30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Pangkas Subsidi Listrik, Perbarui Dulu Data Acuan

MEMBACA dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2022, tertulis bahwa skema subsidi listrik akan diubah. Disesuaikan dengan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Artinya, ada konsekuensi pengurangan pelanggan listrik rumah tangga yang mendapatkan subsidi

Dari hitung-hitungan pemerintah, jumlah penerima subsidi untuk pelanggan dengan daya 900 volt ampere (VA) mulai dikurangi. Hanya mereka yang masuk DTKS. Untuk pelanggan 450 VA, semua masih mendapat subsidi.

Ke depan, pemerintah mempertimbangkan mencabut subsidi untuk sebagian pelanggan listrik rumah tangga berdaya 450 VA. Selama ini, total terdapat 24,5 juta pelanggan berdaya 450 VA. Dari jumlah tersebut, yang mendapat subsidi hanya 9,3 juta pelanggan yang tercatat di DTKS. Atau 37,96 persen dari total pelanggan rumah tangga 450 VA. Dengan demikian, 15,2 juta pelanggan (62,04 persen) pelanggan 450 VA lainnya sangat mungkin subsidi listriknya bakal dicabut.

Persoalannya, yang menjadi acuan adalah DTKS 2019. Ketika melakukan perubahan kebijakan, seharusnya pemerintah menggunakan data yang lebih aktual. Misalnya, data 2020 atau ketika terjadi pandemi Covid-19.

Selama wabah global ini, banyak masyarakat yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja). Pendapatannya berkurang. Pekerja sektor informal juga terpukul. Jadi, jangan terburu-buru memangkas subsidi. Ketika data belum diperbarui, akan ada potensi deviasi antara yang berhak menerima dan tidak menerima. Barangkali jumlah masyarakat yang berhak mendapat subsidi justru lebih banyak dari data acuan itu.

Baca Juga :  Pernikahan Dini pada Masa Pandemi

Ketika hendak mengubah kebijakan, pemerintah harus mengedepankan prinsip melindungi rakyat. Subsidi listrik relatif sudah mengalami penurunan sejak 2016. Saat itu, subsidi listrik 59,08 persen dari total subsidi energi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2016, yakni Rp 63,1 triliun.

Tahun lalu nominalnya turun menjadi Rp 61,10 triliun. Untuk 2021, nominalnya lebih rendah dengan Rp 53,59 triliun, tetapi masih mendominasi atau 48,49 persen dari total subsidi energi. Artinya, subsidi listrik merupakan jenis subsidi energi yang paling besar diberikan pemerintah.

Listrik bisa dibilang kebutuhan primer yang penting untuk rumah tangga. Apalagi, mayoritas aktivitas masyarakat dilakukan di rumah selama pandemi. Work from home, rapat virtual, dan pembelajaran daring. Artinya, konsumsi listrik lebih meningkat.

Untuk sasaran, pemerintah tentu harus memprioritaskan pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA. Sebab, mayoritas adalah kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Jadi, ketika pemerintah hendak melakukan rasionalisasi subsidi listrik, acuannya bukan karena masuk DTKS atau tidak. Tapi, apakah seharusnya ada tambahan yang layak masuk DTKS? Jangan-jangan masih banyak yang tidak terdata untuk mendapatkan subsidi.

Baca Juga :  Tak Ada yang Tak Mungkin di Olimpiade

Hingga saat ini, realisasi subsidi listrik per triwulan I 2021 sebesar Rp 13,7 triliun atau 25,5 persen dari pagu. Naik 18,8 persen dari tahun lalu. Salah satu yang memengaruhi kenaikan tersebut adalah meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Memang, mau tidak mau, untuk mengurangi beban subsidi, harus dibenahi sisi hulunya. Mendorong efisiensi untuk produksi listrik. Artinya, pemerintah juga harus concern ke PLN. Jangan hanya ke masyarakat. Dengan demikian, biaya perolehannya lebih efisien. Dan, tidak keberatan untuk memberikan subsidi.

Selama ini yang menjadi beban subsidi listrik adalah relatif tidak adanya perubahan tarif listrik sejak 2016. Sehingga pemerintah selalu memberikan kompensasi dari selisih harga beli listrik yang meningkat ke konsumen yang dijual murah. Untuk menekan itu, pemerintah melakukan renegosiasi terhadap harga beli listrik swasta.

Selain itu, pemerintah perlu hati-hati untuk wacana meningkatkan tarif listrik. Bagi masyarakat yang mendapat subsidi, tidak ada masalah. Tapi, bagi masyarakat lain yang tidak mendapat subsidi, dampaknya akan luar biasa. Momen saat ini tidak tepat untuk melakukan peningkatan tarif listrik. Sebab, daya beli masyarakat sedang tertekan.

 

Abra P.G. Talattov, Head of Center Food, Energy and Sustainable Development Indef

MEMBACA dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2022, tertulis bahwa skema subsidi listrik akan diubah. Disesuaikan dengan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Artinya, ada konsekuensi pengurangan pelanggan listrik rumah tangga yang mendapatkan subsidi

Dari hitung-hitungan pemerintah, jumlah penerima subsidi untuk pelanggan dengan daya 900 volt ampere (VA) mulai dikurangi. Hanya mereka yang masuk DTKS. Untuk pelanggan 450 VA, semua masih mendapat subsidi.

Ke depan, pemerintah mempertimbangkan mencabut subsidi untuk sebagian pelanggan listrik rumah tangga berdaya 450 VA. Selama ini, total terdapat 24,5 juta pelanggan berdaya 450 VA. Dari jumlah tersebut, yang mendapat subsidi hanya 9,3 juta pelanggan yang tercatat di DTKS. Atau 37,96 persen dari total pelanggan rumah tangga 450 VA. Dengan demikian, 15,2 juta pelanggan (62,04 persen) pelanggan 450 VA lainnya sangat mungkin subsidi listriknya bakal dicabut.

Persoalannya, yang menjadi acuan adalah DTKS 2019. Ketika melakukan perubahan kebijakan, seharusnya pemerintah menggunakan data yang lebih aktual. Misalnya, data 2020 atau ketika terjadi pandemi Covid-19.

Selama wabah global ini, banyak masyarakat yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja). Pendapatannya berkurang. Pekerja sektor informal juga terpukul. Jadi, jangan terburu-buru memangkas subsidi. Ketika data belum diperbarui, akan ada potensi deviasi antara yang berhak menerima dan tidak menerima. Barangkali jumlah masyarakat yang berhak mendapat subsidi justru lebih banyak dari data acuan itu.

Baca Juga :  Pernikahan Dini pada Masa Pandemi

Ketika hendak mengubah kebijakan, pemerintah harus mengedepankan prinsip melindungi rakyat. Subsidi listrik relatif sudah mengalami penurunan sejak 2016. Saat itu, subsidi listrik 59,08 persen dari total subsidi energi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2016, yakni Rp 63,1 triliun.

Tahun lalu nominalnya turun menjadi Rp 61,10 triliun. Untuk 2021, nominalnya lebih rendah dengan Rp 53,59 triliun, tetapi masih mendominasi atau 48,49 persen dari total subsidi energi. Artinya, subsidi listrik merupakan jenis subsidi energi yang paling besar diberikan pemerintah.

Listrik bisa dibilang kebutuhan primer yang penting untuk rumah tangga. Apalagi, mayoritas aktivitas masyarakat dilakukan di rumah selama pandemi. Work from home, rapat virtual, dan pembelajaran daring. Artinya, konsumsi listrik lebih meningkat.

Untuk sasaran, pemerintah tentu harus memprioritaskan pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA. Sebab, mayoritas adalah kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Jadi, ketika pemerintah hendak melakukan rasionalisasi subsidi listrik, acuannya bukan karena masuk DTKS atau tidak. Tapi, apakah seharusnya ada tambahan yang layak masuk DTKS? Jangan-jangan masih banyak yang tidak terdata untuk mendapatkan subsidi.

Baca Juga :  Tak Ada yang Tak Mungkin di Olimpiade

Hingga saat ini, realisasi subsidi listrik per triwulan I 2021 sebesar Rp 13,7 triliun atau 25,5 persen dari pagu. Naik 18,8 persen dari tahun lalu. Salah satu yang memengaruhi kenaikan tersebut adalah meningkatnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Memang, mau tidak mau, untuk mengurangi beban subsidi, harus dibenahi sisi hulunya. Mendorong efisiensi untuk produksi listrik. Artinya, pemerintah juga harus concern ke PLN. Jangan hanya ke masyarakat. Dengan demikian, biaya perolehannya lebih efisien. Dan, tidak keberatan untuk memberikan subsidi.

Selama ini yang menjadi beban subsidi listrik adalah relatif tidak adanya perubahan tarif listrik sejak 2016. Sehingga pemerintah selalu memberikan kompensasi dari selisih harga beli listrik yang meningkat ke konsumen yang dijual murah. Untuk menekan itu, pemerintah melakukan renegosiasi terhadap harga beli listrik swasta.

Selain itu, pemerintah perlu hati-hati untuk wacana meningkatkan tarif listrik. Bagi masyarakat yang mendapat subsidi, tidak ada masalah. Tapi, bagi masyarakat lain yang tidak mendapat subsidi, dampaknya akan luar biasa. Momen saat ini tidak tepat untuk melakukan peningkatan tarif listrik. Sebab, daya beli masyarakat sedang tertekan.

 

Abra P.G. Talattov, Head of Center Food, Energy and Sustainable Development Indef

Terpopuler

Artikel Terbaru