Pendekatan zonasi tidak
hanya diterapkan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan bahwa pendekatan serupa akan
digunakan untuk membenahi kualitas sekolah negeri. Termasuk belum meratanya sarana
dan prasarana serta persebaran guru.
Dirjen Guru
dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Supriano menuturkan, pihaknya telah
melakukan pertemuan dengan seluruh kepala dinas dari 34 provinsi.
Dalam rakor
tersebut, Mendikbud Muhadjir Effendy meminta segera dilakukan pemerataan guru
per zona bagi sekolah negeri. “Jangan terjadi penumpukan guru PNS dan sudah
bersertifikat di salah satu sekolah. Harus disebar ke sekolah yang ada di
zona,†ungkapnya kemarin (23/6).
Harapannya,
semua sekolah memiliki mutu baik. Sejauh ini yang sudah melakukan distribusi
guru per zona adalah Provinsi Kalimantan Utara. “Rencananya kami mengadakan
rakor bersama Kemendagri, Men PAN-RB, BKN, provinsi, dan kabupaten/kota,†ujar
Supriano. Pertemuan tersebut akan membicarakan kebutuhan guru di setiap daerah.
Sistem zonasi memang
dipakai pemerintah untuk memetakan masalah pendidikan dalam lingkup yang lebih
kecil. Dengan begitu, persoalan akan mudah diketahui secara detail. Misalnya,
persoalan daya tampung sekolah dan persebaran guru berkualitas.
Mendikbud
Muhadjir Effendy menjelaskan, sistem zonasi tidak langsung baik.
Contohnya di
Jepang. “Justru dengan zonasi ini kita harapkan masalah pendidikan itu
terpetakan dalam scope yang lebih kecil. Yaitu, mikroskopik,†ungkapnya.
Dengan
mengetahui persoalan yang lebih detail, perbaikan akan lebih tepat. “Jadi,
nanti kalau memang terbukti daya tampungnya tidak mencukupi, kan bisa kita
tambah. Buat sekolah baru,†tuturnya.
Begitu pula
dengan distribusi guru yang tidak merata. Mantan rektor Universitas
Muhammadiyah Malang itu berjanji memperbaikinya. Bakal ada rotasi guru. Dia
menyatakan bahwa rencana tersebut masih dikaji. Pelaksanaannya dalam satu zona
saja. “Kecuali kalau terpaksa ada yang harus dipindah dari zona satu ke zona
lain. Itu harus ada pertimbangan tertentu,†tandasnya.
Akreditasi Sekolah
Belum meratanya kualitas
sekolah negeri disebut turut memengaruhi polemik dalam PPDB 2019 berbasis
zonasi. Salah satu cara mudah melihat kualitas sekolah adalah melalui
akreditasinya. Sayang, sebaran sekolah negeri dengan akreditasi A belum merata.
Apalagi untuk jenjang SMA.
Sampai saat ini proses akreditasi masih berjalan. Akreditasi
periode 2018 belum seluruhnya dipublikasikan Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah (BAN-SM). Yang sudah keluar, antara lain, untuk Provinsi Jawa
Tengah dan DKI Jakarta.
Dalam laporan akreditasi 2018 SMA untuk Provinsi Jawa Tengah,
ada sejumlah daerah yang akreditasi A-nya tidak keluar. Di antaranya, Brebes,
Pekalongan, Boyolali, Kebumen, Purworejo, dan Purbalingga. Sementara itu, di
Kota Semarang ada lima sekolah yang terakreditasi A dalam laporan tersebut.
Sebaliknya, pada periode yang sama di Provinsi DKI Jakarta,
jumlah akreditasi A untuk jenjang SMA cukup banyak. Dari 78 sekolah yang
diakreditasi tahun lalu, 68 unit (87,2 persen) meraih akreditasi A. Sisanya,
sepuluh sekolah, memperoleh akreditasi B. Tidak ada sekolah yang mendapat
akreditasi C.
Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen
Musfah menuturkan, pemerataan kualitas sekolah negeri memang masih menjadi
persoalan sampai saat ini. Menurut dia, PPDB berbasis zonasi tepat dilaksanakan
jika kualitas sekolah negeri yang sudah merata, bahkan sampai tingkat
kecamatan.
Fenomena penolakan sejumlah masyarakat dalam pelaksanaan PPDB
berbasis zonasi, kata Jejen, menjadi alasan bagi pemerintah untuk segera
memetakan keberadaan sekolah negeri. Khususnya di jenjang SMA sederajat. â€Dari
sisi kuantitas maupun kualitas, sekolah negeri masih kurang,†tuturnya.
Dengan pemetaan yang baik, Jejen mengatakan, pemerintah bisa
segera membangun unit sekolah negeri baru. Dengan begitu, saat dibuka
pendaftaran siswa baru, pelamar tidak menumpuk di sekolah tertentu. Semangat
zonasi juga lebih bisa diterima masyarakat jika jumlah sekolah semakin
menyebar.
Setelah unit sekolah baru terbangun, pemerintah juga perlu
memperbaiki kualitasnya. Terutama peningkatan sarana dan prasarana serta
penyebaran guru. Jejen yang juga pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) mengatakan, guru-guru dengan kualitas bagus jangan terkonsentrasi pada
sekolah-sekolah negeri di perkotaan saja.
Jejen mendapat informasi bahwa pemerintah akan melakukan
redistribusi guru. Persoalan mendasar para guru saat ini, khususnya guru
non-PNS di sekolah negeri, adalah gaji. Karena itu, Jejen berharap pemerintah
bisa menetapkan standar gaji minimal untuk para guru non-PNS yang mengajar di
sekolah negeri. â€Sama dengan orang yang bekerja di pabrik, ada standar upah
minimalnya,†katanya.
Jejen prihatin dengan banyaknya guru yang menerima gaji di bawah
Rp 500 ribu per bulan. Menurut dia, peningkatan kualitas sekolah negeri juga
terkait erat dengan kesejahteraan gurunya.
Anggota BAN-SM Itje Chodidjah menyatakan, proses akreditasi sama
di seluruh Indonesia. Baik untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta. “Sekolah
unggulan muncul karena pengakuan masyarakat sejak lama. Misalnya, sekolah
unggulan rata-rata adalah sekolah yang muncul terlebih dahulu,†tuturnya.
Ada delapan indikator yang dinilai saat akreditasi. Di
antaranya, standar sarpras, tenaga pendidik, dan sarana pendidik. Semua
dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). “Kalau memenuhi standar,
nilainya A,†ungkapnya.
Dia menyarankan agar ada pembenahan kualitas guru. Alasannya,
kualitas siswa ditentukan oleh kualitas proses penyelenggaraan belajar mengajar
di kelas.(jpc)