26.4 C
Jakarta
Wednesday, November 13, 2024

Menolak Pemiskinan Pekerja

Di tengah rentannya kelas menengah tergelincir ke jurang kemiskinan, presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berfokus pada program pengentasan kemiskinan.

Targetnya, dua tahun pertama setelah pelantikan nanti, kemiskinan ekstrem bisa dihapus menjadi nol persen. Angka kemiskinan juga ditekan hingga 5 persen dalam waktu lima tahun pemerintahan, di mana pada akhir pemerintahan Presiden Jokowi masih 9,36 persen.

Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang hidup dengan pendapatan di bawah USD 1,9 per hari atau sekitar Rp 28.000 berdasar nilai tukar 2024. Para era Presiden Jokowi, angka kemiskinan menurun. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023, jumlahnya tercatat 25,9 juta orang dari total populasi 278,69 juta orang.

Pelindungan Sosial

Kaum pekerja kelas menengah menjadi salah satu kelompok yang rentan dan berpotensi masuk di lingkaran kemiskinan. Penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari 2024 tercatat 142,18 juta orang. Jumlah itu naik 3,55 juta orang dari Februari 2023.

Masalahnya, tidak semua pekerja di Indonesia menjadi peserta pelindungan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek). Berdasar data BPJS Ketenagakerjaan pada September 2024, terdapat potensi 101.810.200 pekerja. Namun, baru 38.931.955 pekerja yang menjadi peserta dari target tahun ini, yaitu 53.957.450 peserta. Perinciannya, 30.291.884 pekerja penerima upah (PU) dan 8.010.071 pekerja bukan penerima upah (BPU) atau hanya 38 persen pekerja yang memiliki pelindungan jamsostek.

Baca Juga :  Politik Merangkul dan Riang Gembira Mendapatkan Tempat di Hati Masyarakat

Secara garis besar, pendekatan kemiskinan terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Kemiskinan kultural lebih pada budaya, kebiasaan, atau cara berpikir masyarakat sehingga mereka terjebak dalam siklus kemiskinan. Sementara kemiskinan struktural disebabkan oleh situasi dan kondisi yang dipicu kebijakan atau struktur sosial sehingga mengakibatkan masyarakat masuk di wilayah kemiskinan.

Pertanyaannya, bagaimana negara dapat menangani dua penyebab kemiskinan itu? Di sinilah dibutuhkan kontribusi sistem jaminan sosial, khususnya ketenagakerjaan, untuk menangkal terjadinya pemiskinan di kalangan pekerja menengah.

Secara garis besar, pelindungan sosial dan jaminan sosial di Indonesia sudah cukup. Sebelum kelahiran seorang anak, ada BPJS Kesehatan. Masuk dunia kerja, disiapkan jaminan sosial ketenagakerjaannya (jamsostek) agar pekerja dapat memitigasi risiko-risiko akibat kerja. Baik yang terkait dengan kecelakaan kerja, kematian, kehilangan pekerjaan, maupun risiko di hari tua (pensiun).

Secara infrastruktur, kebijakan sudah tersedia sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional, serta beberapa kebijakan turunan undang-undang tersebut.

Keikutsertaan pekerja dalam program jamsostek bisa memitigasi risiko pekerjaan. Contohnya, pada pekerja dengan gaji minimum, jika tidak mengantisipasi risiko sehingga mengalami kecelakaan, selain dia dan keluarganya, tempatnya bekerja juga bakal terdampak. Kalau tidak ada antisipasi, hal itu bisa mengakibatkan pemiskinan di kalangan pekerja.

Baca Juga :  Revisi UU TNI dan Kemunduran Demokrasi

Dalam konteks inilah program jamsostek yang dimandatkan kepada BPJS Ketenagakerjaan bisa dijadikan instrumen untuk memutus siklus kemiskinan. Dengan kebijakan pelindungan pekerja, sudah semestinya pekerja tidak lagi terjebak dalam siklus kemiskinan ekstrem.

Kontribusi Jamsostek

Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai tanggung jawab mutlak untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Karena itu, Indonesia juga menerapkan konsep welfare state yang mempunyai kebijakan publik yang bersifat pelayanan, bantuan, pelindungan, atau pencegahan pada masalah sosial. (Miftachul Huda, 2009, Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar).

Melalui BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah menginisiasi lima program jaminan pelindungan. Yaitu, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Semua itu menjamin pekerja bisa menjalankan pekerjaan dengan tenang tanpa rasa cemas.

Penanganan kemiskinan ekstrem, khususnya di kalangan pekerja di Indonesia, merupakan tugas besar yang membutuhkan pendekatan holistik dan terpadu. Kunci keberhasilan terletak pada ketepatan sasaran, konsistensi pelaksanaan, serta keberlanjutan program-program yang ada.

Karena itu, tantangan ke depan bagi pemerintahan baru nanti adalah seberapa jauh pemerintah bisa melakukan improvement dalam aspek regulasi kebijakan, program, maupun manfaat. Yang juga tidak kalah penting adalah aspek keberlanjutan alias sustainability-nya. (*)

 

*) MUHAMMAD ZUHRI BAHRI , Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan

Di tengah rentannya kelas menengah tergelincir ke jurang kemiskinan, presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berfokus pada program pengentasan kemiskinan.

Targetnya, dua tahun pertama setelah pelantikan nanti, kemiskinan ekstrem bisa dihapus menjadi nol persen. Angka kemiskinan juga ditekan hingga 5 persen dalam waktu lima tahun pemerintahan, di mana pada akhir pemerintahan Presiden Jokowi masih 9,36 persen.

Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang hidup dengan pendapatan di bawah USD 1,9 per hari atau sekitar Rp 28.000 berdasar nilai tukar 2024. Para era Presiden Jokowi, angka kemiskinan menurun. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023, jumlahnya tercatat 25,9 juta orang dari total populasi 278,69 juta orang.

Pelindungan Sosial

Kaum pekerja kelas menengah menjadi salah satu kelompok yang rentan dan berpotensi masuk di lingkaran kemiskinan. Penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari 2024 tercatat 142,18 juta orang. Jumlah itu naik 3,55 juta orang dari Februari 2023.

Masalahnya, tidak semua pekerja di Indonesia menjadi peserta pelindungan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek). Berdasar data BPJS Ketenagakerjaan pada September 2024, terdapat potensi 101.810.200 pekerja. Namun, baru 38.931.955 pekerja yang menjadi peserta dari target tahun ini, yaitu 53.957.450 peserta. Perinciannya, 30.291.884 pekerja penerima upah (PU) dan 8.010.071 pekerja bukan penerima upah (BPU) atau hanya 38 persen pekerja yang memiliki pelindungan jamsostek.

Baca Juga :  Politik Merangkul dan Riang Gembira Mendapatkan Tempat di Hati Masyarakat

Secara garis besar, pendekatan kemiskinan terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Kemiskinan kultural lebih pada budaya, kebiasaan, atau cara berpikir masyarakat sehingga mereka terjebak dalam siklus kemiskinan. Sementara kemiskinan struktural disebabkan oleh situasi dan kondisi yang dipicu kebijakan atau struktur sosial sehingga mengakibatkan masyarakat masuk di wilayah kemiskinan.

Pertanyaannya, bagaimana negara dapat menangani dua penyebab kemiskinan itu? Di sinilah dibutuhkan kontribusi sistem jaminan sosial, khususnya ketenagakerjaan, untuk menangkal terjadinya pemiskinan di kalangan pekerja menengah.

Secara garis besar, pelindungan sosial dan jaminan sosial di Indonesia sudah cukup. Sebelum kelahiran seorang anak, ada BPJS Kesehatan. Masuk dunia kerja, disiapkan jaminan sosial ketenagakerjaannya (jamsostek) agar pekerja dapat memitigasi risiko-risiko akibat kerja. Baik yang terkait dengan kecelakaan kerja, kematian, kehilangan pekerjaan, maupun risiko di hari tua (pensiun).

Secara infrastruktur, kebijakan sudah tersedia sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional, serta beberapa kebijakan turunan undang-undang tersebut.

Keikutsertaan pekerja dalam program jamsostek bisa memitigasi risiko pekerjaan. Contohnya, pada pekerja dengan gaji minimum, jika tidak mengantisipasi risiko sehingga mengalami kecelakaan, selain dia dan keluarganya, tempatnya bekerja juga bakal terdampak. Kalau tidak ada antisipasi, hal itu bisa mengakibatkan pemiskinan di kalangan pekerja.

Baca Juga :  Revisi UU TNI dan Kemunduran Demokrasi

Dalam konteks inilah program jamsostek yang dimandatkan kepada BPJS Ketenagakerjaan bisa dijadikan instrumen untuk memutus siklus kemiskinan. Dengan kebijakan pelindungan pekerja, sudah semestinya pekerja tidak lagi terjebak dalam siklus kemiskinan ekstrem.

Kontribusi Jamsostek

Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai tanggung jawab mutlak untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Karena itu, Indonesia juga menerapkan konsep welfare state yang mempunyai kebijakan publik yang bersifat pelayanan, bantuan, pelindungan, atau pencegahan pada masalah sosial. (Miftachul Huda, 2009, Pekerjaan Sosial & Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar).

Melalui BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah menginisiasi lima program jaminan pelindungan. Yaitu, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Semua itu menjamin pekerja bisa menjalankan pekerjaan dengan tenang tanpa rasa cemas.

Penanganan kemiskinan ekstrem, khususnya di kalangan pekerja di Indonesia, merupakan tugas besar yang membutuhkan pendekatan holistik dan terpadu. Kunci keberhasilan terletak pada ketepatan sasaran, konsistensi pelaksanaan, serta keberlanjutan program-program yang ada.

Karena itu, tantangan ke depan bagi pemerintahan baru nanti adalah seberapa jauh pemerintah bisa melakukan improvement dalam aspek regulasi kebijakan, program, maupun manfaat. Yang juga tidak kalah penting adalah aspek keberlanjutan alias sustainability-nya. (*)

 

*) MUHAMMAD ZUHRI BAHRI , Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan

Terpopuler

Artikel Terbaru