26.3 C
Jakarta
Friday, September 20, 2024

Paradoks Vonis Jenderal Prasetijo dan Napoleon dengan Kades Jenuri

PROKALTENG.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang vonis
yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
terhadap Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte dalam
kasus red notice Djoko Tjandra terlalu ringan.

ICW membandingkan vonis kedua
perwira tinggi Polri itu dengan putusan kasus korupsi seorang kepala desa di
Indramayu, Jawa Barat. “Terkesan mengecilkan pemaknaan kejahatan korupsi yang
dilakukan oleh dua perwira tinggi Polri tersebut,” kata Peneliti ICW Kurnia
Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (10/3).

Dalam perkaranya, Brigjen
Prasetijo Utomo divonis hukuman 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta
subsider enam bulan kurungan karena terbukti menerima suap 100 ribu dolar AS
dari Djoko Tjandra.

Sementara Irjen Napoleon divonis
empat tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan
karena menerima suap 370.000 dolar AS dan 200.000 dolar Singapura dari Djoko
Tjandra.

Kurnia menyatakan, vonis kedua
terdakwa terkesan lebih rendah atau setara dengan hukuman Jenuri, Kepala Desa
Wanakaya pada Desember 2020 lalu.

Baca Juga :  Dari Balik Rutan, HRS Raih Gelar Doktor, Disertasinya tentang Teroris

Jenuri dinyatakan terbukti
melakukan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp168 juta dan
divonis empat tahun penjara. Padahal, nilai korupsi kedua perkara itu jauh
berbeda. “Sedangkan Prasetijo dan Napoleon, dianggap telah menerima dana Rp8,4
miliar dari Djoko Tjandra malah hanya divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan 4
tahun penjara,” kata Kurnia.

ICW beranggapan, vonis yang
pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup.
Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp1 miliar.

Alasannya, pertama, ketika
melakukan kejahatannya Prasetijo dan Napoleon mengemban tugas sebagai penegak
hukum. “Tentu, praktik suap-menyuap yang ia lakukan dengan sendirinya
meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat,” kata Kurnia.

Kedua, Prasetijo dan Napoleon
selaku penegak hukum malah bekerja sama dengan buronan. Dalam fakta persidangan
terungkap Prasetijo membantu istri Djoko Tjandra membuat surat yang ditembuskan
ke Interpol Polri dan juga bersurat ke Anna Boentaran terkait informasi red
notice Djoko Tjandra.

Baca Juga :  Kementerian dan Pemda Diminta Sinergis

“Sedangkan Napoleon sendiri
dianggap terbukti menyurati Dirjen Imigrasi agar status daftar pencarian orang
Joko Tjandra dihapus,” ucapnya.

Ketiga, tindakan tercela yang
dilakukan oleh keduanya mengakibatkan adanya hambatan dalam proses hukum untuk
menjebloskan narapidana Djoko Tjandra ke lembaga pemasyarakatan.

Di sisi lain, ICW juga
mempertanyakan landasan putusan majelis hakim yang justru menggunakan Pasal 5
ayat (2) UU Tipikor dalam persidangan keduanya.

Akibatnya, vonis terdakwa menjadi
sangat ringan karena maksimal ancaman dalam pasal itu hanya lima tahun penjara.
“Semestinya Hakim dapat menggunakan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, yang mengatur
pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup,” imbuh Kurnia.

Selain itu, ICW juga mendesak
agar Polri melakukan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Prasetijo dan
Napoleon atas kejahatan yang dilakukan keduanya.

PROKALTENG.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang vonis
yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
terhadap Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte dalam
kasus red notice Djoko Tjandra terlalu ringan.

ICW membandingkan vonis kedua
perwira tinggi Polri itu dengan putusan kasus korupsi seorang kepala desa di
Indramayu, Jawa Barat. “Terkesan mengecilkan pemaknaan kejahatan korupsi yang
dilakukan oleh dua perwira tinggi Polri tersebut,” kata Peneliti ICW Kurnia
Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (10/3).

Dalam perkaranya, Brigjen
Prasetijo Utomo divonis hukuman 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta
subsider enam bulan kurungan karena terbukti menerima suap 100 ribu dolar AS
dari Djoko Tjandra.

Sementara Irjen Napoleon divonis
empat tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan
karena menerima suap 370.000 dolar AS dan 200.000 dolar Singapura dari Djoko
Tjandra.

Kurnia menyatakan, vonis kedua
terdakwa terkesan lebih rendah atau setara dengan hukuman Jenuri, Kepala Desa
Wanakaya pada Desember 2020 lalu.

Baca Juga :  Dari Balik Rutan, HRS Raih Gelar Doktor, Disertasinya tentang Teroris

Jenuri dinyatakan terbukti
melakukan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp168 juta dan
divonis empat tahun penjara. Padahal, nilai korupsi kedua perkara itu jauh
berbeda. “Sedangkan Prasetijo dan Napoleon, dianggap telah menerima dana Rp8,4
miliar dari Djoko Tjandra malah hanya divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan 4
tahun penjara,” kata Kurnia.

ICW beranggapan, vonis yang
pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup.
Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp1 miliar.

Alasannya, pertama, ketika
melakukan kejahatannya Prasetijo dan Napoleon mengemban tugas sebagai penegak
hukum. “Tentu, praktik suap-menyuap yang ia lakukan dengan sendirinya
meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat,” kata Kurnia.

Kedua, Prasetijo dan Napoleon
selaku penegak hukum malah bekerja sama dengan buronan. Dalam fakta persidangan
terungkap Prasetijo membantu istri Djoko Tjandra membuat surat yang ditembuskan
ke Interpol Polri dan juga bersurat ke Anna Boentaran terkait informasi red
notice Djoko Tjandra.

Baca Juga :  Kementerian dan Pemda Diminta Sinergis

“Sedangkan Napoleon sendiri
dianggap terbukti menyurati Dirjen Imigrasi agar status daftar pencarian orang
Joko Tjandra dihapus,” ucapnya.

Ketiga, tindakan tercela yang
dilakukan oleh keduanya mengakibatkan adanya hambatan dalam proses hukum untuk
menjebloskan narapidana Djoko Tjandra ke lembaga pemasyarakatan.

Di sisi lain, ICW juga
mempertanyakan landasan putusan majelis hakim yang justru menggunakan Pasal 5
ayat (2) UU Tipikor dalam persidangan keduanya.

Akibatnya, vonis terdakwa menjadi
sangat ringan karena maksimal ancaman dalam pasal itu hanya lima tahun penjara.
“Semestinya Hakim dapat menggunakan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, yang mengatur
pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup,” imbuh Kurnia.

Selain itu, ICW juga mendesak
agar Polri melakukan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Prasetijo dan
Napoleon atas kejahatan yang dilakukan keduanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru