Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon
mengatakan, ‎salah satu sebab kenapa Italia kini mengalami kondisi lebih buruk
dari Tiongkok karena pada mulanya terlalu menganggap remeh wabah virus korona.
Sehingga Italia terlambat melakukan lockdown
atau karanita wilayah. Hingga pada akhirnya virus tersebut menyebar dengan
cepat ke seluruh wilayah melebihi kapasitas fasilitas perawatan yang bisa
disediakan.
“Saya khawatir kita sedang mengulangi
kesalahan Italia (yang terlambat melakukan lockdown),†ujar Fadli Zon kepada
wartawan, Senin (23/3).
Sebagai catatan, saat kebijakan lockdown
diberlakukan di Wuhan, jumlah orang yang terjangkit COVID-19 tercatat baru
mencapai 495 orang. Bandingkanlah angka itu dengan jumlah orang terinfeksi di
Indonesia yang saat ini telah mencapai 579 orang.
“Apalagi, dari 579 kasus tadi, sedikitnya 304
di antaranya berada di Jakarta. Ini adalah titik kritis untuk segera memulai
sebuah kebijakan drastis,†katanya.
Namun, kebijakan itu tak segera muncul. Fadli
Zon paham ada banyak sekali pro dan kontra terkait kebijakan lockdown,
khususnya untuk Jakarta, yang kini menjadi episentrum wabah korona di tanah
air.
Mereka yang kontra umumnya berargumen
kebijakan lockdown akan mempercepat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,
mengingat Jakarta adalah urat nadi perekonomian kita. Sebagai pembanding,
mereka yang kontra biasanya menyebut Hongkong dan Shanghai yang juga tidak
di-lockdown oleh pemerintah Tiongkok.
“Begitu juga dengan Singapura, yang berhasil
menekan penularan COVID-19 tanpa lockdown,†paparnya.
Namun, lanjut Fadli Zon, membandingkan
Indonesia dengan kasus Singapura, Hongkong dan Shanghai kira tidaklah sepadan,
tidak ‘apple to apple’ dalam menilai kebijakan lockdown.
Singapura misalnya, memang tak perlu melakukan
lockdown karena mereka bisa mengontrol sepenuhnya semua pintu masuk ke
negaranya yang jumlahnya memang tak banyak.
“Terbukti, meski termasuk negara ASEAN pertama
yang terpapar korona, sejauh ini jumlah korban meninggal di negara kota
tersebut hanya dua orang. Itupun, salah satunya pasien dari Indonesia,â€
ungkapnya.
Karena itu, Fadli meminta jangan bandingkan
wacana mengenai lockdown Jakarta dengan Hongkong dan Shanghai. Kedua kota itu
tidak di-lockdown oleh pemerintah Tiongkok bukan karena posisinya sebagai pusat
bisnis dan perekonomian, namun karena memang kedua kota itu bukan episentrum
wabah korona.
“Kasus lockdown kota Manila, atau New York,
mungkin bisa dijadikan pembanding,†paparnya
Mantan Wakil Ketua DPR itu juga memahami,
dalam wacana lockdown kota Jakarta dihadapkan pada dilema, karena Jakarta bukan
hanya urat nadi bagi perekonomian dan politik nasional, tapi kini telah menjadi
episentrum wabah korona.
“Di satu sisi, kebijakan lockdown
dikhawatirkan akan memukul rakyat kecil yang menyandarkan pendapatannya pada
kerja-kerja harian. Namun di sisi lain, jika tak dibuat kebijakan tegas
seperti lockdown, dikhawatirkan kita tak akan bisa membatasi penyebaran virus
ini ke depannya,†kata Anggota Komisi I DPR ini.
Namun, apapun pilihan kebijakan yang akan
diambil pemerintah, menurut Fadli ada satu hal yang ke depan akan sulit
disangkal dalam tiga hingga enam bulan ke depan.
Pemerintah juga seharusnya tak menunggu sampai
jatuh korban dalam jumlah yang ekstrem baru kemudian melakukan lockdown. Ekses
ekonomi, bagaimanapun jauh lebih kasat mata, sehingga lebih mudah dikontrol,
daripada ekses penyebaran virus.
“Kita yakin pandemi ini akan berakhir, dan
Insya Allah akan berakhir. Tapi berapa lama, serta berapa besar korbannya,
sangat tergantung kepada keputusan Bapak Jokowi hari ini, sebagai Presiden
Republik Indonesia,†pungkasnya.