30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Nuzulul Quran dan Spirit Intelektualisme

RAMADAN telah memasuki hari ke-17. Hari ketika umat Islam
memperingati diturunkannya kitab suci Alquran atau Nuzulul Quran. Mengingatkan
kembali bahwa intelektual muslim memiliki potensi membaca kitab sucinya dengan
menangkap isyarat atau makna yang terkandung di dalamnya.

Secara implisit, nabi mengingatkan kepada orang Islam untuk
membaca secara benar, baik secara lisan maupun intelektual. Sebagaimana yang
beliau sampaikan: ”Banyak orang membaca Alquran, tetapi justru Alquran
melaknatinya”. Kenapa? Karena mereka tidak menjadikan Alquran sebagai pegangan
hidup dan akhlaknya.

Logikanya, orang yang terdidik (intelektual) amat potensial
untuk mendekatkan diri (takwa) kepada Allah. Sebab, ia berpotensi mampu membaca
dan mengkaji maknanya. Inilah manusia yang disebut dalam Alquran sebagai
ulul-ilmi, ahl al-zikri dan ulul albab.

Alquran adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut
informasi ilmiah maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak.
Terkait dengan informasi ilmiah, tidak sedikit para akademisi, baik akademisi
Timur maupun Barat, yang mengakui kemukjizatan Alquran. Tidak sedikit pula
kalangan mereka yang kemudian menjadi muslim. Bahkan, yang tidak muslim pun
bisa mendapatkan informasi ilmiah dari Alquran sebagaimana yang dialami para orientalis.

Jika para orientalis yang tidak percaya pada Alquran mau
mempelajari secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, mengapa yang
muslim tidak? Mengapa selama ini orang-orang Islam mengetahui informasi ilmiah
justru lewat orang Barat yang sekuler?

Contoh, orang Islam tahu bahwa matahari berputar pada
porosnya, bahwa asal muasal alam ini ”air”, adalah dari ilmuwan Barat atau
Thales, seorang filsuf Yunani. Bukan dari Alquran yang dibacanya setiap hari.
Misalnya, dalam surah Yasin dan Al Anbiya Allah berfirman: ”Dan matahari
berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui” (QS Yasin: 38). ”Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup
ini berasal dari air” (QS Al Anbiya: 30).

Baca Juga :  Memikirkan Kembali Otoritas Keagamaan

 

Alquran dan Sains

Seorang filsuf Prancis, Al-Kiss Luazon, menegaskan bahwa
Alquran adalah kitab suci. Tidak ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di
zaman modern ini yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Dr Rene Ginon, setelah masuk Islam dan berganti nama
menjadi Abdul Wahid Yahya, juga bercerita tentang pengalamannya mempelajari
Alquran. Dia menemukan ayat-ayat yang relevan dan kompatibel dengan ilmu
pengetahuan modern. ”Seandainya para pakar dan ilmuwan dunia itu mau mengkaji
ayat-ayat Alquran secara serius yang terkait dengan apa yang mereka pelajari,
seperti yang saya lakukan, niscaya mereka akan menjadi muslim tanpa ragu –jika
memang mereka berpikir objektif– katanya” (Abdul Muta’al, 1980: 8).

Karena itu, orang terpelajar (intelektual muslim) memiliki
potensi besar dalam mendekatkan diri kepada Allah (takwa) karena mereka banyak
mengetahui informasi ilmiah melalui jagat raya ini. Semakin seseorang banyak
mengetahui rahasia alam ciptaan Allah, semakin sadar akan kebesaran-Nya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak banyak tahu tentang rahasia alam ciptaan-Nya,
ia melihat kehidupan ini biasa-biasa saja, tidak ada kekaguman, bahkan yang
terjadi malah memitoskan alam tersebut.

Suatu misal, seorang terpelajar akan memahami gerhana bulan
atau matahari dan silih bergantinya siang-malam itu sebagai fenomena alam yang
sangat sistematis dan by design. Bukan by accident. Tidak mungkin tidak
dirancang oleh Sang Kuasa Allah Rab Al Alamin.

Dengan melihat fenomena alam seperti itu, orang terpelajar
itu akan merasa kecil di hadapan Ilahi Rabbi. Lalu ia bersyukur, tunduk, dan
khusyuk dengan melakukan salat khusyuf al-Qamar dan kusuf al-Syams. Seraya
mengucapkan rabbana ma khalaqta haza bathila subhanaka fa qina azab al-nar.
Tentu ini tidak dilakukan orang awam yang tidak memahami rahasia alam ciptaan-Nya.

Baca Juga :  Menjaga Pertumbuhan UMKM

Maka, Alquran selalu mendorong manusia untuk belajar dan
menambah bekal ilmu pengetahuan dan menggunakan akalnya secara maksimal. Dengan
kemampuan akal itu diharapkan mampu melihat Allah SWT melalui perenungan dan
pengamatan akan ciptaan-Nya.

Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk
senantiasa mencari dan menggali ilmu. Karena itu, ilmuwan mendapatkan perlakuan
yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. Alquran dan
As-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur.

Sebagaimana diidentifikasi Al-Qardhawi (1986: 1-2) bahwa
kata ilm dan kata jadiannya disebutkan dalam Alquran mencapai sekitar 800 kali.
Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh
al-Qur’an al-Karim melaporkan, kata ilm (ilmu) dalam Alquran, baik dalam
bentuknya yang definitif (makrifat) maupun indefinitif (nakirah) terdapat 80
kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu, seperti kata allama (mengajarkan),
ya’lamun (mereka menegetahui), alim (sangat tahu), dan seterusnya, disebutkan
beratus-ratus kali.

Selain itu, jika ditelaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh
dengan kata-kata ilm tersebut. Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari
kita dapati 102 hadis. Dalam Shahhih Muslim dan yang lain seperti al-Muwatha’,
Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab ilmu.
Belum lagi kitab-kitab yang lain. Alquran menjadi pegangan hidup muslim bagi
menata kehidupan di dunia untuk bekal di akhirat. Maka, ia harus dikaji,
dihayati maknanya, dan diamalkan.

Alquran juga memberikan syafaat di hari kiamat dan menjadi
penerang di rumah dan di tengah-tengah keluarga. Namun, mereka yang jauh dari
Alquran ibarat rumah kosong tanpa penghuni. Demikian pesan-pesan yang dibawakan
Nabi Muhammad SAW. (*)

 

*) M. Zainuddin, Guru besar UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang

RAMADAN telah memasuki hari ke-17. Hari ketika umat Islam
memperingati diturunkannya kitab suci Alquran atau Nuzulul Quran. Mengingatkan
kembali bahwa intelektual muslim memiliki potensi membaca kitab sucinya dengan
menangkap isyarat atau makna yang terkandung di dalamnya.

Secara implisit, nabi mengingatkan kepada orang Islam untuk
membaca secara benar, baik secara lisan maupun intelektual. Sebagaimana yang
beliau sampaikan: ”Banyak orang membaca Alquran, tetapi justru Alquran
melaknatinya”. Kenapa? Karena mereka tidak menjadikan Alquran sebagai pegangan
hidup dan akhlaknya.

Logikanya, orang yang terdidik (intelektual) amat potensial
untuk mendekatkan diri (takwa) kepada Allah. Sebab, ia berpotensi mampu membaca
dan mengkaji maknanya. Inilah manusia yang disebut dalam Alquran sebagai
ulul-ilmi, ahl al-zikri dan ulul albab.

Alquran adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut
informasi ilmiah maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak.
Terkait dengan informasi ilmiah, tidak sedikit para akademisi, baik akademisi
Timur maupun Barat, yang mengakui kemukjizatan Alquran. Tidak sedikit pula
kalangan mereka yang kemudian menjadi muslim. Bahkan, yang tidak muslim pun
bisa mendapatkan informasi ilmiah dari Alquran sebagaimana yang dialami para orientalis.

Jika para orientalis yang tidak percaya pada Alquran mau
mempelajari secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, mengapa yang
muslim tidak? Mengapa selama ini orang-orang Islam mengetahui informasi ilmiah
justru lewat orang Barat yang sekuler?

Contoh, orang Islam tahu bahwa matahari berputar pada
porosnya, bahwa asal muasal alam ini ”air”, adalah dari ilmuwan Barat atau
Thales, seorang filsuf Yunani. Bukan dari Alquran yang dibacanya setiap hari.
Misalnya, dalam surah Yasin dan Al Anbiya Allah berfirman: ”Dan matahari
berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui” (QS Yasin: 38). ”Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup
ini berasal dari air” (QS Al Anbiya: 30).

Baca Juga :  Memikirkan Kembali Otoritas Keagamaan

 

Alquran dan Sains

Seorang filsuf Prancis, Al-Kiss Luazon, menegaskan bahwa
Alquran adalah kitab suci. Tidak ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di
zaman modern ini yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Dr Rene Ginon, setelah masuk Islam dan berganti nama
menjadi Abdul Wahid Yahya, juga bercerita tentang pengalamannya mempelajari
Alquran. Dia menemukan ayat-ayat yang relevan dan kompatibel dengan ilmu
pengetahuan modern. ”Seandainya para pakar dan ilmuwan dunia itu mau mengkaji
ayat-ayat Alquran secara serius yang terkait dengan apa yang mereka pelajari,
seperti yang saya lakukan, niscaya mereka akan menjadi muslim tanpa ragu –jika
memang mereka berpikir objektif– katanya” (Abdul Muta’al, 1980: 8).

Karena itu, orang terpelajar (intelektual muslim) memiliki
potensi besar dalam mendekatkan diri kepada Allah (takwa) karena mereka banyak
mengetahui informasi ilmiah melalui jagat raya ini. Semakin seseorang banyak
mengetahui rahasia alam ciptaan Allah, semakin sadar akan kebesaran-Nya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak banyak tahu tentang rahasia alam ciptaan-Nya,
ia melihat kehidupan ini biasa-biasa saja, tidak ada kekaguman, bahkan yang
terjadi malah memitoskan alam tersebut.

Suatu misal, seorang terpelajar akan memahami gerhana bulan
atau matahari dan silih bergantinya siang-malam itu sebagai fenomena alam yang
sangat sistematis dan by design. Bukan by accident. Tidak mungkin tidak
dirancang oleh Sang Kuasa Allah Rab Al Alamin.

Dengan melihat fenomena alam seperti itu, orang terpelajar
itu akan merasa kecil di hadapan Ilahi Rabbi. Lalu ia bersyukur, tunduk, dan
khusyuk dengan melakukan salat khusyuf al-Qamar dan kusuf al-Syams. Seraya
mengucapkan rabbana ma khalaqta haza bathila subhanaka fa qina azab al-nar.
Tentu ini tidak dilakukan orang awam yang tidak memahami rahasia alam ciptaan-Nya.

Baca Juga :  Menjaga Pertumbuhan UMKM

Maka, Alquran selalu mendorong manusia untuk belajar dan
menambah bekal ilmu pengetahuan dan menggunakan akalnya secara maksimal. Dengan
kemampuan akal itu diharapkan mampu melihat Allah SWT melalui perenungan dan
pengamatan akan ciptaan-Nya.

Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk
senantiasa mencari dan menggali ilmu. Karena itu, ilmuwan mendapatkan perlakuan
yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. Alquran dan
As-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur.

Sebagaimana diidentifikasi Al-Qardhawi (1986: 1-2) bahwa
kata ilm dan kata jadiannya disebutkan dalam Alquran mencapai sekitar 800 kali.
Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh
al-Qur’an al-Karim melaporkan, kata ilm (ilmu) dalam Alquran, baik dalam
bentuknya yang definitif (makrifat) maupun indefinitif (nakirah) terdapat 80
kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu, seperti kata allama (mengajarkan),
ya’lamun (mereka menegetahui), alim (sangat tahu), dan seterusnya, disebutkan
beratus-ratus kali.

Selain itu, jika ditelaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh
dengan kata-kata ilm tersebut. Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari
kita dapati 102 hadis. Dalam Shahhih Muslim dan yang lain seperti al-Muwatha’,
Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab ilmu.
Belum lagi kitab-kitab yang lain. Alquran menjadi pegangan hidup muslim bagi
menata kehidupan di dunia untuk bekal di akhirat. Maka, ia harus dikaji,
dihayati maknanya, dan diamalkan.

Alquran juga memberikan syafaat di hari kiamat dan menjadi
penerang di rumah dan di tengah-tengah keluarga. Namun, mereka yang jauh dari
Alquran ibarat rumah kosong tanpa penghuni. Demikian pesan-pesan yang dibawakan
Nabi Muhammad SAW. (*)

 

*) M. Zainuddin, Guru besar UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru