32.8 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Nasib Eliezer di Polri Ditentukan Regulasi Ini

PROKALTENG.CO – Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E kini berstatus terpidana setelah mendapat vonis ringan dari majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Akan tetapi nasibnya di kesatuan Polri hingga masih aktif, karena belum menjalani sidang kode etik profesi Polri (KEPP). Lantas bagaimana nasib tamtama Brimob ini selanjutnya?

Pengamat Kepolisian dari Institute Strategic for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menuturkan, ketentuan untuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) anggota Polri diatur dalam dua regulasi. Yakni Perkap Nomor 14 tahun 2011 sebagaimana direvisi menjadi Perkap Nomor 7 Tahun 2022 dan PP 1/2003 tentang pemberhentian personel Polri.

Di Perkap Nomor 14 tahun 2011 sebagaimana direvisi menjadi Perkap Nomor 7 Tahun 2022 menyebut, sanksi PTDH bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana 5 tahun penjara dan divonis 3 tahun hingga berketatapan hukum atau inkracht.

“Perkap tersebut bertolak belakang dengan PP 1/2003 tentang pemberhentian personel Polri yang hanya menyebut sanksi PTDH berlaku pada personel yang divonis pidana, tanpa batasan waktu,” kata Bambang kepada JawaPos.com, Kamis (16/2).

Baca Juga :  Bintang Wanita

Nah, nasib Bharada E tergantung majelis kode etik menggunakan sandaran hukum yang mana. Menurut Bambang, secara perundang-undangan, maka peraturan pemerintah (PP) berkedudukan lebih tinggi dibanding Perkap.

“Di sisi lain, bila tidak dilakukan PTDH, artinya Polri sebagai organisasi penegak hukum akan dianggap permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya,” kata Bambang.

“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” imbuhnya.

Bambang menilai perintah atasan yang melanggar hukum tentu harus diabaikan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan. Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan pada anggota Brimob sekalipun.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E. Dia dianggap bersalah menjadi eksekutor pembunuhan kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo.

Baca Juga :  Labirin Polkam

“Menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2).

Perbuatan Richard dianggap secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapul hal-hal yang meringankan adalah status justice collaborator (JC) Richard yang membantu pengungkapan kasus terdakwa bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihikum, masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki kelak dikemudian hari, menyesali perbuatannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah memaafkan perbuatan terdakwa.

Sedangkan hal yang memberatkan yakni hubungan akrab antara Richard dan Yosua tidak dihargai oleh terdakwa sehingga terjadi pembunuhan.

PROKALTENG.CO – Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E kini berstatus terpidana setelah mendapat vonis ringan dari majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Akan tetapi nasibnya di kesatuan Polri hingga masih aktif, karena belum menjalani sidang kode etik profesi Polri (KEPP). Lantas bagaimana nasib tamtama Brimob ini selanjutnya?

Pengamat Kepolisian dari Institute Strategic for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menuturkan, ketentuan untuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) anggota Polri diatur dalam dua regulasi. Yakni Perkap Nomor 14 tahun 2011 sebagaimana direvisi menjadi Perkap Nomor 7 Tahun 2022 dan PP 1/2003 tentang pemberhentian personel Polri.

Di Perkap Nomor 14 tahun 2011 sebagaimana direvisi menjadi Perkap Nomor 7 Tahun 2022 menyebut, sanksi PTDH bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana 5 tahun penjara dan divonis 3 tahun hingga berketatapan hukum atau inkracht.

“Perkap tersebut bertolak belakang dengan PP 1/2003 tentang pemberhentian personel Polri yang hanya menyebut sanksi PTDH berlaku pada personel yang divonis pidana, tanpa batasan waktu,” kata Bambang kepada JawaPos.com, Kamis (16/2).

Baca Juga :  Bintang Wanita

Nah, nasib Bharada E tergantung majelis kode etik menggunakan sandaran hukum yang mana. Menurut Bambang, secara perundang-undangan, maka peraturan pemerintah (PP) berkedudukan lebih tinggi dibanding Perkap.

“Di sisi lain, bila tidak dilakukan PTDH, artinya Polri sebagai organisasi penegak hukum akan dianggap permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya,” kata Bambang.

“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” imbuhnya.

Bambang menilai perintah atasan yang melanggar hukum tentu harus diabaikan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan. Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan pada anggota Brimob sekalipun.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E. Dia dianggap bersalah menjadi eksekutor pembunuhan kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo.

Baca Juga :  Labirin Polkam

“Menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2).

Perbuatan Richard dianggap secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapul hal-hal yang meringankan adalah status justice collaborator (JC) Richard yang membantu pengungkapan kasus terdakwa bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihikum, masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki kelak dikemudian hari, menyesali perbuatannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah memaafkan perbuatan terdakwa.

Sedangkan hal yang memberatkan yakni hubungan akrab antara Richard dan Yosua tidak dihargai oleh terdakwa sehingga terjadi pembunuhan.

Terpopuler

Artikel Terbaru