26.2 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Kala Titik Menyebarkan Rasa, Raga, dan Irama Tari Indonesia di Beijing

PROKALTENG.CO – Guru besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang juga koreografer terkemuka Indonesia Sardono W. Kusumo disebut sebagai salah seorang yang membumikan tari tradisi Indoesia. Ia mampu  memodernisasi tari tradisi dengan menarik esensi raga, irama, dan rasa tari kemudian memperkenalkannya ke dunia internasional melalui pendekatan kontemporer.

Fungsi primer tari pun menjadi santapan rohani yang bernutrisi karena penari menyajikan jiwa, pikir, dan rasa yang dilatih dan diasah secara seimbang.

Raga, irama, dan rasa tari yang diasah itu juga coba diajarkan oleh Titik Parmuji (41) sebagai dosen tari Indonesia di Central Conservatory of Music (Sekolah Konservatorium Musik Pusat atau CCOM) Beijing.

Titik adalah istri dari Risnandar, dosen gamelan di kampus yang sama. Bila suaminya mengajar sejak 2015, Titik baru mulai mengajar pada 2016, saat kampus membuka kelas Tari Indonesia.

Risnandar pun mengusulkan istrinya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI Surakarta) Jurusan Tari, untuk ikut mengajar di Beijing. Sebelumnya Titik adalah pengajar di SMP Warga Surakarta selama sekitar 5 tahun.

Titik mengajarkan berbagai tari tradisi di CCOM, seperti tari manuk dadali dari Jawa Barat; tari indang dari Padang Pariaman, Sumatera Barat; tari ratoh haroe dari Aceh; tarian goyang semarangan dari Jawa; hingga goyang gemu fa mi re dari Nusa Tenggara Timur, dan lainnya.

Kelas tari Indonesia juga punya sistem yang sama dengan kelas gamelan yaitu setiap semesternya dibagi menjadi tiga: kelas pemula untuk jenjang sarjana, kelas pemula untuk jenjang master dan doktoral, dan kelas senior untuk jenjang sarjana, master, dan doktoral. Setiap kelas maksimal menerima 20 siswa.

Setiap kelas dalam satu semester mendapat dua materi tari yang berbeda. Tari-tarian tersebut dipecah ke beberapa gerakan yang kemudian dipelajari dalam pertemuan-pertemuan di kelas.

Raga, irama, rasa

Untuk mengajarkan tari, Titik mengaku tidak perlu terlalu “mahir” berbahasa Mandarin seperti suaminya, Risnandar.

“Karena di kelas saya menggunakan bahasa yang sederhana saja, ketukan dari ‘yi, er, san, si, wu, liu, qi, ba‘ (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8), kemudian ‘zuo‘ (ke kiri), ‘you‘ (ke kanan), ‘ta‘ (besar), ‘shao‘ (kecil), jadi lebih menggunakan bahasa tubuh,” kata Titik dilansir dari ANTARA, Rabu (31/7).

Baca Juga :  Indeks Ketimpangan Gender Indonesia 2023 Turun

Tantangan yang dihadapi Titik saat mengajar murid-muridnya juga terkait dengan budaya baru. Banyak gerakan yang sama sekali belum pernah dilihat apalagi dipelajari sehingga ia harus dapat menemukan cara agar para mahasiswanya senang dan mau untuk belajar tari, yang tentunya membutuhkan waktu dan proses.

Cara tersebut diterapkan agar murid-muridnya tidak tertekan, tidak mudah lelah, hingga akhirnya suka dengan materi tari yang diberikan.

Formula tersebut dibutuhkan karena sebagian besar muridnya bukanlah penari, melainkan mahasiswi jurusan musik yang mengambil mata kuliah pilihan tari.

Tari favorit para muridnya, menurut Titik, adalah tari manuk dadali yang tergolong “mudah”, sedangkan tari yang cukup sulit adalah goyang semarangan dari Jawa yang harus dibawakan dengan musik bertempo lambat dan gerakan yang cukup rumit.

Titik pun harus pandai-pantai untuk memilih tarian dan juga musik pengiring dengan latar belakang murid-muridnya, yang sebagian besar adalah perempuan, dan bukan penari.

“Tujuan saya mengajarkan itu bukan untuk menjadikan mereka seorang penari tari tradisi Indonesia, melainkan agar mereka mengenal dan akhirnya suka dengan tari Indonesia. Jadi, gerakan pun tidak perlu sedetail di Indonesia, namun saya ingin membangun jiwa tari Indonesia dalam diri mereka,” ungkap Titik.

Para muridnya sering menanyakan kenapa posisi tangan dan kaki mereka saat menari harus dalam posisi tertentu, mengapa pula ekspresi wajah juga harus disesuaikan?

Titik kemudian menjelaskan maksud dari gerakan dan ekspresi mereka menunjukkan suatu nilai dan cerita tertentu.

Posisi ngithing dalam tari yaitu posisi tangan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat ke atas dengan masing-masing membentuk setengah lingkaran menunjukkan karma dan menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa. Itulah kenapa orang Jawa, misalnya, takut mencuri karena akan mendatangkan karma tidak baik kepada dirinya sendiri.

Dengan menceritakan nilai-nilai di balik gerakan-gerakan tari, para murid Titik, adi makin tertarik untuk belajar tari tradisi.

Titik juga menceritakan soal tari bedhaya yang merupakan suatu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja.

Baca Juga :  Hujan Deras Disertai Angin Kencang di Palangka Raya Tumbangkan Pohon B

Hal yang menarik, bagi para muridnya berpikir bahwa para penari identik dengan mereka yang berusia muda dengan tubuh proporsional, namun ternyata di Jawa, masih banyak penari yang berusia lanjut bahkan sepuh tetap aktif menari karena kecintaan terhadap tari.

Karena itulah meski hanya bertemu 90 menit setiap pekan di kelas, dengan cerita yang disampaikan soal tarian itu, para muridnya mulai memiliki kesadaran dan kecintaan mengenai tari tradisi Indonesia. Tak ketinggalan setiap akhir kelas mereka harus mengambil video gerakan akhir tarian sebagai persiapan untuk kelas pekan depan.

Pementasan

Setelah belajar tari di kelas, hal yang paling ditunggu adalah pementasan yang rutin dilakukan menjelang kelulusan.
Di CCOM juga memiliki perpustakaan kostum tari sehingga ia pun pernah mementaskan 120 murid bersama-sama dalam satu pementasan untuk ujian akhir dan semua menggunakan kostum tari meski dengan modifikasi.

Bijin Zhan (36), asisten Risnandar dalam Kelas Gamelan, juga sempat belajar tari tradisional Indonesia.

Saat pertama belajar tari Indonesia yang ia kagumi bukanlah tekninya, melainkan ekspresi emosi penari, termasuk kebingungannya saat melihat penari Jawa yang berusia lanjut dan punya bentuk tubuh yang tak proporsional tapi tetap menyuguhkan tarian memesona.

“Ternyata hal itu memberikan pemikiran baru untuk saya, budaya yang baru,” ungkap Bijin.

Titik pun berharap tari Indonesia dapat menyebar luas di China, namun bukan hanya sebagai salah satu bentuk pertunjukan, melainkan juga nilai-nilai yang terkandung dan membentuk karakter sang penari itu sendiri. Misalnya, sebagai penari tari Jawa maka karakter yang ditunjukkan adalah lemah lembut.

Selain menjadi dosen, bersama dengan suaminya, Risnandar, Titik juga kerap mengisi berbagai pementasan seni Indonesia di China, baik yang diadakan oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) Beijing maupun lembaga lain seperti perwakilan Bank Indonesia di Beijing, pada September 2023 lalu maupun pementasan rutin kampus.

“Intinya adalah menunjukkan roso (rasa), rogo   (raga), dan romo (irama), dengan itu bisa menyebarkan nilai baru mengenai tari tradisi itu sendiri,” tutur Titik. (ANTARA)

PROKALTENG.CO – Guru besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang juga koreografer terkemuka Indonesia Sardono W. Kusumo disebut sebagai salah seorang yang membumikan tari tradisi Indoesia. Ia mampu  memodernisasi tari tradisi dengan menarik esensi raga, irama, dan rasa tari kemudian memperkenalkannya ke dunia internasional melalui pendekatan kontemporer.

Fungsi primer tari pun menjadi santapan rohani yang bernutrisi karena penari menyajikan jiwa, pikir, dan rasa yang dilatih dan diasah secara seimbang.

Raga, irama, dan rasa tari yang diasah itu juga coba diajarkan oleh Titik Parmuji (41) sebagai dosen tari Indonesia di Central Conservatory of Music (Sekolah Konservatorium Musik Pusat atau CCOM) Beijing.

Titik adalah istri dari Risnandar, dosen gamelan di kampus yang sama. Bila suaminya mengajar sejak 2015, Titik baru mulai mengajar pada 2016, saat kampus membuka kelas Tari Indonesia.

Risnandar pun mengusulkan istrinya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI Surakarta) Jurusan Tari, untuk ikut mengajar di Beijing. Sebelumnya Titik adalah pengajar di SMP Warga Surakarta selama sekitar 5 tahun.

Titik mengajarkan berbagai tari tradisi di CCOM, seperti tari manuk dadali dari Jawa Barat; tari indang dari Padang Pariaman, Sumatera Barat; tari ratoh haroe dari Aceh; tarian goyang semarangan dari Jawa; hingga goyang gemu fa mi re dari Nusa Tenggara Timur, dan lainnya.

Kelas tari Indonesia juga punya sistem yang sama dengan kelas gamelan yaitu setiap semesternya dibagi menjadi tiga: kelas pemula untuk jenjang sarjana, kelas pemula untuk jenjang master dan doktoral, dan kelas senior untuk jenjang sarjana, master, dan doktoral. Setiap kelas maksimal menerima 20 siswa.

Setiap kelas dalam satu semester mendapat dua materi tari yang berbeda. Tari-tarian tersebut dipecah ke beberapa gerakan yang kemudian dipelajari dalam pertemuan-pertemuan di kelas.

Raga, irama, rasa

Untuk mengajarkan tari, Titik mengaku tidak perlu terlalu “mahir” berbahasa Mandarin seperti suaminya, Risnandar.

“Karena di kelas saya menggunakan bahasa yang sederhana saja, ketukan dari ‘yi, er, san, si, wu, liu, qi, ba‘ (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8), kemudian ‘zuo‘ (ke kiri), ‘you‘ (ke kanan), ‘ta‘ (besar), ‘shao‘ (kecil), jadi lebih menggunakan bahasa tubuh,” kata Titik dilansir dari ANTARA, Rabu (31/7).

Baca Juga :  Indeks Ketimpangan Gender Indonesia 2023 Turun

Tantangan yang dihadapi Titik saat mengajar murid-muridnya juga terkait dengan budaya baru. Banyak gerakan yang sama sekali belum pernah dilihat apalagi dipelajari sehingga ia harus dapat menemukan cara agar para mahasiswanya senang dan mau untuk belajar tari, yang tentunya membutuhkan waktu dan proses.

Cara tersebut diterapkan agar murid-muridnya tidak tertekan, tidak mudah lelah, hingga akhirnya suka dengan materi tari yang diberikan.

Formula tersebut dibutuhkan karena sebagian besar muridnya bukanlah penari, melainkan mahasiswi jurusan musik yang mengambil mata kuliah pilihan tari.

Tari favorit para muridnya, menurut Titik, adalah tari manuk dadali yang tergolong “mudah”, sedangkan tari yang cukup sulit adalah goyang semarangan dari Jawa yang harus dibawakan dengan musik bertempo lambat dan gerakan yang cukup rumit.

Titik pun harus pandai-pantai untuk memilih tarian dan juga musik pengiring dengan latar belakang murid-muridnya, yang sebagian besar adalah perempuan, dan bukan penari.

“Tujuan saya mengajarkan itu bukan untuk menjadikan mereka seorang penari tari tradisi Indonesia, melainkan agar mereka mengenal dan akhirnya suka dengan tari Indonesia. Jadi, gerakan pun tidak perlu sedetail di Indonesia, namun saya ingin membangun jiwa tari Indonesia dalam diri mereka,” ungkap Titik.

Para muridnya sering menanyakan kenapa posisi tangan dan kaki mereka saat menari harus dalam posisi tertentu, mengapa pula ekspresi wajah juga harus disesuaikan?

Titik kemudian menjelaskan maksud dari gerakan dan ekspresi mereka menunjukkan suatu nilai dan cerita tertentu.

Posisi ngithing dalam tari yaitu posisi tangan mempertemukan ujung jari tengah ibu jari membentuk lingkaran, sedangkan jari-jari lainnya agak diangkat ke atas dengan masing-masing membentuk setengah lingkaran menunjukkan karma dan menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa. Itulah kenapa orang Jawa, misalnya, takut mencuri karena akan mendatangkan karma tidak baik kepada dirinya sendiri.

Dengan menceritakan nilai-nilai di balik gerakan-gerakan tari, para murid Titik, adi makin tertarik untuk belajar tari tradisi.

Titik juga menceritakan soal tari bedhaya yang merupakan suatu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja.

Baca Juga :  Hujan Deras Disertai Angin Kencang di Palangka Raya Tumbangkan Pohon B

Hal yang menarik, bagi para muridnya berpikir bahwa para penari identik dengan mereka yang berusia muda dengan tubuh proporsional, namun ternyata di Jawa, masih banyak penari yang berusia lanjut bahkan sepuh tetap aktif menari karena kecintaan terhadap tari.

Karena itulah meski hanya bertemu 90 menit setiap pekan di kelas, dengan cerita yang disampaikan soal tarian itu, para muridnya mulai memiliki kesadaran dan kecintaan mengenai tari tradisi Indonesia. Tak ketinggalan setiap akhir kelas mereka harus mengambil video gerakan akhir tarian sebagai persiapan untuk kelas pekan depan.

Pementasan

Setelah belajar tari di kelas, hal yang paling ditunggu adalah pementasan yang rutin dilakukan menjelang kelulusan.
Di CCOM juga memiliki perpustakaan kostum tari sehingga ia pun pernah mementaskan 120 murid bersama-sama dalam satu pementasan untuk ujian akhir dan semua menggunakan kostum tari meski dengan modifikasi.

Bijin Zhan (36), asisten Risnandar dalam Kelas Gamelan, juga sempat belajar tari tradisional Indonesia.

Saat pertama belajar tari Indonesia yang ia kagumi bukanlah tekninya, melainkan ekspresi emosi penari, termasuk kebingungannya saat melihat penari Jawa yang berusia lanjut dan punya bentuk tubuh yang tak proporsional tapi tetap menyuguhkan tarian memesona.

“Ternyata hal itu memberikan pemikiran baru untuk saya, budaya yang baru,” ungkap Bijin.

Titik pun berharap tari Indonesia dapat menyebar luas di China, namun bukan hanya sebagai salah satu bentuk pertunjukan, melainkan juga nilai-nilai yang terkandung dan membentuk karakter sang penari itu sendiri. Misalnya, sebagai penari tari Jawa maka karakter yang ditunjukkan adalah lemah lembut.

Selain menjadi dosen, bersama dengan suaminya, Risnandar, Titik juga kerap mengisi berbagai pementasan seni Indonesia di China, baik yang diadakan oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) Beijing maupun lembaga lain seperti perwakilan Bank Indonesia di Beijing, pada September 2023 lalu maupun pementasan rutin kampus.

“Intinya adalah menunjukkan roso (rasa), rogo   (raga), dan romo (irama), dengan itu bisa menyebarkan nilai baru mengenai tari tradisi itu sendiri,” tutur Titik. (ANTARA)

Terpopuler

Artikel Terbaru