30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Membangun Masyarakat Tangguh Gempa

GEMPA Laut Jawa pertengahan April lalu menjadi simulasi kecil bagi masyarakat di Jawa dan Bali akan bahaya gempa. Dari Jakarta hingga Kuta, muncul laporan dari masyarakat akan guncangan bangunan. Meski skala gempa relatif besar, yakni 6,9 Mw, kedalaman hypocenter/fokus gempa yang sangat dalam membuat dampak kerusakan gempa relatif kecil.

Sebagai acuan, energi yang dikeluarkan gempa dengan magnitudo 6,9 Mw itu kurang lebih 25 kali lebih besar daripada energi yang dilepaskan gempa Cianjur 2022 lalu. Gempa besar berikutnya belum tentu akan setidakberbahaya gempa kemarin.

Penelitian dari GeoScience Australia sempat memprediksi apabila gempa besar historis yang sebelumnya sempat terjadi di Indonesia terjadi lagi di tahun 2015 kemarin, korban jiwa akibat gempa dapat mencapai puluhan ribu dan orang terlantar akibat gempa dapat mencapai puluhan juta (Nguyen et al, GeoScience Australia 2015).

Gempa merupakan fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari, tapi dapat ditanggulangi. Untuk benar-benar dapat menanggulangi bahaya dari gempa, tidak cukup hanya bangunan yang dibangun agar tahan terhadap gempa. Tetapi, masyarakat juga perlu ikut dibangun untuk menjadi masyarakat yang tahan gempa (earthquake resilient community).

 

Masyarakat Tahan Gempa

Masyarakat tahan bencana adalah masyarakat yang dapat mempersiapkan dan merencanakan akan bahaya bencana, menahan dampak bencana, bangkit dari dampak bencana, dan mampu beradaptasi dengan gempa (UU Amerika Serikat 42§7703).

Melihat definisi tersebut, bangunan tahan gempa dapat membantu masyarakat tahan gempa untuk ’’menyerap’’ bahaya gempa. Namun, untuk benar-benar menjadi masyarakat yang tahan bencana, perlu juga dibuat perencanaan dan rencana pemulihan pascagempa.

Bagaimana masyarakat dapat merencanakan terhadap gempa? Langkah pertama adalah memetakan patahan-patahan bumi di sekitar kita. Dalam artian tersingkat, patahan/sesar itu merupakan ’’sumber gempa’’. Saat ini pemetaan sesar di Indonesia belum selesai. Sebagai contoh, pada peta gempa 2017, kelompok kerja geologi berhasil memetakan 242 sesar gempa tambahan, peningkatan 450 persen dari peta gempa tahun 2010.

Baca Juga :  Akar Kekerasan terhadap Pengawas Pilkada

Pemetaan sesar gempa itu kemudian perlu disuling menjadi suatu peta gempa. Indonesia sudah memiliki peta gempa 2017. Tetapi, untuk dapat bersiap akan gempa, peta gempa (hazard map) perlu diubah menjadi peta risiko (risk map). Apabila peta gempa menunjukkan probabilitas akan besaran gempa, peta risiko menunjukkan probabilitas akan korban jiwa, kerugian, dan kerusakan akibat gempa.

 

Peringatan Dini dan Penanggulangan Cepat Pascagempa

Setelah persiapan dilakukan dengan matang, perlu juga dilakukan pengembangan kemampuan menahan dampak gempa lewat metode nonkonvensional dan pengembangan kemampuan penanggulangan pascagempa. Perkembangan iptek seperti earthquake early warning system (EEWS/sistem peringatan dini gempa) dan structural health monitoring (SHM/pengawasan kesehatan bangunan) merupakan inovasi baru yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menahan dan menanggulangi gempa secara berkali-kali lipat.

Telah diterapkan di Taiwan dan Jepang, EEWS memungkinkan daerah yang terletak di jarak tertentu dari episentrum gempa, semisal 30 hingga 300 km, untuk mendapat peringatan dini sebelum gempa datang. Peringatan dini, yang dapat berjarak dari hitungan detik hingga menit, merupakan waktu berharga yang memungkinkan masyarakat untuk menahan dampak gempa.

Sebagai contoh, semua sekolah di Taiwan telah menerapkan sistem EEWS. Peringatan dini dari sistem EEWS, diiringi latihan berlindung yang baik, memungkinkan siswa-siswi untuk dapat berlindung di shelter maupun tempat aman lainnya sebelum guncangan gempa datang.

Pascagempa, data sesungguhnya akan korban jiwa dan kerusakan bangunan sering kali baru muncul lama setelah bencana terjadi. Tidak adanya data yang jelas membuat para pemangku kepentingan tidak bisa mengambil keputusan yang tepat dengan cepat. Pada tingkatan yang lebih kecil, ketidakpastian akan keselamatan dan kelayakan bangunan/infrastruktur membuat masyarakat enggan beraktivitas dengan bangunan yang sebenarnya masih aman.

Baca Juga :  Polemik Harga Pada Rantai Distribusi Provinsi Kalimantan Tengah

Hal yang sebaliknya pun dapat terjadi. Bangunan yang sebenarnya pascagempa sudah tidak aman untuk dipakai, namun masih terus dipakai dan menghasilkan korban jiwa, sebenarnya dapat dicegah apabila ketidaklayakan bangunan itu disadari lebih awal.

Teknologi structural health monitoring (SHM/pengawasan kesehatan bangunan) memungkinkan hal itu dilakukan secara otomatis oleh komputer. Lewat instrumentasi sensor maupun foto/video dari drone, teknologi SHM memungkinkan untuk menyatakan apakah bangunan masih layak pakai, rusak ringan, atau rusak berat dalam hitungan jam atau bahkan menit.

 

Ketahanan Gempa secara Holistis

Gempa besar berikutnya bisa berbeda dengan gempa Laut Jawa kemarin, dan melepaskan energinya pada titik yang lebih dekat dengan permukaan serta memicu kerusakan yang lebih besar. Masyarakat perlu terus bersiap untuk menghadapi the big one (gempa besar destruktif di masa depan). Pembangunan bangunan tahan gempa kokoh merupakan hal yang penting, tetapi perlu diingat bahwa perencanaan masyarakat (community planning) yang baik dapat memitigasi risiko kerusakan akibat gempa. Dan, ketika terjadi kerusakan, diperlukan prosedur yang baik untuk melakukan pemulihan penuh fungsionalitas bangunan.

Perlu ada perubahan akan suatu perencanaan holistis yang mengandalkan teknologi, yang mempertimbangkan mitigasi prabencana gempa dan kesiapan serta efektivitas dari penanggulangan bahaya gempa. Perencanaan yang holistis akan membawa masyarakat ke tahap di mana mereka tidak hanya ’’tabah’’ akan bahaya gempa, tapi juga tangguh akan gempa dan hidup ’’bersahabat’’ dengan gempa. (*)

 

*) GHO DANNY WAHYUDI, Menempuh Studi di Pascasarjana National Taiwan University of Science and Technology

GEMPA Laut Jawa pertengahan April lalu menjadi simulasi kecil bagi masyarakat di Jawa dan Bali akan bahaya gempa. Dari Jakarta hingga Kuta, muncul laporan dari masyarakat akan guncangan bangunan. Meski skala gempa relatif besar, yakni 6,9 Mw, kedalaman hypocenter/fokus gempa yang sangat dalam membuat dampak kerusakan gempa relatif kecil.

Sebagai acuan, energi yang dikeluarkan gempa dengan magnitudo 6,9 Mw itu kurang lebih 25 kali lebih besar daripada energi yang dilepaskan gempa Cianjur 2022 lalu. Gempa besar berikutnya belum tentu akan setidakberbahaya gempa kemarin.

Penelitian dari GeoScience Australia sempat memprediksi apabila gempa besar historis yang sebelumnya sempat terjadi di Indonesia terjadi lagi di tahun 2015 kemarin, korban jiwa akibat gempa dapat mencapai puluhan ribu dan orang terlantar akibat gempa dapat mencapai puluhan juta (Nguyen et al, GeoScience Australia 2015).

Gempa merupakan fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari, tapi dapat ditanggulangi. Untuk benar-benar dapat menanggulangi bahaya dari gempa, tidak cukup hanya bangunan yang dibangun agar tahan terhadap gempa. Tetapi, masyarakat juga perlu ikut dibangun untuk menjadi masyarakat yang tahan gempa (earthquake resilient community).

 

Masyarakat Tahan Gempa

Masyarakat tahan bencana adalah masyarakat yang dapat mempersiapkan dan merencanakan akan bahaya bencana, menahan dampak bencana, bangkit dari dampak bencana, dan mampu beradaptasi dengan gempa (UU Amerika Serikat 42§7703).

Melihat definisi tersebut, bangunan tahan gempa dapat membantu masyarakat tahan gempa untuk ’’menyerap’’ bahaya gempa. Namun, untuk benar-benar menjadi masyarakat yang tahan bencana, perlu juga dibuat perencanaan dan rencana pemulihan pascagempa.

Bagaimana masyarakat dapat merencanakan terhadap gempa? Langkah pertama adalah memetakan patahan-patahan bumi di sekitar kita. Dalam artian tersingkat, patahan/sesar itu merupakan ’’sumber gempa’’. Saat ini pemetaan sesar di Indonesia belum selesai. Sebagai contoh, pada peta gempa 2017, kelompok kerja geologi berhasil memetakan 242 sesar gempa tambahan, peningkatan 450 persen dari peta gempa tahun 2010.

Baca Juga :  Akar Kekerasan terhadap Pengawas Pilkada

Pemetaan sesar gempa itu kemudian perlu disuling menjadi suatu peta gempa. Indonesia sudah memiliki peta gempa 2017. Tetapi, untuk dapat bersiap akan gempa, peta gempa (hazard map) perlu diubah menjadi peta risiko (risk map). Apabila peta gempa menunjukkan probabilitas akan besaran gempa, peta risiko menunjukkan probabilitas akan korban jiwa, kerugian, dan kerusakan akibat gempa.

 

Peringatan Dini dan Penanggulangan Cepat Pascagempa

Setelah persiapan dilakukan dengan matang, perlu juga dilakukan pengembangan kemampuan menahan dampak gempa lewat metode nonkonvensional dan pengembangan kemampuan penanggulangan pascagempa. Perkembangan iptek seperti earthquake early warning system (EEWS/sistem peringatan dini gempa) dan structural health monitoring (SHM/pengawasan kesehatan bangunan) merupakan inovasi baru yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menahan dan menanggulangi gempa secara berkali-kali lipat.

Telah diterapkan di Taiwan dan Jepang, EEWS memungkinkan daerah yang terletak di jarak tertentu dari episentrum gempa, semisal 30 hingga 300 km, untuk mendapat peringatan dini sebelum gempa datang. Peringatan dini, yang dapat berjarak dari hitungan detik hingga menit, merupakan waktu berharga yang memungkinkan masyarakat untuk menahan dampak gempa.

Sebagai contoh, semua sekolah di Taiwan telah menerapkan sistem EEWS. Peringatan dini dari sistem EEWS, diiringi latihan berlindung yang baik, memungkinkan siswa-siswi untuk dapat berlindung di shelter maupun tempat aman lainnya sebelum guncangan gempa datang.

Pascagempa, data sesungguhnya akan korban jiwa dan kerusakan bangunan sering kali baru muncul lama setelah bencana terjadi. Tidak adanya data yang jelas membuat para pemangku kepentingan tidak bisa mengambil keputusan yang tepat dengan cepat. Pada tingkatan yang lebih kecil, ketidakpastian akan keselamatan dan kelayakan bangunan/infrastruktur membuat masyarakat enggan beraktivitas dengan bangunan yang sebenarnya masih aman.

Baca Juga :  Polemik Harga Pada Rantai Distribusi Provinsi Kalimantan Tengah

Hal yang sebaliknya pun dapat terjadi. Bangunan yang sebenarnya pascagempa sudah tidak aman untuk dipakai, namun masih terus dipakai dan menghasilkan korban jiwa, sebenarnya dapat dicegah apabila ketidaklayakan bangunan itu disadari lebih awal.

Teknologi structural health monitoring (SHM/pengawasan kesehatan bangunan) memungkinkan hal itu dilakukan secara otomatis oleh komputer. Lewat instrumentasi sensor maupun foto/video dari drone, teknologi SHM memungkinkan untuk menyatakan apakah bangunan masih layak pakai, rusak ringan, atau rusak berat dalam hitungan jam atau bahkan menit.

 

Ketahanan Gempa secara Holistis

Gempa besar berikutnya bisa berbeda dengan gempa Laut Jawa kemarin, dan melepaskan energinya pada titik yang lebih dekat dengan permukaan serta memicu kerusakan yang lebih besar. Masyarakat perlu terus bersiap untuk menghadapi the big one (gempa besar destruktif di masa depan). Pembangunan bangunan tahan gempa kokoh merupakan hal yang penting, tetapi perlu diingat bahwa perencanaan masyarakat (community planning) yang baik dapat memitigasi risiko kerusakan akibat gempa. Dan, ketika terjadi kerusakan, diperlukan prosedur yang baik untuk melakukan pemulihan penuh fungsionalitas bangunan.

Perlu ada perubahan akan suatu perencanaan holistis yang mengandalkan teknologi, yang mempertimbangkan mitigasi prabencana gempa dan kesiapan serta efektivitas dari penanggulangan bahaya gempa. Perencanaan yang holistis akan membawa masyarakat ke tahap di mana mereka tidak hanya ’’tabah’’ akan bahaya gempa, tapi juga tangguh akan gempa dan hidup ’’bersahabat’’ dengan gempa. (*)

 

*) GHO DANNY WAHYUDI, Menempuh Studi di Pascasarjana National Taiwan University of Science and Technology

Terpopuler

Artikel Terbaru