Site icon Prokalteng

Berbahaya Bagi Pers, Pasal-pasal UU ITE Ini Mendesak Direvisi

berbahaya-bagi-pers-pasal-pasal-uu-ite-ini-mendesak-direvisi

PROKALTENG.CO – Sejumlah lembaga dan organisasi pers memenuhi
undangan dari Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) yang dibentuk Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Rabu, 10 Maret
2021.

Dalam pertemuan yang dilakukan
secara daring tersebut, komunitas pers memberi masukan kepada Tim yang
dikepalai oleh Deputi 3 Kemenko Polhukam, Sigit Purnomo.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin,
yang menjadi salah satu peserta, memberikan sejumlah catatan terhadap
pasal-pasal bermasalah di UU ITE khususnya pada pasal-pasal yang berpotensi dan
menghambat kebebasan pers.

“Kebebasan pers merupakan
salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu
perlindungannya harus dituangkan dalam peraturan perundang–undangan yang
berlaku,” kata Ade dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu, 10 Maret
2021.

Catatan pertama LBH Pers, adalah
Pasal tentang penghapusan informasi elektronik (Pasal 26 ayat 3). Ade
mengatakan pasal ini berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan
Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin
hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Ketidakjelasan rumusan ‘informasi
yang tidak relevan’, kata dia, dapat digunakan untuk melanggengkan fenomena
impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
korupsi, atau kekerasan seksual.

“Sebab membuka peluang bagi
pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut,
termasuk informasi yang diproduksi media pers,” kata Ade.

Selain itu, frasa ‘penetapan
pengadilan’ juga menjadi masalah karena hal ini mencerminkan asas voluntair,
sementara imbas penghapusan menimpa minimal dua pihak sekaligus yakni pribadi
dan pengendali data yang dalam hal ini disebut Penyelenggara Sistem Elektronik
(PSE) termasuk media.

Karena itu, Ade menilai secara
substansi pasal ini bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan yang
semangatnya jauh dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Catatan kedua LBH Pers adalah
terkait Pasal pencemaran nama baik dan penghinaan (Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45
ayat 3). Ade mengatakan pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap
wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan
penghinaan.

“Karena rumusan pasal yang
luas sehingga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan
berpendapat di ruang online tidak terkecuali pada wartawan,” kata Ade.

Meskipun dalam penjelasan telah
dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, namun ia menilai dalam praktik
seringkali diabaikan. Sebab unsur ‘penghinaan’ masih terdapat di dalam pasal.

Selanjutnya, adalah Pasal tentang
ujaran kebencian (Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2). Ade menilai seharusnya
pasal dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang
propaganda kebencian.

Namun ia melihat justru pasal ini
menyasar kelompok dan individu bahkan pers yang mengkritik institusi dengan
ekspresi yang sah.

“Lebih memprihatinkan pasal
ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden. Padahal pasal terkait
penghinaan Presiden telah dihapus Mahkamah Konstitusi karena dianggap
inkonstitusional,” kata dia.

Ade mengatakan mestinya, pasal
ini untuk melindungi masyarakat dari propaganda kebencian terhadap suku, agama,
ras dan antar golongan. Namun, karena sangat lenturnya pasal ini, ia mengatakan
wartawan yang kritis bisa dianggap menyebarkan ujaran kebencian terhadap
kelompok-kelompok tertentu.

Selanjutnya adalah Pasal 36, kata
Ade, menambah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 sampai 34 UU ITE
menjadi 12 tahun jika menimbulkan kerugian. Keberadaan ketentuan ini ia nilai
berpotensi digunakan untuk memperberat ancaman pidana sehingga memenuhi unsur
untuk dilakukan penahanan.

Catatan terakhir dari LBH Pers
adalah Pasal tentang pemblokiran (Pasal 40 ayat 2b). Ia meminta kewenangan
mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas
mekanismenya sesuai dengan due process of law. Kewenangan yang besar tanpa
sistem kontrol dan pengawasan membuat kebijakan blokir internet berpotensi
sewenang-wenang.

“Berdasarkan uraian di atas,
LBH Pers dan AJI Indonesia merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk segera
melakukan revisi menyeluruh pada UU ITE, tidak sebatas penghinaan, pencemaran
nama baik dan ujaran kebencian,” kata Ade.

Mereka pun memberi tiga usulan.
Pertama, mencabut pasal 26 ayat 3 UU ITE dan dipindahkan ke dalam RUU
Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang di bahas oleh DPR. Kedua,
mencabut pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2.

“Kemudian diikuti dengan
mencabut pasal lain yang secara substansi bermasalah dan multitafsir seperti
Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan, Pasal 29 tentang menakut nakuti yang
ditujukan secara pribadi dan Pasal 36 tentang pemberatan pidana yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain,” kata Ade.

Usul ketiga mereka, adalah
merevisi pada pasal 40 ayat 2a dan 2b dengan memasukan secara jelas mekanisme
due process of law.

Dalam pertemuan soal revisi UU
ITE ini, selain Ade hadir pula Wens Manggut (Asosiasi Media Siber Indonesia),
Sasmito Madrim (Aliansi Jurnalis Independen), dan Imam Wahyudi (Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia).

Exit mobile version