25.2 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Revisi UU Perkawinan Disahkan, Usia Nikah 19 Tahun

 Wajah Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise semringah. Kedua
matanya berkaca-kaca saat keluar dari ruang rapat paripurna di kompleks
parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (16/9). Dia bahagia karena DPR mengesahkan
revisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan
pengesahan tersebut, lelaki dan perempuan kini baru boleh menikah bila sudah
mencapai usia 19 tahun.

”Rasa sedih bercampur bahagia. Saya pengin menangis. Ini kado
bagi anak-anak Indonesia yang pernah dijanjikan saat peringatan Hari Anak
Nasional 23 Juli lalu di Makassar,” ucap Yohana sambil sesekali mengusap
matanya.

Menurut Yohana, meningkatkan usia perkawinan memberikan banyak
keuntungan. Mulai menurunkan angka kematian ibu dan anak, menekan angka putus
sekolah, mengurangi angka perceraian, hingga mengoptimalkan pemenuhan hak anak.
Khususnya perempuan yang memiliki risiko lebih besar.

Baca Juga :  Bapak Atletik’ Indonesia Meninggal Dunia

Kehamilan di usia muda juga sangat rentan bagi sang ibu maupun
janin. Secara fisiologi, kondisi rahim belum matang. Bentuk pinggul masih kecil
yang berpengaruh terhadap proses melahirkan. ”Makanya, risiko kematian ibu usia
muda lebih besar. Sedangkan bayi yang dilahirkan rentan mengalami stunting,”
jelas Yohana. Perempuan yang sudah menikah dan hamil biasanya juga tidak
melanjutkan sekolah.

Dari sisi ekonomi, akan muncul pekerja anak. Mereka harus
bekerja meski dengan ijazah, keterampilan, dan kemampuan yang rendah demi
menafkahi keluarga. Praktis, upah yang didapat juga sedikit. Akibatnya,
keluarga tidak sejahtera, kemudian cerai. Karena itu, Yohana menyebut dengan
tegas bahwa perkawinan anak adalah kekerasan sekaligus bentuk pelanggaran hak
anak dan hak asasi manusia.

Data Badan Pusat Statistik 2017 menunjukkan bahwa 25,2 persen
dari jumlah anak perempuan usia di bawah 18 tahun sudah menikah. ”Artinya, satu
dari empat anak perempuan menikah pada usia anak,” ucapnya.

Baca Juga :  Penjelasan PLN Soal Listrik Padam: Ini Bukan Sabotase, Murni Teknis

Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Lantas, bagaimana
jika terjadi hamil di luar nikah pada anak di bawah 18 tahun? Yohana
menerangkan, dalam revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, orang tua dari
salah satu atau dua pihak dapat mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan
agama bagi yang beragama Islam atau pengadilan negeri bagi agama lain. Dengan
alasan memang keduanya terpaksa dikawinkan.

Pengadilan agama/negeri wajib mendengarkan pendapat kedua pihak.
Juga didukung bukti-bukti yang cukup. Misalnya surat keterangan yang
membuktikan bahwa usia kedua mempelai di bawah ketentuan UU. ”Dan surat
keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa
perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan,” jelasnya.(jpg)

 

 Wajah Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise semringah. Kedua
matanya berkaca-kaca saat keluar dari ruang rapat paripurna di kompleks
parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (16/9). Dia bahagia karena DPR mengesahkan
revisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan
pengesahan tersebut, lelaki dan perempuan kini baru boleh menikah bila sudah
mencapai usia 19 tahun.

”Rasa sedih bercampur bahagia. Saya pengin menangis. Ini kado
bagi anak-anak Indonesia yang pernah dijanjikan saat peringatan Hari Anak
Nasional 23 Juli lalu di Makassar,” ucap Yohana sambil sesekali mengusap
matanya.

Menurut Yohana, meningkatkan usia perkawinan memberikan banyak
keuntungan. Mulai menurunkan angka kematian ibu dan anak, menekan angka putus
sekolah, mengurangi angka perceraian, hingga mengoptimalkan pemenuhan hak anak.
Khususnya perempuan yang memiliki risiko lebih besar.

Baca Juga :  Bapak Atletik’ Indonesia Meninggal Dunia

Kehamilan di usia muda juga sangat rentan bagi sang ibu maupun
janin. Secara fisiologi, kondisi rahim belum matang. Bentuk pinggul masih kecil
yang berpengaruh terhadap proses melahirkan. ”Makanya, risiko kematian ibu usia
muda lebih besar. Sedangkan bayi yang dilahirkan rentan mengalami stunting,”
jelas Yohana. Perempuan yang sudah menikah dan hamil biasanya juga tidak
melanjutkan sekolah.

Dari sisi ekonomi, akan muncul pekerja anak. Mereka harus
bekerja meski dengan ijazah, keterampilan, dan kemampuan yang rendah demi
menafkahi keluarga. Praktis, upah yang didapat juga sedikit. Akibatnya,
keluarga tidak sejahtera, kemudian cerai. Karena itu, Yohana menyebut dengan
tegas bahwa perkawinan anak adalah kekerasan sekaligus bentuk pelanggaran hak
anak dan hak asasi manusia.

Data Badan Pusat Statistik 2017 menunjukkan bahwa 25,2 persen
dari jumlah anak perempuan usia di bawah 18 tahun sudah menikah. ”Artinya, satu
dari empat anak perempuan menikah pada usia anak,” ucapnya.

Baca Juga :  Penjelasan PLN Soal Listrik Padam: Ini Bukan Sabotase, Murni Teknis

Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Lantas, bagaimana
jika terjadi hamil di luar nikah pada anak di bawah 18 tahun? Yohana
menerangkan, dalam revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, orang tua dari
salah satu atau dua pihak dapat mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan
agama bagi yang beragama Islam atau pengadilan negeri bagi agama lain. Dengan
alasan memang keduanya terpaksa dikawinkan.

Pengadilan agama/negeri wajib mendengarkan pendapat kedua pihak.
Juga didukung bukti-bukti yang cukup. Misalnya surat keterangan yang
membuktikan bahwa usia kedua mempelai di bawah ketentuan UU. ”Dan surat
keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa
perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan,” jelasnya.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru