JAKARTA – Pencurian data penduduk bisa dilakukan oknum yang
memanfaatkan media sosial (medsos). Bahkan Facebook, Instagram, dan Google
dianggap jauh lebih berbahaya bagi privasi warga. Masyarakat diminta jangan
mudah memberikan data pribadi jika memang tidak perlu.
“Ada saja oknum yang lewat
medsos. Bisa lewat google dan sebagainya. Google saja baru kena denda juga
kan,†ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Jakarta, Selasa
(30/7).
Kemendagri sebelumnya lewat
Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil melaksanakan kerja sama dengan ribuan
lembaga keuangan dan pembiayaan swasta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
mengenai potensi kebocoran data.
Namun, Tjahjo menegaskan bahwa
kerja sama Kemendagri dengan lembaga keuangan swasta dilakukan dengan
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kalau MoU dengan perbankan dan
lembaga keuangan itu ada rekomendasi jaminan OJK. Jadi clear. Dengan perbankan
BPR, asuransi, kemudian lembaga-lembaga finansial. Semua terdata dengan baik,â€
tegas Tjahjo.
Dia juga menegaskan pihaknya
telah secara resmi melaporkan kasus jual-beli data penduduk ke Bareskrim Polri.
Menurutnya, kasus pencurian data penduduk harus diserahkan kepada polisi karena
sudah menyangkut kriminal. “Nanti biar polisi yang menyelidiki. Ini sudah masuk
ranah kriminal. Biarkan polisi mengusutnya,†ucapnya.
Dirjen Kependudukan dan Catatan
Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menambahkan Kemendagri telah
berkoordinasi dengan Kemkominfo terkait kasus jual-beli data kependudukan di
medsos. Kemenkominfo diminta menghapus gambar-gambar yang mengandung unsur data
penduduk seperti Kartu Keluarga (KK) dan KTP-elektronik di internet.
“Kominfo akan take down
gambar-gambar KTP-el dan Kartu Keluarga yang ada di media sosial itu. Kini
Kominfo sedang melakukan profiling,†jelas Zudan.
Warga diminta tidak mengupload
gambar KTP maupun KK secara utuh, melainkan harus dikaburkan alias blur. Zudan berharap peristiwa ini dapat menjadi
pelajaran semua pihak untuk berhati-hati dalam mengunggah data kependudukan di
internet. “Data itu rentan. Apalagi ketika data sering kita diberikan
kemana-mana,†imbuhnya.
Karena itu, lanjutnyam pemerintah
tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDB).
Ada tiga poin yang menjadi fokus RUU tersebut untuk mencegah penyebaran data.
“Pertama pengumpulan datanya harus benar, yang kedua penyimpanan datanya harus
benar, yang ketiga pemanfaatan datanya harus benar,†paparnya.
Dia menjelaskan masyarakat perlu
mengerti soal penggunaan data kependudukan. Selain itu, lembaga-lembaga tidak
boleh menggunakan data kependudukan kecuali sedang bertransaksi dengan orang
yang bersangkutan. “Jadi bank hanya boleh membuka data seseorang jika yang
bersangkutan sedang bertransaksi dengan bank. Begitu juga dengan asuransi juga
sama,†ucapnya.
Menurutnya, ada sekitar 33
peraturan yang tersebar dan akan diabstraksikan dengan omnibus law menjadi satu
undang-undang. “RUU PDB sudah dibahas. Jadi akan dibuat seperti omnibus law.
Ada 32 atau 33 peraturan yang tersebar kemudian diabstraksikan menjadi satu
undang-undang peraturan Perlindungan Data Pribadi,†lanjutnya.
Terpisah, pakar keamanan siber,
Pratama Persadha menilai Facebook, Instagram, dan Google jauh lebih berbahaya
bagi privasi warganet. Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi
(Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) ini di
beberapa negara terdapat imbauan khusus kepada para pejabat atau anggota
militer untuk tidak menggunakan media sosial dan aplikasi serupa. Bahkan,
banyak instansi pemerintah terkait dengan pertahanan yang smartphone-nya tidak
dilengkapi kamera.
“Hikmah dari peristiwa ini adalah
masyarakat jadi mulai mengikuti isu keamanan data pribadi. Sebenarnya memakai
smartphone juga berarti mengekspos privasi kita,†jelas Pratama. (rh/fin/kpc)