27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Setelah FPI Dibubarkan, Lalu Apa?

SETELAH pemerintah mengumumkan FPI (Front Pembela Islam) berada di
luar hukum (bubar) terjadi pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang mendukung
kebijakan pemerintah, tetapi tidak sedikit juga yang mengkritisi.

Mereka yang mengkritisi bukan
hanya dari kalangan FPI, tetapi yang menonjol terdiri dari kalangan “civil society” dan pegiat demokrasi dan
hak asasi manusia (HAM) seperti HMI, KNPI, PMII, Amnesti Internasional dll.

Di kalangan internal eks-FPI,
pengumuman tersebut disikapi dengan. pendeklarasian Front Persatuan Islam yang
menggunakan akronim FPI. Personel, gaya dan pola kegiatannya tampaknya tidak
berbeda dengan organisasi sebelumnya. UU No 17/ Tahun 2013 dan PERPPU No 02 /
Tahun 2017 Tentang Keormasan tidak mencantumkan secara eksplisit aturan yang
melarang hal tersebut.

Baca Juga :  Jawa Timur Merawat Spirit Kedaulatan Pangan Bung Karno

What Next ?? Pemerintah sebelumnya telah mempunyai pengalaman dalam
pembubaran HTI yang dianggap bertentangan Pancasila. Realitasnya mereka masih
bergerak dengan cara “tranplantasi organisasi”, menyebarkan kadernya aktif di
berbagai organisasi termasuk ke dalam FPI.

Tidak aneh sejak 2019 muncul isu
negara khilafah di kalangan FPI. Belum lagi mereka yang berfaham “Salafy Jihadi
dan Takfiri”:secara diam-diam juga nimbrung ke dalam FPI. Mereka itu ikut
di FPI sebagai bagian dari tahap “tafaul ma’al ummah “ (interaksi sosial) atau
suatu tahap untuk melakukan rekrutmen.

Jelas ada masalah lain di balik
pembubaran FPI, suatu masalah keamanan yang tidak sederhana. Hal itu sebaiknya
diantisipasi sejak sekarang. Ke depan dalam menangani limbah pembubaran FPI
khususnya FPI yang baru lahir, seyogyanya pemerintah mengunakan pola kebijakan
“Stick and Carrot” sekaligus, “tindakan tegas disertai dialog”, pola
tindakan hukum yang luwes, selaras dengan iklim demokrasi yang sedang
berkembang.

Baca Juga :  Perspektif Kepala Sekolah Dalam Menangani Masalah PJJ di Masa Pandemi

Bagi pimpinan eks-FPI sebaiknya
melakukan muhasabah dengan memahami suatu perubahan dunia yang semakin bergerak
ke arah moderasi atau persaudaraan dunia. Sebagai contoh Arab Saudi sudah
menonaktifkan lembaga “Haiah Amar Ma’ruf Nahi Munkar ‘yang biasa melakukan
“sweeping” seperti pernah terjadi juga di beberapa lokasi di Indonesia. (*)

DR KH AS’AD SAID ALI. Pengamat
sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode
2010-2015. Tinggal di Jakarta.

SETELAH pemerintah mengumumkan FPI (Front Pembela Islam) berada di
luar hukum (bubar) terjadi pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang mendukung
kebijakan pemerintah, tetapi tidak sedikit juga yang mengkritisi.

Mereka yang mengkritisi bukan
hanya dari kalangan FPI, tetapi yang menonjol terdiri dari kalangan “civil society” dan pegiat demokrasi dan
hak asasi manusia (HAM) seperti HMI, KNPI, PMII, Amnesti Internasional dll.

Di kalangan internal eks-FPI,
pengumuman tersebut disikapi dengan. pendeklarasian Front Persatuan Islam yang
menggunakan akronim FPI. Personel, gaya dan pola kegiatannya tampaknya tidak
berbeda dengan organisasi sebelumnya. UU No 17/ Tahun 2013 dan PERPPU No 02 /
Tahun 2017 Tentang Keormasan tidak mencantumkan secara eksplisit aturan yang
melarang hal tersebut.

Baca Juga :  Jawa Timur Merawat Spirit Kedaulatan Pangan Bung Karno

What Next ?? Pemerintah sebelumnya telah mempunyai pengalaman dalam
pembubaran HTI yang dianggap bertentangan Pancasila. Realitasnya mereka masih
bergerak dengan cara “tranplantasi organisasi”, menyebarkan kadernya aktif di
berbagai organisasi termasuk ke dalam FPI.

Tidak aneh sejak 2019 muncul isu
negara khilafah di kalangan FPI. Belum lagi mereka yang berfaham “Salafy Jihadi
dan Takfiri”:secara diam-diam juga nimbrung ke dalam FPI. Mereka itu ikut
di FPI sebagai bagian dari tahap “tafaul ma’al ummah “ (interaksi sosial) atau
suatu tahap untuk melakukan rekrutmen.

Jelas ada masalah lain di balik
pembubaran FPI, suatu masalah keamanan yang tidak sederhana. Hal itu sebaiknya
diantisipasi sejak sekarang. Ke depan dalam menangani limbah pembubaran FPI
khususnya FPI yang baru lahir, seyogyanya pemerintah mengunakan pola kebijakan
“Stick and Carrot” sekaligus, “tindakan tegas disertai dialog”, pola
tindakan hukum yang luwes, selaras dengan iklim demokrasi yang sedang
berkembang.

Baca Juga :  Perspektif Kepala Sekolah Dalam Menangani Masalah PJJ di Masa Pandemi

Bagi pimpinan eks-FPI sebaiknya
melakukan muhasabah dengan memahami suatu perubahan dunia yang semakin bergerak
ke arah moderasi atau persaudaraan dunia. Sebagai contoh Arab Saudi sudah
menonaktifkan lembaga “Haiah Amar Ma’ruf Nahi Munkar ‘yang biasa melakukan
“sweeping” seperti pernah terjadi juga di beberapa lokasi di Indonesia. (*)

DR KH AS’AD SAID ALI. Pengamat
sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode
2010-2015. Tinggal di Jakarta.

Terpopuler

Artikel Terbaru