakukan, termasuk menggiring opini
melalui hasutan.

Jika ingin demokrasi kita naik level, civil
society harus berkualitas. Jika ingin demokrasi digital naik level, warganet
harus beradab. Tapi, jangan-jangan, politisi memang senang jika warganet mudah
terbakar emosi sehingga gampang dihasut.

Berbagai peristiwa pergulatan medsos dan
kontestasi politik di beberapa negara awal tahun ini menjadi pelajaran bagi
kita. Salah urus medsos bisa merenggut masa depan demokrasi. Kuncinya adalah perpaduan
antara regulasi dan kesadaran warganet. (*)


Subhan Setowara, MA International Relations
University of Nottingham, Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar-UMM

AWAL 2021 ditandai dengan sejumlah momen
politik di berbagai negara yang menunjukkan besarnya peran media sosial
(medsos) dalam kelangsungan demokrasi. Tantangannya adalah bagaimana agar
medsos menyokong demokrasi, tidak justru membuatnya surut.

Di Amerika Serikat (AS), akun Twitter resmi
Donald Trump hingga kini ditangguhkan lantaran diduga mengandung hoax dan
provokasi. Penangguhan akun itu mengiringi potret buram demokrasi AS akibat
huru-hara di US Capitol awal Januari lalu oleh pendukung garis keras Trump yang
menolak terpilihnya Joe Biden. Alhasil, Trump berhadapan dengan pemakzulan
kedua karena dipandang menghasut pengikutnya via medsos menentang hasil pemilu.
Kendati pemakzulan itu akhirnya gagal lantaran tak memenuhi dua pertiga suara
senator.

Di Myanmar, otoritas militer menutup akses
internet untuk meredam gejolak aksi protes atas kudeta terhadap pemerintahan
sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Mereka juga memburu para pemilik akun medsos
yang menggalang gerakan antikudeta.

Hal yang sama terjadi di Uganda. Otoritas
setempat memerintah penyedia layanan internet memblokir semua platform medsos
dan aplikasi perpesanan menjelang pemilu di negara itu. Pemblokiran tersebut
dipandang menguntungkan Presiden Petahana Yoweri Museveni, mengingat lawan
politiknya adalah tokoh muda karismatis Bobi Wine, yang memiliki banyak
pendukung di medsos.

Tiga peristiwa itu terjadi di tengah momentum
peralihan kepemimpinan politik sekalipun aktornya berbeda-beda. Di AS,
penangguhan akun Trump langsung dilakukan pihak Twitter setelah berkali-kali
memperingatkannya karena kerap membagikan kabar palsu dan hasutan politik. Di
Myanmar, pelakunya adalah pemimpin militer pengudeta pemerintah sipil yang
sebelumnya berkuasa. Sementara di Uganda, aktor pemblokiran medsos adalah Komisi
Komunikasi yang berada di bawah otoritas pemerintah petahana.

Berbagai peristiwa itu menunjukkan dengan
gamblang betapa medsos merupakan alat politik yang amat strategis dan efektif
untuk memengaruhi maupun membatasi opini publik. Dalam sebuah kelas tentang
civil society di University of Nottingham, dosen saya Karma Tashi Choedron
mengatakan, saat ini tak ada satu pun gerakan sosial maupun perubahan momen
politik yang tak melibatkan medsos.

Baca Juga :  Ini soal Keseriusan untuk Menuntaskan

Konten politik di medsos bisa diviralkan
dengan cepat sehingga dapat mengubah persepsi publik dalam tempo singkat. Pun,
akun medsos dan akses komunikasi digital bisa diblokir untuk meredam opini yang
berseberangan. Pada akhirnya, kendali opini ditentukan oleh siapa yang
menguasai narasi di jagat maya.

Di Indonesia, topik perihal politik dan
medsos tengah hangat. Terlebih setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih
aktif mengkritik pemerintah. Pernyataan presiden itu mendapat beragam respons.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan, ”Bagaimana caranya mengkritik
pemerintah tanpa dipanggil polisi?”

Sementara di medsos, warganet meramaikan
tagar #LaporTakDitangkap. Pun, dalam waktu berdekatan, viral foto (lama)
pertemuan Presiden Jokowi dengan para penggiat medsos. Banyak kalangan
menyebutkan, mereka adalah buzzer politik istana.

Buzzer, pemblokiran, dan iklan politik memang
merupakan tiga topik kunci dalam demokrasi digital. Ketiganya berkelindan luar
biasa dalam kontestasi politik beberapa tahun terakhir. Pemilik ruang kuasa,
entah itu pemerintah, pemodal, maupun partai politik, memiliki pengaruh lebih
dalam menentukan boleh tidaknya tiga hal tersebut. Mereka juga bisa
melakukannya dengan cara tersamar, lalu mengelabui publik dengan ragam dalih.

Apakah yang dilakukan itu meningkatkan atau
menurunkan level demokrasi menjadi tanda tanya. AS sebagai negara adidaya
promotor demokrasi kerap menjadi cermin bagi isu-isu baru dalam demokrasi,
termasuk demokrasi digital. Dalam konteks itu, pemblokiran terhadap akun Trump
dipandang sebagai langkah menyelamatkan demokrasi. Sementara skandal iklan
politik memanfaatkan data pribadi pengguna medsos oleh Facebook-Cambridge
Analytica dinilai merusak demokrasi.

Jillian C. York dalam sebuah kolom di The
Guardian (11/2) menulis, ”It’s taken Donald Trump to show social media giants
the meaning of moderation.” York mempertanyakan langkah pemilik platform medsos
seperti Twitter dan Facebook yang terlambat menangani berbagai kasus itu.
Twitter terlambat memblokir akun Trump sehingga berakibat pecahnya huru-hara di
US Capitol. Facebook terlambat merespons iklan politik yang mengeksploitasi
data pengguna. Alhasil, moderasi dan pembatasan iklan politik menjadi
alternatif solusi agar konten negatif dan hasutan politik tak leluasa hilir
mudik di medsos.

Baca Juga :  Pudarnya Pancasila Dalam RUU Cipta Kerja

Di Indonesia pun, Facebook sudah mengeluarkan
pernyataan untuk uji coba pembatasan iklan politik. Tapi, apakah semudah itu?
Bagaimana dengan tarik-menarik kepentingan antara pemilik platform dan
penguasa? Bisakah dengan leluasa otoritas nasional ikut terlibat memblokir
akun-akun lawan politiknya dan membatasi akses internet?

Moderasi dan pembatasan iklan politik memang
menjadi langkah baru yang layak dipertimbangkan. Namun, kunci dari demokrasi
digital adalah warganet yang beradab (civilized netizen). Seperti halnya kunci
demokrasi adalah warga yang baik (good citizen) sebagai basis civil society.

Sebaik apa pun regulasi medsos oleh
pemerintah dan pemilik platform, jika warganet mudah terhasut, apa daya.
Politik medsos adalah perihal kepentingan politisi untuk menggapai dan
melanggengkan kekuasaan. Segala cara dilakukan, termasuk menggiring opini
melalui hasutan.

Jika ingin demokrasi kita naik level, civil
society harus berkualitas. Jika ingin demokrasi digital naik level, warganet
harus beradab. Tapi, jangan-jangan, politisi memang senang jika warganet mudah
terbakar emosi sehingga gampang dihasut.

Berbagai peristiwa pergulatan medsos dan
kontestasi politik di beberapa negara awal tahun ini menjadi pelajaran bagi
kita. Salah urus medsos bisa merenggut masa depan demokrasi. Kuncinya adalah perpaduan
antara regulasi dan kesadaran warganet. (*)


Subhan Setowara, MA International Relations
University of Nottingham, Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar-UMM

Terpopuler

Artikel Terbaru