28.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Guru Butuh Kebijakan Konkret Mendikbud

JAKARTA – Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Nadiem Makarim dalam peringatan Hari Guru Nasional yang naskahnya telah
tersebar beberapa hari lalu menuai banyak respons positif. Namun, dari kacamata
organisasi guru, yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan konkret. Bukan
sekadar pidato yang indah.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah
Rosyidi menyatakan, guru tidak bisa hanya dipidatokan bahwa guru adalah profesi
mulia yang sangat penting untuk mendidik anak bangsa. ”Tidak butuh seperti itu.
Yang kami butuhkan adalah kebijakan yang nyata,” tegasnya kemarin (25/11).

Kenyataannya, tidak sedikit masalah dalam sektor pendidikan di
tanah air. Misalnya, kekurangan guru. Sekitar 52 persen guru di Indonesia
adalah guru honorer. Gaji yang diterima sangat terbatas. Akibatnya, para guru
tersebut tidak sejahtera.

Unifah menyadari bahwa sebenarnya tidaklah etis membahas masalah
gaji. Namun, suka tidak suka, itu adalah bagian dari profesionalisme yang
melekat. ”Dikatakan, guru adalah yang menciptakan bibit unggul yang mengubah
masa depan. Tapi, bagaimana caranya mau menciptakan generasi unggul kalau
gurunya tidak selesai dengan dirinya sendiri? Ini harus menjadi perhatian para
pengambil keputusan,” ungkap perempuan 57 tahun tersebut.

Unifah menyatakan, pidato Nadiem berisi langkah-langkah yang
sudah diperjuangkan PGRI selama ini. Mulai penyederhanaan birokrasi,
kemerdekaan profesi guru, serta pembelajaran siswa. ”Kami ada program seperti
school-based management yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk
mengembangkan dirinya,” katanya.

Baca Juga :  Gempa Magnitudo 7,7 Guncang Maluku

Artinya, Mendikbud sebenarnya berada dalam satu frekuensi dengan
PGRI. Namun, semua itu membutuhkan aksi. Mendikbud harus turun langsung.
Misalnya, harus tegas memotong alur birokrasi yang sekiranya lamban. ”Regulasi
yang tidak mendukung ruang gerak kreasi guru harus segera di-cut (dipangkas),”
tegas Unifah.

Sementara itu, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
Heru Purnomo menyoroti kemerdekaan belajar yang disampaikan Nadiem serta
permintaan perubahan yang dimulai dari guru. Menurut dia, perubahan dari bawah,
khususnya dari kalangan guru, memang bagus. Namun, praktiknya sulit diwujudkan.
Dalam beberapa urusan teknis, guru tidak merdeka. ”Misalnya, dalam menyusun RPP
(rencana proses pembelajaran, Red),” katanya.

Heru yang juga kepala SMPN 52 Jakarta menyatakan pernah
memeriksa RPP guru yang ternyata sangat tebal. Itu belum termasuk tugas
administrasi seperti pengisian rapor atau evaluasi dan sejenisnya. Menurut dia,
guru tidak bisa merdeka atau leluasa dalam urusan-urusan teknis seperti itu.

Misalnya, guru membuat RPP sesuai dengan keinginannya. Kemudian,
saat diperiksa kepala sekolah, model tersebut dinilai tidak cocok dengan
panduan yang sudah ditetapkan. Belum lagi ketika nanti diperiksa pengawas
sekolah atau Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).

Heru menegaskan, banyak urusan teknis yang membutuhkan komando
dari pusat. Mendikbud sebagai regulator harus membuat regulasi teknis yang bisa
memerdekakan guru. Seruan supaya guru bisa memulai perubahan tidak bisa
berjalan tanpa dilandasi regulasi atau petunjuk teknis.

Baca Juga :  Pikul Tugas Berat, Kesehatan Calon Menteri Perlu Diperiksa

”Kembali pada tadi, tidak mungkin guru melakukan perubahan untuk
guru. Sebab, guru melakukan perubahan terkait administrasi,” jelasnya.

Intinya, Heru meminta Nadiem membuat regulasi atau payung hukum
supaya guru bisa berubah. Tanpa payung hukum tersebut, guru tetap akan berjalan
sesuai dengan prosedur selama ini.

Sementara itu, pada upacara Hari Guru Nasional di Kemendikbud
kemarin, Nadiem menyampaikan pidatonya dalam sebuah film pendek yang ditayangkan
pada videotron besar. Isinya persis dengan naskah yang sudah di-share ke
mana-mana itu. Para peserta upacara dan guru yang hadir bersorak dan menyambut
dengan tepuk tangan.

Setelah upacara, Nadiem mengungkapkan, reformasi pendidikan
tanpa pergerakan guru tidak akan berarti. Karena itu, dia menyebutkan, guru
adalah profesi yang mulia sekaligus tersulit. Menteri termuda Kabinet Indonesia
Maju tersebut juga menyerukan kemerdekaan belajar.

”Apa itu artinya merdeka belajar? Unit pendidikan, yaitu
sekolah, guru, dan murid, punya kebebasan. Kebebasan untuk berinovasi.
Kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Itu mungkin yang akan kita
terus bantu,” jelas Nadiem.

Namun, saat ditanya soal rencana kebijakan dan program konkret
dari pidato tersebut, mantan bos Gojek itu tidak menjawab detail. ”Macam-macam.
Dari pidato saya kan bisa dilihat garis besarnya. Detailnya masih kami sisir
dengan tim Dirjen, stafsus, eselon I. Peraturan apa yang bisa disederhanakan,”
ujarnya. (han/wan/far/c5/fal)

 

JAKARTA – Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Nadiem Makarim dalam peringatan Hari Guru Nasional yang naskahnya telah
tersebar beberapa hari lalu menuai banyak respons positif. Namun, dari kacamata
organisasi guru, yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan konkret. Bukan
sekadar pidato yang indah.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah
Rosyidi menyatakan, guru tidak bisa hanya dipidatokan bahwa guru adalah profesi
mulia yang sangat penting untuk mendidik anak bangsa. ”Tidak butuh seperti itu.
Yang kami butuhkan adalah kebijakan yang nyata,” tegasnya kemarin (25/11).

Kenyataannya, tidak sedikit masalah dalam sektor pendidikan di
tanah air. Misalnya, kekurangan guru. Sekitar 52 persen guru di Indonesia
adalah guru honorer. Gaji yang diterima sangat terbatas. Akibatnya, para guru
tersebut tidak sejahtera.

Unifah menyadari bahwa sebenarnya tidaklah etis membahas masalah
gaji. Namun, suka tidak suka, itu adalah bagian dari profesionalisme yang
melekat. ”Dikatakan, guru adalah yang menciptakan bibit unggul yang mengubah
masa depan. Tapi, bagaimana caranya mau menciptakan generasi unggul kalau
gurunya tidak selesai dengan dirinya sendiri? Ini harus menjadi perhatian para
pengambil keputusan,” ungkap perempuan 57 tahun tersebut.

Unifah menyatakan, pidato Nadiem berisi langkah-langkah yang
sudah diperjuangkan PGRI selama ini. Mulai penyederhanaan birokrasi,
kemerdekaan profesi guru, serta pembelajaran siswa. ”Kami ada program seperti
school-based management yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk
mengembangkan dirinya,” katanya.

Baca Juga :  Gempa Magnitudo 7,7 Guncang Maluku

Artinya, Mendikbud sebenarnya berada dalam satu frekuensi dengan
PGRI. Namun, semua itu membutuhkan aksi. Mendikbud harus turun langsung.
Misalnya, harus tegas memotong alur birokrasi yang sekiranya lamban. ”Regulasi
yang tidak mendukung ruang gerak kreasi guru harus segera di-cut (dipangkas),”
tegas Unifah.

Sementara itu, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
Heru Purnomo menyoroti kemerdekaan belajar yang disampaikan Nadiem serta
permintaan perubahan yang dimulai dari guru. Menurut dia, perubahan dari bawah,
khususnya dari kalangan guru, memang bagus. Namun, praktiknya sulit diwujudkan.
Dalam beberapa urusan teknis, guru tidak merdeka. ”Misalnya, dalam menyusun RPP
(rencana proses pembelajaran, Red),” katanya.

Heru yang juga kepala SMPN 52 Jakarta menyatakan pernah
memeriksa RPP guru yang ternyata sangat tebal. Itu belum termasuk tugas
administrasi seperti pengisian rapor atau evaluasi dan sejenisnya. Menurut dia,
guru tidak bisa merdeka atau leluasa dalam urusan-urusan teknis seperti itu.

Misalnya, guru membuat RPP sesuai dengan keinginannya. Kemudian,
saat diperiksa kepala sekolah, model tersebut dinilai tidak cocok dengan
panduan yang sudah ditetapkan. Belum lagi ketika nanti diperiksa pengawas
sekolah atau Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).

Heru menegaskan, banyak urusan teknis yang membutuhkan komando
dari pusat. Mendikbud sebagai regulator harus membuat regulasi teknis yang bisa
memerdekakan guru. Seruan supaya guru bisa memulai perubahan tidak bisa
berjalan tanpa dilandasi regulasi atau petunjuk teknis.

Baca Juga :  Pikul Tugas Berat, Kesehatan Calon Menteri Perlu Diperiksa

”Kembali pada tadi, tidak mungkin guru melakukan perubahan untuk
guru. Sebab, guru melakukan perubahan terkait administrasi,” jelasnya.

Intinya, Heru meminta Nadiem membuat regulasi atau payung hukum
supaya guru bisa berubah. Tanpa payung hukum tersebut, guru tetap akan berjalan
sesuai dengan prosedur selama ini.

Sementara itu, pada upacara Hari Guru Nasional di Kemendikbud
kemarin, Nadiem menyampaikan pidatonya dalam sebuah film pendek yang ditayangkan
pada videotron besar. Isinya persis dengan naskah yang sudah di-share ke
mana-mana itu. Para peserta upacara dan guru yang hadir bersorak dan menyambut
dengan tepuk tangan.

Setelah upacara, Nadiem mengungkapkan, reformasi pendidikan
tanpa pergerakan guru tidak akan berarti. Karena itu, dia menyebutkan, guru
adalah profesi yang mulia sekaligus tersulit. Menteri termuda Kabinet Indonesia
Maju tersebut juga menyerukan kemerdekaan belajar.

”Apa itu artinya merdeka belajar? Unit pendidikan, yaitu
sekolah, guru, dan murid, punya kebebasan. Kebebasan untuk berinovasi.
Kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Itu mungkin yang akan kita
terus bantu,” jelas Nadiem.

Namun, saat ditanya soal rencana kebijakan dan program konkret
dari pidato tersebut, mantan bos Gojek itu tidak menjawab detail. ”Macam-macam.
Dari pidato saya kan bisa dilihat garis besarnya. Detailnya masih kami sisir
dengan tim Dirjen, stafsus, eselon I. Peraturan apa yang bisa disederhanakan,”
ujarnya. (han/wan/far/c5/fal)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru