ERA baru terorisme dimulai. Selama ini publik
dan pengamat masih samar-samar untuk memastikan adanya terorisme wanita.
Penelitian Gentry dan Sjoberg (รขโฌยFemale Terrorism and Militancyรขโฌย dalam J.
Richard [ed], Handbook of Critical Terrorism Studies, 2016:145) menemukan
reaksi dunia media, keilmuan, dan kebijakan yang samar-samar itu terhadap
partisipasi perempuan dalam kekerasan yang bisa diklasifikasikan terorisme.
Alih-alih memperlakukan terorisme oleh wanita
sebagai terorisme wanita, sejumlah kalangan tersebut cenderung menganggap
keterlibatan perempuan sebagai akibat dari pengaruh pelaku lain. Bukan
memperlakukan wanita teroris sebagai agensi pelaku perempuan terorisme.
Aksi terorisme oleh terduga Zakiah Aini (25
tahun) di Mabes Polri Jakarta (31/3) memberi bukti yang kuat atas adanya
terorisme wanita, atau apa yang oleh Cyndi Banks (Women, Gender and Terrorism,
2019:181รขโฌโ187) disebut dengan gendering terrorism atau female terrorism. Kini
aksi koboi Zakiah Aini itu menjadi penguat arus baru perempuan sebagai agensi
terorisme di negeri ini.
Sebelumnya memang sudah tercatat indikasi
adanya gendering terrorism melalui arus besar rekrutmen pelaku dengan memilih
perempuan muda sebagai sasaran baru. Publik mungkin masih ingat, tiga tahun
lalu, perempuan menjadi salah satu pelaku utama serangan aksi bom bunuh diri di
tiga gereja di Surabaya, 13 Mei 2018. Salah satu pelakunya adalah Puji Kuswati,
43, istri dari pelaku lain, Dita Oepriarto, 48.
Dua tahun sebelumnya, telah tertangkap oleh
Densus 88 tiga tersangka rencana bom bunuh diri dengan menggunakan panci untuk
meledakkan Istana Negara (10/12/2016). Selain dua pelaku yang berjenis kelamin
laki-laki, yakni Nur Solihin dan Agus Supriyadi, ada Dian Yulia Novi yang
merupakan sosok tersangka teroris perempuan muda.
Masuknya nama Puji Kuswati dan Dian Yulia
Novi tersebut memang menjadi penanda utama keberadaan perempuan sebagai pelaku
aktif terorisme dalam kurun lima tahun terakhir. Dan kini, tertembaknya terduga
teroris Zakiah makin melengkapi data yang memperkuat identifikasi konsep
gendering terrorism.
Pertanyaan pentingnya, mengapa perempuan
makin rentan terpapar dan sekaligus mudah menjadi rekrutan baru terorisme? Ada
dua penjelasan yang layak diberikan.
Pertama, perempuan menjadi pihak paling rentan
terhadap permasalahan hidup yang makin meningkat, khususnya dalam bentuk kian
melemahnya kapasitas ekonomi keluarga. Posisinya sering menjadi tambatan dan
labuhan terakhir (the last resort) dari seluruh permasalahan ekonomi keluarga.
Saat keluarga dihadapkan pada beragam kasus, seperti pemutusan hubungan kerja
dan layunya transaksi jual beli kebutuhan riil hidup dalam usaha bisnis,
perempuan sering muncul sebagai penanggung jawab terakhir atas kepentingan dan
kebutuhan survival anggota keluarga secara keseluruhan.
Dalam situasi psikososial seperti ini,
perempuan rentan untuk mengalami รขโฌโmeminjam perspektif Inger Furseth dan Pรยฅl
Repstad, An Introduction to the Sociology of Religion, 2006:112)รขโฌโ dua jenis
deprivasi atau keterpurukan sekaligus. Yakni deprivasi etis (ethical
deprivation) dan deprivasi psikis (psychic deprivation).
Saat nilai yang selama ini dipegang erat tak
lagi mampu membuatnya bertahan kuat dari gempuran problem ekonomi keluarga, dia
mencari nilai hidup dengan caranya sendiri. Kala nilai kultural keluarga tak
mampu menjadi sandaran utama, sementara nilai keyakinan agama yang diharapkan
menjadi panduan hidupnya tak begitu erat tertanam, dia akan cenderung sangat
rentan untuk mengalami disorientasi nilai.
Pengaruh janji surga yang sering dikumandangkan
para tukang rekrut terorisme akan cenderung mudah untuk masuk dan tertanam kuat
sebagai nilai baru yang akan memandu hidup siapa pun yang mengalami
disorientasi nilai. Perempuan memang tidak eksklusif dalam kecenderungan ini.
Tapi, potensinya untuk terserang kampanye janji surga cenderung membesar untuk
teraktualisasi akibat posisinya sebagai labuhan terakhir permasalahan hidup
keluarga.
Pada titik inilah kita bisa memahami mengapa
perempuan sangat rawan terhadap beragam strategi magis rekrutmen terorisme.
Pada kasus Zakiah Aini, kampanye indoktrinasi oleh jejaring ISIS di Indonesia
menjadikan perempuan-perempuan sepertinya sangat rawan terpapar ideologi
ekstremisme. Maka, tindak serangan terorismenya di gedung utama Mabes Polri
adalah akibat semata dari rentannya perempuan terpapar indoktrinasi di masa
ekonomi sulit.
Kedua, perempuan telah mengalami proses
dedomestifikasi peran melalui eksposur mereka terhadap dunia luar lewat peranti
digital. Pandemi Covid-19 yang memperkuat eksposur dan konsumsi orang ke dunia
digital menjadikan perempuan secara perlahan tapi pasti keluar dari ruang
privatnya. Laporan Kapolri (31/3/2021) bahwa Zakiah Aini telah membuat akun
Instagram 21 jam sebelum melakukan aksi bom bunuh diri menjadi data pembenar.
Bahwa perempuan pelaku terorisme telah mengalami proses penguatan eksposur diri
ke dunia luar melalui platform digital.
Dengan akun yang terbuka, berselayarnya
pelaku terorisme perempuan seperti Zakiah menandai era baru bahwa
ekstensifikasi ekspresi diri perempuan pelaku terorisme telah mengalami
penguatan di era digital. Pandemi Covid-19 memberi konteks pada makin
menguatnya ekstensifikasi ekspresi diri perempuan pelaku terorisme tersebut
menyusul kian terbukanya ruang intensitas orang terhadap dunia digital.
Maka, tidak heran jika muncul fenomena baru
lone wolf sebagai ilustrasi atas pelaku teror secara sendiri-sendiri tanpa
adanya komando dan koordinasi. Digitalisasi membuat ruang privat bertemu dengan
ruang publik. Dan itu yang kemudian membuat seseorang makin otonom dalam
mengambil keputusan. Baik dalam ranah pikiran maupun tindakan. Keputusan untuk
menjadi lone wolf seperti yang dilakukan Zakiah menunjukkan otonomisasi diri
yang difasilitasi secara kuat oleh kecenderungan digitalisasi ruang privat dan
publik. (*)
Akh. Muzakki, Guru Besar Sosiologi Pendidikan
UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris Umum MUI Jawa Timur