PROKALTENG.CO – Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum (Kemenkum) Razilu mengatakan kekayaan intelektual merupakan sumber daya strategis yang mampu menjadi tambang emas baru bagi ekonomi kreatif Indonesia, bukan hanya instrumen hukum.
“Tambang emas ini merupakan suatu konsep di mana hak atas kekayaan intelektual menjadi aset berharga bernilai ekonomi yang dapat mendongkrak pendapatan komersil dan keuntungan kompetitif dalam perdagangan,” kata Razilu dalam seminar di Jakarta, Selasa (22/7), seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan hal itu, Razilu mengungkapkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sangat erat kaitannya dengan investasi, sehingga dapat dijadikan aset dan modal dalam bisnis yang berkelanjutan.
Dia berpendapat nilai kekayaan intelektual sangat dinamis lantaran dapat meningkat atau bahkan menurun dari tahun ke tahun, yang bergantung pada manajemen pengelola oleh pemilik hak, sehingga perlu pembelajaran sendiri terkait dengan manajemen kekayaan intelektual.
Ia membeberkan salah satu contoh HAKI, yaitu Alfamart, yang pada awalnya mendaftarkan merek pada tahun 1989 dengan biaya pendaftaran sebesar Rp300 ribu.
Kemudian setelah mengembangkan bisnisnya dalam lingkup nasional dan internasional, kata dia, nilai sertifikat hak atas merek dapat meningkat signifikan pada tahun 2025.
Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2022, kontribusi kekayaan intelektual terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru sekitar tujuh persen.
Razilu mengungkapkan data tersebut berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan masih memiliki banyak pekerjaan dalam meningkatkan peran kekayaan intelektual dalam perekonomian.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkum terus mendorong pengakuan kekayaan intelektual sebagai aset ekonomi yang dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan.
“Skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual memungkinkan pelaku ekonomi kreatif menjadikan hak kekayaan intelektual mereka sebagai jaminan utang, baik di lembaga keuangan bank maupun non-bank,” ucap dia.
Meskipun memiliki potensi yang cukup besar, namun dirinya menyebutkan terdapat tiga tantangan utama dalam implementasi pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, yakni dengan membangun kepercayaan lembaga keuangan yang masih minim, ketersediaan penilai kekayaan intelektual (valuator), serta belum terbentuknya lembaga pendukung seperti penjamin dan asuransi khusus hak kekayaan intelektual.
Razilu mengatakan hal tersebut merupakan tugas pemerintah, sehingga perlu diperkuat regulasi dan kebijakan, membuat standar penilaian kekayaan intelektual, melakukan edukasi kepada perbankan dan pelaku usaha, membentuk pasar sekunder kekayaan intelektual, serta menjalin kolaborasi strategis antara pemerintah, lembaga keuangan, dan pelaku industri kreatif.
Dia pun berpesan kepada para pelaku bisnis untuk dapat memanfaatkan hak kekayaan intelektual dari sudut aspek bisnis, di mana nilai ekonomi suatu HAKI berdasarkan dari bukti kepemilikan, salah satunya sertifikat dari kekayaan intelektual tersebut, yang dikeluarkan oleh DJKI. (ant)