27.9 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Padat Karya Dukung Pemulihan Ekonomi Nasional

PANDEMI Covid-19 membawa pengaruh luar biasa
terhadap iklim usaha di Jawa Timur. Aktivitas produksi sempat terhambat. Daya
beli masyarakat juga sempat turun.

Dampaknya, banyak perusahaan yang harus memutus
hubungan kerja alias PHK. Efek bola salju pun bergulir. PHK menjadikan angka
pengangguran terbuka di Jawa Timur meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan angka pengangguran terbuka Jawa Timur 5,84. Masih lebih rendah
dibanding rata-rata nasional yang berada di angka 7,07.

Secara nasional, Jawa Timur berada di urutan
ke-20. Posisi tersebut tidak bisa menjadi bahan pembenaran. Pemerintah provinsi
tetap harus mengambil langkah taktis dan strategis agar angka pengangguran
terbuka itu berkurang.

Pemerintah kerap berada di posisi dilematis.
Terutama saat menentukan upah minimum karyawan. Dua elemen ini sama-sama
penting. Karyawan patut mendapat kesejahteraan yang layak. Yakni, dengan
menaikkan upah minimum tersebut. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan jaminan
keberlangsungan usaha. Pandemi mengakibatkan dunia usaha lesu. Omzet turun.

Pengusaha harus memeras otak untuk memenuhi
tuntutan kelompok pekerja. Yakni, menaikkan upah minimum karyawan. Pemerintah
tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Mengutamakan kepentingan pekerja bisa
mengakibatkan capital flight. Upah minimum karyawan naik tinggi. Tapi,
perusahaan tidak bisa produksi. Mereka bedol desa mencari wilayah yang upah
karyawannya terjangkau.

Bagi pengusaha, bedol desa bisa menjadi pilihan
yang paling memungkinkan. Apalagi, sistem distribusi barang di Indonesia kian
membaik karena ada jalur tol. Hitungan perpindahan produksi dari satu daerah ke
daerah lain bisa lebih murah.

Baca Juga :  Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

Tren itu mulai diterapkan beberapa pengusaha.
Di wilayah ring I Jawa Timur, ada beberapa perusahaan yang berniat pindah ke
daerah lain. Mereka melirik wilayah yang upah minimum karyawannya lebih rendah.
Itu dilakukan agar cash flow perusahaan tetap terjaga.

Bila itu terjadi, kelompok pekerja yang
dirugikan. Perusahaan berpindah, lalu mencari tenaga kerja baru. Kelompok
pekerja yang sudah mengabdi bertahun-tahun memiliki dua pilihan. Tetap bekerja
tapi pada lokasi baru atau pemutusan hubungan kerja.

Pilihan pertama terkesan aman. Tetap bekerja,
tapi pada lokasi baru. Pilihan ini akan berdampak pada penerimaan upah
karyawan. Perusahaan akan membayar upah berdasar ketetapan UMK setempat.
Pendapatan karyawan bisa dipastikan turun. Sisi dilematis yang terjadi dari
tahun ke tahun.

 

Di masa pandemi ini, pemerintah tidak leluasa
mengambil keputusan. Komunikasi kepada pengusaha dan karyawan menjadi kewajiban
yang harus dilaksanakan. Pendekatan bukan lagi business-to-business. Tapi,
pendekatan yang digunakan lebih pada hati ke hati.

Pilihan yang dimiliki pemerintah adalah membuat
pengusaha bertahan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan pekerja. Pilihan
yang sulit diwujudkan. Tapi, pendekatan ’’hati ke hati” bisa menjadi cara
terbaik untuk mewujudkan pilihan itu.

Saat ini, pemulihan ekonomi nasional (PEN)
sedang berjalan. Namun, ancaman pemutusan hubungan kerja tetap berlaku. Sebab,
iklim usaha belum kembali normal. Pemerintah harus turun tangan untuk menjaga
hubungan industrial tetap kondusif.

Baca Juga :  Nuzulul Quran dan Spirit Intelektualisme

Di Jawa Timur, pemerintah melakukan pendekatan
kepada pengusaha. Terutama perusahaan yang berniat mengonversi tenaga manusia
menjadi tenaga mesin. Upaya tersebut dilakukan untuk penghematan biaya. Memang
efisien, tapi mengakibatkan PHK besar-besaran.

Pemerintah provinsi memberikan pemahaman kepada
pengusaha untuk menunda niatan tersebut. Saat ini, sistem padat karya masih
dibutuhkan. Sebab, banyak orang masih membutuhkan pekerjaan. Konversi
mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan.

Banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan
akan memengaruhi sektor lainnya. Masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap.
Kemampuan daya beli masyarakat semakin rendah. Tingkat konsumsi masyarakat
menurun.

Pada kondisi seperti itu, pasar menjadi lesu.
Produk perusahaan banyak yang tidak terjual. Otomatis upaya pemulihan ekonomi
yang dilakukan pemerintah tidak bisa optimal.

Hari Buruh yang diperingati 1 Mei kerap menjadi
ajang perenungan bersama. Kelompok pekerja mengutarakan tuntutan kesejahteraan.
Pengusaha sulit memenuhi karena iklim usaha belum stabil. Titik temu sulit
diwujudkan.

Karena itu, pemerintah berharap dua elemen ini
bisa saling bekerja sama. Yakni, saling memahami tentang kondisi yang sedang
terjadi. Elemen tenaga kerja tetap memperhatikan kelangsungan usaha.
Sebaliknya, elemen pengusaha tetap memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja.
(*)

 

*) KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa
Timur

PANDEMI Covid-19 membawa pengaruh luar biasa
terhadap iklim usaha di Jawa Timur. Aktivitas produksi sempat terhambat. Daya
beli masyarakat juga sempat turun.

Dampaknya, banyak perusahaan yang harus memutus
hubungan kerja alias PHK. Efek bola salju pun bergulir. PHK menjadikan angka
pengangguran terbuka di Jawa Timur meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan angka pengangguran terbuka Jawa Timur 5,84. Masih lebih rendah
dibanding rata-rata nasional yang berada di angka 7,07.

Secara nasional, Jawa Timur berada di urutan
ke-20. Posisi tersebut tidak bisa menjadi bahan pembenaran. Pemerintah provinsi
tetap harus mengambil langkah taktis dan strategis agar angka pengangguran
terbuka itu berkurang.

Pemerintah kerap berada di posisi dilematis.
Terutama saat menentukan upah minimum karyawan. Dua elemen ini sama-sama
penting. Karyawan patut mendapat kesejahteraan yang layak. Yakni, dengan
menaikkan upah minimum tersebut. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan jaminan
keberlangsungan usaha. Pandemi mengakibatkan dunia usaha lesu. Omzet turun.

Pengusaha harus memeras otak untuk memenuhi
tuntutan kelompok pekerja. Yakni, menaikkan upah minimum karyawan. Pemerintah
tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Mengutamakan kepentingan pekerja bisa
mengakibatkan capital flight. Upah minimum karyawan naik tinggi. Tapi,
perusahaan tidak bisa produksi. Mereka bedol desa mencari wilayah yang upah
karyawannya terjangkau.

Bagi pengusaha, bedol desa bisa menjadi pilihan
yang paling memungkinkan. Apalagi, sistem distribusi barang di Indonesia kian
membaik karena ada jalur tol. Hitungan perpindahan produksi dari satu daerah ke
daerah lain bisa lebih murah.

Baca Juga :  Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

Tren itu mulai diterapkan beberapa pengusaha.
Di wilayah ring I Jawa Timur, ada beberapa perusahaan yang berniat pindah ke
daerah lain. Mereka melirik wilayah yang upah minimum karyawannya lebih rendah.
Itu dilakukan agar cash flow perusahaan tetap terjaga.

Bila itu terjadi, kelompok pekerja yang
dirugikan. Perusahaan berpindah, lalu mencari tenaga kerja baru. Kelompok
pekerja yang sudah mengabdi bertahun-tahun memiliki dua pilihan. Tetap bekerja
tapi pada lokasi baru atau pemutusan hubungan kerja.

Pilihan pertama terkesan aman. Tetap bekerja,
tapi pada lokasi baru. Pilihan ini akan berdampak pada penerimaan upah
karyawan. Perusahaan akan membayar upah berdasar ketetapan UMK setempat.
Pendapatan karyawan bisa dipastikan turun. Sisi dilematis yang terjadi dari
tahun ke tahun.

 

Di masa pandemi ini, pemerintah tidak leluasa
mengambil keputusan. Komunikasi kepada pengusaha dan karyawan menjadi kewajiban
yang harus dilaksanakan. Pendekatan bukan lagi business-to-business. Tapi,
pendekatan yang digunakan lebih pada hati ke hati.

Pilihan yang dimiliki pemerintah adalah membuat
pengusaha bertahan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan pekerja. Pilihan
yang sulit diwujudkan. Tapi, pendekatan ’’hati ke hati” bisa menjadi cara
terbaik untuk mewujudkan pilihan itu.

Saat ini, pemulihan ekonomi nasional (PEN)
sedang berjalan. Namun, ancaman pemutusan hubungan kerja tetap berlaku. Sebab,
iklim usaha belum kembali normal. Pemerintah harus turun tangan untuk menjaga
hubungan industrial tetap kondusif.

Baca Juga :  Nuzulul Quran dan Spirit Intelektualisme

Di Jawa Timur, pemerintah melakukan pendekatan
kepada pengusaha. Terutama perusahaan yang berniat mengonversi tenaga manusia
menjadi tenaga mesin. Upaya tersebut dilakukan untuk penghematan biaya. Memang
efisien, tapi mengakibatkan PHK besar-besaran.

Pemerintah provinsi memberikan pemahaman kepada
pengusaha untuk menunda niatan tersebut. Saat ini, sistem padat karya masih
dibutuhkan. Sebab, banyak orang masih membutuhkan pekerjaan. Konversi
mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan.

Banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan
akan memengaruhi sektor lainnya. Masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap.
Kemampuan daya beli masyarakat semakin rendah. Tingkat konsumsi masyarakat
menurun.

Pada kondisi seperti itu, pasar menjadi lesu.
Produk perusahaan banyak yang tidak terjual. Otomatis upaya pemulihan ekonomi
yang dilakukan pemerintah tidak bisa optimal.

Hari Buruh yang diperingati 1 Mei kerap menjadi
ajang perenungan bersama. Kelompok pekerja mengutarakan tuntutan kesejahteraan.
Pengusaha sulit memenuhi karena iklim usaha belum stabil. Titik temu sulit
diwujudkan.

Karena itu, pemerintah berharap dua elemen ini
bisa saling bekerja sama. Yakni, saling memahami tentang kondisi yang sedang
terjadi. Elemen tenaga kerja tetap memperhatikan kelangsungan usaha.
Sebaliknya, elemen pengusaha tetap memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja.
(*)

 

*) KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa
Timur

Terpopuler

Artikel Terbaru