25.4 C
Jakarta
Wednesday, December 4, 2024

Prabowo dan Diplomasi Mandiri di Era BRICS

Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi penanda perubahan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Negara ini berpotensi menjadi pemain yang lebih tegas dalam percaturan internasional.

Berbeda dengan pendekatan ekonomi Presiden Jokowi dahulu, Prabowo mungkin mengadopsi pendekatan strategis untuk memperkuat peran Indonesia sebagai pemimpin regional dan memperkuat pengaruhnya melalui aliansi baru. Termasuk keterlibatan lebih dalam di BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).

Potensi keanggotaan Indonesia dalam BRICS mencerminkan visi Prabowo untuk kebijakan luar negeri yang independen, tetapi terhubung secara internasional yang menggabungkan tujuan keamanan nasional dan ambisi ekonomi global.

Di tengah ketegangan yang terus berlanjut di Laut China Selatan, di mana China, Vietnam, Filipina, dan Malaysia bersaing menguasai wilayah perairan yang kaya sumber daya dan jalur perdagangan penting itu, peran geostrategis Indonesia makin krusial.

Meski tidak terlibat langsung dalam sengketa teritorial, Laut Natuna yang terletak dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan berdekatan dengan wilayah yang diperebutkan memberi Indonesia kepentingan urgen dalam menjaga stabilitas regional.

Pemerintahan Prabowo mungkin akan memperkuat keamanan maritim di Laut Natuna guna mempertahankan kedaulatan nasional dan menegaskan pengaruh Indonesia di kawasan yang lebih luas.

Dengan memperkuat ASEAN dan mendorong integrasi regional, Indonesia bisa menyeimbangkan pengaruh kekuatan besar di Asia Tenggara sekaligus membangun platform untuk kerja sama ekonomi serta kolaborasi keamanan dengan negara-negara tetangga ASEAN.

Baca Juga :  Titiek Soeharto: Selamat untuk Mas Bowo, Semoga menjadi Presiden yang Amanah

Peluang Baru di Luar Pasar Barat

Salah satu perubahan strategis terbesar Prabowo adalah peningkatan keterlibatan Indonesia dalam BRICS, sebuah blok yang menyediakan alternatif dari sistem keuangan internasional yang didominasi Barat. Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono baru-baru ini mengumumkan langkah-langkah menuju keanggotaan penuh BRICS.

Sebagai blok yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan investasi di antara negara-negara berkembang, BRICS menawarkan pada Indonesia peluang baru untuk perdagangan dan investasi di luar pasar Barat, sesuai dengan tujuan Prabowo untuk ketahanan dan diversifikasi ekonomi.

Keterlibatan Indonesia dalam BRICS memungkinkan partisipasi dalam inisiatif seperti New Development Bank, sebuah institusi yang bertujuan mendanai proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan tanpa syarat-syarat keuangan yang sering melekat pada bantuan Barat.

Selain itu, dengan pembahasan sistem pembayaran alternatif oleh BRICS, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS, memperkuat otonomi finansial, dan mengontrol praktik perdagangannya dengan lebih baik. Pemerintahan Prabowo bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk menjalin kemitraan ekonomi yang sejalan dengan tujuan pertumbuhan independen serta kemandirian Indonesia.

Meski akan mempererat hubungan dengan BRICS, Indonesia sangat mungkin tetap menjalin hubungan strategis dengan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok (China) lantaran posisi sentral negara ini di tengah persaingan kekuatan besar. Mengingat hubungan kompleks Prabowo dengan AS dan peran Tiongkok sebagai mitra ekonomi utama, pendekatan ’’netralitas aktif’’ yang bernuansa bisa menjadi pilihan.

Baca Juga :  Membacakan Buku di Cangkruk Literasi

Dengan tetap terlibat dalam dua kekuatan besar sambil menekankan kemandirian Indonesia, Prabowo bisa menarik investasi dari kedua pihak, memperkuat sektor-sektor seperti infrastruktur dan teknologi tanpa terlalu berpihak pada salah satu negara.

AS yang termotivasi oleh tujuan diversifikasi rantai pasokan mungkin melihat Indonesia sebagai mitra strategis untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok. Khususnya di sektor-sektor seperti semikonduktor dan sektor penting lain.

Sementara itu, Tiongkok tetap menjadi kontributor signifikan untuk infrastruktur Indonesia melalui inisiatif seperti Belt and Road, sebagaimana terbukti dalam proyek-proyek seperti kereta cepat Jakarta–Bandung. Prabowo bisa dengan cerdik menavigasi dinamika itu, menggunakan kekuatan ekonomi dan geografis Indonesia untuk memaksimalkan manfaat dari kedua negara.

Kekuatan Stabil

Di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia berpotensi memperkuat statusnya sebagai kekuatan stabil dalam dunia yang makin terpolarisasi. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan ekonomi yang berkembang, Indonesia memiliki potensi untuk memimpin ASEAN menuju kesatuan regional dan memainkan peran yang lebih menonjol dalam organisasi global seperti BRICS.

Prabowo bisa memosisikan Indonesia sebagai jembatan antara ekonomi yang sedang berkembang dan yang telah mapan. Kepemimpinannya dapat mendefinisikan ulang kebijakan luar negeri Indonesia –yang memprioritaskan otonomi strategis, keamanan regional, dan ketahanan ekonomi– serta mengukuhkan peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam lanskap global yang terus berkembang. (*)

ANIELLO IANNONE, Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro

Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi penanda perubahan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Negara ini berpotensi menjadi pemain yang lebih tegas dalam percaturan internasional.

Berbeda dengan pendekatan ekonomi Presiden Jokowi dahulu, Prabowo mungkin mengadopsi pendekatan strategis untuk memperkuat peran Indonesia sebagai pemimpin regional dan memperkuat pengaruhnya melalui aliansi baru. Termasuk keterlibatan lebih dalam di BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).

Potensi keanggotaan Indonesia dalam BRICS mencerminkan visi Prabowo untuk kebijakan luar negeri yang independen, tetapi terhubung secara internasional yang menggabungkan tujuan keamanan nasional dan ambisi ekonomi global.

Di tengah ketegangan yang terus berlanjut di Laut China Selatan, di mana China, Vietnam, Filipina, dan Malaysia bersaing menguasai wilayah perairan yang kaya sumber daya dan jalur perdagangan penting itu, peran geostrategis Indonesia makin krusial.

Meski tidak terlibat langsung dalam sengketa teritorial, Laut Natuna yang terletak dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan berdekatan dengan wilayah yang diperebutkan memberi Indonesia kepentingan urgen dalam menjaga stabilitas regional.

Pemerintahan Prabowo mungkin akan memperkuat keamanan maritim di Laut Natuna guna mempertahankan kedaulatan nasional dan menegaskan pengaruh Indonesia di kawasan yang lebih luas.

Dengan memperkuat ASEAN dan mendorong integrasi regional, Indonesia bisa menyeimbangkan pengaruh kekuatan besar di Asia Tenggara sekaligus membangun platform untuk kerja sama ekonomi serta kolaborasi keamanan dengan negara-negara tetangga ASEAN.

Baca Juga :  Titiek Soeharto: Selamat untuk Mas Bowo, Semoga menjadi Presiden yang Amanah

Peluang Baru di Luar Pasar Barat

Salah satu perubahan strategis terbesar Prabowo adalah peningkatan keterlibatan Indonesia dalam BRICS, sebuah blok yang menyediakan alternatif dari sistem keuangan internasional yang didominasi Barat. Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono baru-baru ini mengumumkan langkah-langkah menuju keanggotaan penuh BRICS.

Sebagai blok yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan investasi di antara negara-negara berkembang, BRICS menawarkan pada Indonesia peluang baru untuk perdagangan dan investasi di luar pasar Barat, sesuai dengan tujuan Prabowo untuk ketahanan dan diversifikasi ekonomi.

Keterlibatan Indonesia dalam BRICS memungkinkan partisipasi dalam inisiatif seperti New Development Bank, sebuah institusi yang bertujuan mendanai proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan tanpa syarat-syarat keuangan yang sering melekat pada bantuan Barat.

Selain itu, dengan pembahasan sistem pembayaran alternatif oleh BRICS, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS, memperkuat otonomi finansial, dan mengontrol praktik perdagangannya dengan lebih baik. Pemerintahan Prabowo bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk menjalin kemitraan ekonomi yang sejalan dengan tujuan pertumbuhan independen serta kemandirian Indonesia.

Meski akan mempererat hubungan dengan BRICS, Indonesia sangat mungkin tetap menjalin hubungan strategis dengan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok (China) lantaran posisi sentral negara ini di tengah persaingan kekuatan besar. Mengingat hubungan kompleks Prabowo dengan AS dan peran Tiongkok sebagai mitra ekonomi utama, pendekatan ’’netralitas aktif’’ yang bernuansa bisa menjadi pilihan.

Baca Juga :  Membacakan Buku di Cangkruk Literasi

Dengan tetap terlibat dalam dua kekuatan besar sambil menekankan kemandirian Indonesia, Prabowo bisa menarik investasi dari kedua pihak, memperkuat sektor-sektor seperti infrastruktur dan teknologi tanpa terlalu berpihak pada salah satu negara.

AS yang termotivasi oleh tujuan diversifikasi rantai pasokan mungkin melihat Indonesia sebagai mitra strategis untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok. Khususnya di sektor-sektor seperti semikonduktor dan sektor penting lain.

Sementara itu, Tiongkok tetap menjadi kontributor signifikan untuk infrastruktur Indonesia melalui inisiatif seperti Belt and Road, sebagaimana terbukti dalam proyek-proyek seperti kereta cepat Jakarta–Bandung. Prabowo bisa dengan cerdik menavigasi dinamika itu, menggunakan kekuatan ekonomi dan geografis Indonesia untuk memaksimalkan manfaat dari kedua negara.

Kekuatan Stabil

Di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia berpotensi memperkuat statusnya sebagai kekuatan stabil dalam dunia yang makin terpolarisasi. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan ekonomi yang berkembang, Indonesia memiliki potensi untuk memimpin ASEAN menuju kesatuan regional dan memainkan peran yang lebih menonjol dalam organisasi global seperti BRICS.

Prabowo bisa memosisikan Indonesia sebagai jembatan antara ekonomi yang sedang berkembang dan yang telah mapan. Kepemimpinannya dapat mendefinisikan ulang kebijakan luar negeri Indonesia –yang memprioritaskan otonomi strategis, keamanan regional, dan ketahanan ekonomi– serta mengukuhkan peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam lanskap global yang terus berkembang. (*)

ANIELLO IANNONE, Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro

Terpopuler

Artikel Terbaru