26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Mewaspadai Gelombang Pengemis

RAMADAN bulan penuh berkah. Umat Islam berlomba
memperbanyak amal ibadah, termasuk sedekah. Tak jarang, ”perlombaan” bersedekah
memancing problem sosial baru, yaitu endemi pengemis.

Meningkatnya jumlah pengemis tak jarang
dikoordinasi oleh jaringan mafia pengemis. Sindikat ini sengaja mendatangkan
orang, termasuk anak-anak dari kampung, untuk menjadi pengemis musiman selama
Ramadan, utamanya mendekati Lebaran. Pada bulan ini, para pengemis mendulang
banyak rupiah. Rata-rata mencapai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per hari. Bahkan
bisa lebih.

Uniknya, di antara para pengemis musiman, tak
semua memiliki latar belakang miskin secara ekonomi. Sebab, secara umum mereka
masih dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok untuk mencapai standar hidup layak
di kampung halamannya (Emil Salim, 1981).

Fenomena sosial semacam ini tak hanya terjadi
di kota-kota besar Indonesia. Kisah para pengemis kaya bisa ditemukan di
sejumlah negara. Di antaranya, India, China, Inggris, Malaysia, Amerika, maupun
Uni Emirat Arab. Di Kota Mumbai, India, para pengemisnya terkenal kaya-kaya.
Seorang pengemis bernama Massu atau Malana, 60, punya penghasilan mengemis
setara Rp 400 ribu per hari. Dia mengemis mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Dari
penghasilan mengemisnya, Malana berhasil memiliki investasi bangunan properti
senilai Rp 500 juta.

 

Para pengemis di China pun demikian. Contohnya
di Kota Nanking. Para pengemis bisa memperoleh penghasilan Rp 15,8 juta dalam
sebulan. Mereka mengemis selama delapan jam sehari. Sebagaimana dilansir surat
kabar Sin Chew, sekitar 80 persen di antara para pengemis di Kota Nanking
sebenarnya tidak miskin.

 

Di Inggris, ada seorang pengemis yang memiliki
tempat tinggal senilai Rp 4,5 miliar di sebelah barat London. Pengemis ini
memperoleh penghasilan Rp 762 juta setiap tahun dari mengemis. Sebuah jumlah
yang sangat fantastis. Sementara itu, di Kota Johor Bahru, Malaysia, ada
seorang pengemis perempuan berusia 73 tahun yang memiliki tiga rekening bank
berisi ribuan ringgit. Pengemis ini juga mempunyai sertifikat saham senilai
16,1 juta ringgit di Amanah Saham Bumiputra.

Baca Juga :  Menggali Sumber Baru Pertumbuhan Ekonomi Kalteng

Ramadan sebagai bulan memperbanyak amal
kebaikan menjadi magnet bagi pengemis musiman untuk melakukan aksinya. Pengemis
ini, yang dalam bahasa arabnya adalah tasawwul, meminta-minta bukan untuk
kemaslahatan orang banyak. Melainkan untuk kepentingan pribadi. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar disebutkan, Rasulullah bersabda,
”seseorang yang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, akan datang pada
hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya”.

 

Pesan agama jelas bahwa kita harus menghindari
perbuatan meminta-minta untuk kepentingan pribadi. Namun, pesan moral saja
tidak cukup untuk mengatasi problem pengemis yang akut di negara kita. Merazia
dan memidanakan pengemis juga bukan cara yang efektif mengatasi problem ini.
Butuh pemikiran serius dan pemetaan mendalam.

Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh.
Pertama, intervensi individual. Para pengemis, terutama yang permanen,
merupakan kelompok miskin kota yang mengalami kondisi deprivasi atau akses yang
terbatas terhadap berbagai fasilitas layanan publik. Misalnya, kesehatan,
pendidikan, air bersih, dan sanitasi.

Keterbatasan ini lama-kelamaan akan melahirkan
perasaan tidak berdaya (helpless) sehingga pola pikir mereka menjadi jangka
pendek, sulit untuk berubah, kurang gigih dalam berusaha, serta ingin cepat
mendapatkan hasil dengan cara-cara yang instan dan mudah. Dengan kondisi
semacam ini, perlu pembongkaran mindset pengemis untuk memutus budaya mengemis
yang telah mengakar. Membongkar problem kognitif (pola pikir) sebagai akar dari
budaya mengemis merupakan kunci mengatasi persoalan pengemis.

Agar proses rekonstruksi mindset lebih efektif,
para pengemis perlu dimasukkan ke semacam ”motivation camp” untuk menumbuhkan
harga diri (self-esteem), jati diri, kehormatan dan kemuliaan diri, kebanggaan
sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah SWT dan manusia. Perlu juga
ditumbuhkan keyakinan bahwa sebenarnya setiap mereka mempunyai kemampuan dan
keterampilan (self-efficacy) yang bisa dilatih dan dikembangkan.

Baca Juga :  Rekonsiliasi Politik Pascapilkada

Sikap represif berupa memidanakan pengemis
sebenarnya hanya akan menyuburkan konflik internal dalam diri seseorang. Dan
konflik-konflik inilah yang akan mendorong seseorang melakukan tindak asosial.

Kedua, intervensi kultural. Artinya, setiap
kelompok pengemis terbelenggu oleh budaya kemiskinan yang sering kali
diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya kemiskinan ini seperti tidak
adanya perencanaan hidup, tidak dapat menunda kesenangan, dan berorientasi pada
kepentingan jangka pendek. Sehingga urusan pendidikan bukan prioritas bagi
mereka. Kesadaran pentingnya investasi jangka panjang berupa pendidikan sangat
kurang.

Dari titik inilah relevan dilakukan intervensi
kultural bagi para kelompok pengemis. Misalnya, melalui program empowering
sebagai upaya menumbuhkan kemandirian, self-efficacy, dan self-reliance. Bukan
hanya orang tua, anak-anak pengemis juga harus menjadi sasaran pemberdayaan,
misalnya dengan pemberian beasiswa dan kemudian menempatkan mereka di asrama yang
jauh dari lingkungan orang tuanya, agar tumbuh budaya baru yang jauh dari
budaya mengemis. Cara ini diperlukan untuk memotong kultur generasi yang sudah
mengakar dalam keluarga pengemis.

Ketiga, intervensi struktural. Artinya,
intervensi terhadap kebijakan struktural sangat diperlukan. Misalnya,
memprioritaskan terbukanya akses bagi kelompok pengemis terhadap pendidikan,
kesehatan, air bersih, perumahan, listrik, dan program-program welfare lainnya.

Sebagai manusia yang memiliki martabat dan
derajat tinggi, sudah selayaknya para pengemis merdeka dari belenggu cara
pandang, mental, sikap, dan perilaku yang negatif. Bebas dari budaya meminta,
lepas dari bayang-bayang kultur kemiskinan, dan adil mendapatkan pelayanan
sebagaimana masyarakat dari golongan yang lain. (*)

 

Ainna Amalia, Pengurus Asosiasi Dosen Republik
Indonesia (ADRI) Jatim dan dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya

RAMADAN bulan penuh berkah. Umat Islam berlomba
memperbanyak amal ibadah, termasuk sedekah. Tak jarang, ”perlombaan” bersedekah
memancing problem sosial baru, yaitu endemi pengemis.

Meningkatnya jumlah pengemis tak jarang
dikoordinasi oleh jaringan mafia pengemis. Sindikat ini sengaja mendatangkan
orang, termasuk anak-anak dari kampung, untuk menjadi pengemis musiman selama
Ramadan, utamanya mendekati Lebaran. Pada bulan ini, para pengemis mendulang
banyak rupiah. Rata-rata mencapai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per hari. Bahkan
bisa lebih.

Uniknya, di antara para pengemis musiman, tak
semua memiliki latar belakang miskin secara ekonomi. Sebab, secara umum mereka
masih dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok untuk mencapai standar hidup layak
di kampung halamannya (Emil Salim, 1981).

Fenomena sosial semacam ini tak hanya terjadi
di kota-kota besar Indonesia. Kisah para pengemis kaya bisa ditemukan di
sejumlah negara. Di antaranya, India, China, Inggris, Malaysia, Amerika, maupun
Uni Emirat Arab. Di Kota Mumbai, India, para pengemisnya terkenal kaya-kaya.
Seorang pengemis bernama Massu atau Malana, 60, punya penghasilan mengemis
setara Rp 400 ribu per hari. Dia mengemis mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Dari
penghasilan mengemisnya, Malana berhasil memiliki investasi bangunan properti
senilai Rp 500 juta.

 

Para pengemis di China pun demikian. Contohnya
di Kota Nanking. Para pengemis bisa memperoleh penghasilan Rp 15,8 juta dalam
sebulan. Mereka mengemis selama delapan jam sehari. Sebagaimana dilansir surat
kabar Sin Chew, sekitar 80 persen di antara para pengemis di Kota Nanking
sebenarnya tidak miskin.

 

Di Inggris, ada seorang pengemis yang memiliki
tempat tinggal senilai Rp 4,5 miliar di sebelah barat London. Pengemis ini
memperoleh penghasilan Rp 762 juta setiap tahun dari mengemis. Sebuah jumlah
yang sangat fantastis. Sementara itu, di Kota Johor Bahru, Malaysia, ada
seorang pengemis perempuan berusia 73 tahun yang memiliki tiga rekening bank
berisi ribuan ringgit. Pengemis ini juga mempunyai sertifikat saham senilai
16,1 juta ringgit di Amanah Saham Bumiputra.

Baca Juga :  Menggali Sumber Baru Pertumbuhan Ekonomi Kalteng

Ramadan sebagai bulan memperbanyak amal
kebaikan menjadi magnet bagi pengemis musiman untuk melakukan aksinya. Pengemis
ini, yang dalam bahasa arabnya adalah tasawwul, meminta-minta bukan untuk
kemaslahatan orang banyak. Melainkan untuk kepentingan pribadi. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar disebutkan, Rasulullah bersabda,
”seseorang yang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, akan datang pada
hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya”.

 

Pesan agama jelas bahwa kita harus menghindari
perbuatan meminta-minta untuk kepentingan pribadi. Namun, pesan moral saja
tidak cukup untuk mengatasi problem pengemis yang akut di negara kita. Merazia
dan memidanakan pengemis juga bukan cara yang efektif mengatasi problem ini.
Butuh pemikiran serius dan pemetaan mendalam.

Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh.
Pertama, intervensi individual. Para pengemis, terutama yang permanen,
merupakan kelompok miskin kota yang mengalami kondisi deprivasi atau akses yang
terbatas terhadap berbagai fasilitas layanan publik. Misalnya, kesehatan,
pendidikan, air bersih, dan sanitasi.

Keterbatasan ini lama-kelamaan akan melahirkan
perasaan tidak berdaya (helpless) sehingga pola pikir mereka menjadi jangka
pendek, sulit untuk berubah, kurang gigih dalam berusaha, serta ingin cepat
mendapatkan hasil dengan cara-cara yang instan dan mudah. Dengan kondisi
semacam ini, perlu pembongkaran mindset pengemis untuk memutus budaya mengemis
yang telah mengakar. Membongkar problem kognitif (pola pikir) sebagai akar dari
budaya mengemis merupakan kunci mengatasi persoalan pengemis.

Agar proses rekonstruksi mindset lebih efektif,
para pengemis perlu dimasukkan ke semacam ”motivation camp” untuk menumbuhkan
harga diri (self-esteem), jati diri, kehormatan dan kemuliaan diri, kebanggaan
sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah SWT dan manusia. Perlu juga
ditumbuhkan keyakinan bahwa sebenarnya setiap mereka mempunyai kemampuan dan
keterampilan (self-efficacy) yang bisa dilatih dan dikembangkan.

Baca Juga :  Rekonsiliasi Politik Pascapilkada

Sikap represif berupa memidanakan pengemis
sebenarnya hanya akan menyuburkan konflik internal dalam diri seseorang. Dan
konflik-konflik inilah yang akan mendorong seseorang melakukan tindak asosial.

Kedua, intervensi kultural. Artinya, setiap
kelompok pengemis terbelenggu oleh budaya kemiskinan yang sering kali
diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya kemiskinan ini seperti tidak
adanya perencanaan hidup, tidak dapat menunda kesenangan, dan berorientasi pada
kepentingan jangka pendek. Sehingga urusan pendidikan bukan prioritas bagi
mereka. Kesadaran pentingnya investasi jangka panjang berupa pendidikan sangat
kurang.

Dari titik inilah relevan dilakukan intervensi
kultural bagi para kelompok pengemis. Misalnya, melalui program empowering
sebagai upaya menumbuhkan kemandirian, self-efficacy, dan self-reliance. Bukan
hanya orang tua, anak-anak pengemis juga harus menjadi sasaran pemberdayaan,
misalnya dengan pemberian beasiswa dan kemudian menempatkan mereka di asrama yang
jauh dari lingkungan orang tuanya, agar tumbuh budaya baru yang jauh dari
budaya mengemis. Cara ini diperlukan untuk memotong kultur generasi yang sudah
mengakar dalam keluarga pengemis.

Ketiga, intervensi struktural. Artinya,
intervensi terhadap kebijakan struktural sangat diperlukan. Misalnya,
memprioritaskan terbukanya akses bagi kelompok pengemis terhadap pendidikan,
kesehatan, air bersih, perumahan, listrik, dan program-program welfare lainnya.

Sebagai manusia yang memiliki martabat dan
derajat tinggi, sudah selayaknya para pengemis merdeka dari belenggu cara
pandang, mental, sikap, dan perilaku yang negatif. Bebas dari budaya meminta,
lepas dari bayang-bayang kultur kemiskinan, dan adil mendapatkan pelayanan
sebagaimana masyarakat dari golongan yang lain. (*)

 

Ainna Amalia, Pengurus Asosiasi Dosen Republik
Indonesia (ADRI) Jatim dan dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru