JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada langsung kini sedang dalam proses
kajian di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Salah satu poin yang disorot
adalah banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena mahalnya ongkos
politik. Dari data Kemendagri ada sekitar 300 lebih kepala daerah yang
bermasalah secara hukum. Terutama kasus korupsi.
“Ini faktanya. Sejak ada pilkada
langsung, 300 sekian kepala daerah bermasalah secara hukum. “Hanya satu atau
dua kasus Bupati karena faktor personal. Bukan sistem yang membuat murah.
Membangun citra diri perlu ongkos. Ngumpulkan makan warga dan segala macam itu
perlu duit semua. Belum uang saksinya,†kata Kapuspen Kemendagri, Bahtiar di
Jakarta, Kamis (21/11).
Dia menyebut kepala daerah yang
maju tanpa biaya tinggi hanya sedikit. Selain biaya politik sangat besar,
pilkada langsung juga berpotensi melanggar hukum. Tidak sedikit kepala daerah
yang memberikan timbal baik pada pihak-pihak yang membantunya dalam pilkada.
“Yang menyiapkan kepala daerah itu adalah pengusaha. Dia punya kepentingan di
daerah tersebut. Ada juga gabungan pemodal,†paparnya.
Terkait pilkada asimetris yang
diusulkan oleh Mendagri Tito Karnavian, menurut Bahtiar, hal itu sudah terjadi
di DIY Yogyakarta dan DKI Jakarta. Dia pun menyoroti dana pilkada yang bisa
digunakan untuk hal bermanfaat lainnya. Saat ini, lanjutnya, kajian masih
dilakukan. Kajian tersebut dipimpin oleh Dirjen Otonomi Daerah.
Sementara itu, mantan Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan sistem pilkada merupakan
pilihan dalam politik hukum. Yang perlu digaris bawahi, apapun pilihannya harus
dipegang teguh prinsip-prinsip penegakan hukumnya. Yakni jujur, adil, tanpa
politik uang, dan tidak ada praktik koruptif.
Denny menyebut masyarakat
sepertinya masih menaruh harapan besar terhadap pilkada langsung. “Saya baca
keinginan masyarakat saat ini tetap ingin pilkada langsung. Sebab, ada
partisipasi masyarakat,†ujar Denny di Jakarta, Kamis (21/11).
Dia setuju sistem pilkada
langsung harus dibenahi. Terutama pada sisi anggaran. Tujuannya agar tidak
terlalu mahal serta meminimalkan praktik koruptif. “Yang terpenting adalah
praktik politik. Ini yang harus disikapi dengan perbaikan serius dan mendasar,â€
imbuhnya.
Sebelumnya, Mendagri Tito
Karnavian menyebutkan tengah mengkaji sejumlah opsi sebagai solusi atas
evaluasi pilkada langsung. Salah satu opsinya adalah pilkada asimetris. Yang
dimaksud Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan
mekanisme penyelenggaraan pilkada antardaerah. Perbedaan mekanisme
penyelenggaraan dimungkinkan karena suatu daerah memiliki karakteristik
tertentu. Seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya, atau aspek
strategis lainnya. Selama ini, pilkada asimetris sudah berjalan. Misalnya DKI
Jakarta, Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (rh/fin/kpc)