PEMERINTAH memutuskan untuk membuka kembali kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai mulai 14 Oktober 2021. Wisman yang diperbolehkan masuk ke Bali pada periode awal berasal dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Abu Dhabi (UEA), dan Dubai (UEA). Mereka harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Di antaranya tes Covid-19 dan menyertakan bukti booking hotel untuk karantina selama delapan hari.
Tentu kabar itu telah lama dinantikan masyarakat Bali, utamanya yang sebagian besar mengandalkan hidupnya pada sektor pariwisata. Sebelumnya Pemerintah Provinsi Bali mengujicobakan pariwisata yang berkualitas. Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana di Rumah Sanur Jumat (17/9) menyatakan, menyambut pembukaan kembali Bali bagi wisman, sementara waktu tidak menerima backpacker. Pernyataan itu senada dengan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menghendaki Bali tetap bersih dengan kedatangan wisman yang berkualitas.
Definisi wisman yang berkualitas dapat diperjelas melalui dua aspek. Pertama, wisman yang datang membelanjakan uang (spend of money) dalam jumlah besar, beredar di berbagai mata rantai industri pariwisata mulai kedatangan hingga kepulangan. Fenomena zero dollar tour pada wisman Tiongkok diharapkan tidak terulang di masa depan. Dari segi lama tinggal (length of stay), wisman berkualitas tidak berorientasi pada paham membelanjakan uang seminimal mungkin untuk mendapatkan manfaat tur semaksimal mungkin dan membeli paket tur dengan itinerary yang padat, maksimal, dengan durasi waktu pendek.
Kedua, secara sosial, mereka wajib tunduk pada peraturan, norma, dan etika yang berlaku di Indonesia. Wisman yang datang taat protokol kesehatan, menggandrungi otentisitas budaya Nusantara dan menghormatinya. Wajah Bali mudah menjadi sorotan dunia. Pernah beredar rekaman wisman yang dengan sengaja menceburkan motor ke laut untuk konten social media. Juga, pernah beredar foto sepasang wisman di sebuah pura di Bali yang menunjukkan tindakan tidak pantas.
Kerap kali perilaku tidak etis ditunjukkan wisman di Bali yang melukai tidak hanya warga Bali, tetapi juga para pencinta alam dan budaya Bali. Selama ini warga menjaga tatanan Bali agar terjaga kesucian dan kelestarian nilai-nilai luhurnya yang telah lama berakar dalam kehidupan sehari-hari.
Pariwisata yang berkualitas meniscayakan input, proses, dan output yang berkualitas. Dalam hal input, selain wisatawan yang berkualitas dengan dua parameter utama di atas, pariwisata yang berkualitas memungkinkan penyerapan sumber daya lokal seoptimal mungkin dalam mata rantai industri pariwisata. Mulai bahan baku, supplier, hingga sumber daya manusia lokal. Termasuk investor yang berorientasi pada idealisme kepariwisataan untuk peningkatan kualitas hidup manusia dan lingkungan. Dan tidak semata-mata mengejar keuntungan jangka pendek.
Indikator kinerja utama untuk sektor pariwisata adalah jumlah tenaga kerja langsung, tidak langsung, dan ikutan sektor pariwisata. Bila wisatawan yang datang semakin berkualitas, dampak pada serapan tenaga kerja akan semakin besar. Tenaga kerja langsung untuk sektor pariwisata itu ada di bidang akomodasi, travel agent, airlines, dan pelayanan penumpang lainnya. Termasuk tenaga kerja di sektor usaha restoran dan tempat rekreasi yang langsung melayani wisatawan. Sedangkan tenaga kerja tidak langsung ada di sektor promosi pariwisata, furnishing/equipment, persewaan kendaraan, dan manufaktur transportasi. Sementara tenaga kerja ikutan mencakup antara lain tenaga kerja pada sektor supply makanan dan minuman, wholesaler, computer utilities, dan jasa perorangan (Idrus, 2018).
Dalam hal proses membuka kembali sektor pariwisata dengan menerima kembali wisman, seharusnya mengadaptasi tata kehidupan baru pascapandemi. Penulis dan sejarawan Yuval Noah Harari dalam artikelnya di Financial Times (20/3) menuliskan tentang dunia setelah wabah Covid-19. Dalam artikelnya tersebut, profesor sejarah yang mengarang buku Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for 21st Century itu menyatakan bahwa badai Covid-19 ini akan berlalu dan setelah itu kita akan memasuki dunia yang baru. Pemahaman dunia yang baru itu mengandaikan tanggung jawab di setiap pihak (konsumen dan produsen) dalam menjalankan dan melayani aktivitas wisata.
Seperti diungkapkan Harari, tiada satu orang pun yang dapat memprediksi kapan berakhirnya pandemi ini. Satu-satunya cara yang paling bijak menyikapi situasi ini adalah beradaptasi. Perilaku bertanggung jawab, sama-sama saling menjaga kesehatan dan keselamatan bersama, merupakan perilaku adaptif terhadap tuntutan zaman saat ini. Di sinilah titik kritis proses dalam menghadirkan pariwisata yang berkualitas. Di sisi demand, menumbuhkan kepercayaan wisatawan akan rasa aman dan nyaman berwisata di Indonesia tidaklah mudah. Kedisiplinan dalam menjalankan protokol kesehatan dalam aktivitas wisata dan kehidupan sehari-hari menjadi tanggung jawab semua pihak, setiap warga negara.
Di sisi supply, pengelola setiap destinasi wisata dan mata rantai industri pariwisata dari hulu sampai hilir perlu jaminan adanya zero tolerance bagi ketidakdisiplinan dalam penerapan protokol kesehatan. Pemberlakuan new protocol Covid-19 di industri pariwisata dan perhotelan, seperti face mask policy, Covid cards sebagai bukti bebas Covid-19, kebijakan vaccinated travel lane, contactless, serta distancing service policy, merupakan titik-titik kritis dalam proses menghadirkan pariwisata yang berkualitas.
Kementerian Pariwisata RI telah mengidentifikasi empat genre pariwisata pascapandemi. Yakni nature tourism, ecotourism, wellness tourism, dan adventure tourism (NEWA) yang akan semakin meningkat dan diminati wisatawan. Segmentasi pasar dalam genre pariwisata ini memiliki karakter selektif dalam kunjungan, tetapi punya tingkat pengeluaran yang tinggi. Wisatawan ekowisata lebih serius dan berniat dalam berwisata. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk mendapatkan pengalaman otentik dari alam yang lestari dan menyaksikan praktik konservasi di Indonesia. Mereka tidak akan mengganggu, apalagi merusak, tatanan nilai sosial budaya dan kelestarian alam.
Bali sebagai etalase pariwisata Indonesia menjadi barometer keterpurukan, dan juga sebaliknya kebangkitan, pariwisata Indonesia di masa pandemi Covid-19. Semoga membuka kembali Bali untuk wisman akan menghadirkan pariwisata yang berkualitas di tanah air. (*)
DEWA GDE SATRYA, Dosen Prodi Pariwisata School of Tourism Universitas Ciputra Surabaya