27.6 C
Jakarta
Monday, April 21, 2025

Partisipasi Pilkada dan Media Penyiaran

KENDATI masa pandemi belum berakhir dan bahkan cenderung meningkat,
bukan berarti pilkada tidak bisa dilaksanakan. Sebab, bila mengandalkan
berakhirnya pandemi, kelanjutan pilkada berada pada jurang ketidakpastian.

Begitulah bunyi pesan yang bisa
diterima publik bahwa satu-satunya kepastian yang bisa dilakukan sekarang ialah
tetap melaksanakan pilkada tanpa mengabaikan rambu-rambu yang bisa
mengakibatkan makin bertambah buruknya persebaran Covid-19. Maka, penerapan
protokol kesehatan adalah penanda penting yang tidak boleh dilanggar pada
pilkada 2020.

Sosialisasi dan kampanye dimaknai
sebagai pemberian informasi mengenai penyelenggaraan pilkada, pendidikan bagi
pemilih, serta menjadi ruang bagi para kontestan untuk memperkenalkan diri.
Berupa gagasan serta kelebihan lain yang bertujuan untuk meyakinkan pemilih dan
diyakini memiliki kontribusi besar terhadap tingkat partisipasi pemilih. Di
masa normal partisipasi pemilih masih dianggap belum cukup maksimal. Lantas
bagaimana di masa new normal yang mengharuskan adanya pembatasan sosial?

Jika melihat medium penyampaian
informasi yang digunakan sebagaimana pemilihan sebelum pandemi, kita patut
merasa khawatir akan kemungkinan partisipasi pemilih itu meningkat atau justru
malah kian menyusut. Oleh karena itu, mesti didukung melalui sarana lain,
seperti memaksimalkan media penyiaran televisi dan radio, baik yang berskala
lokal maupun berjejaring, sebagai sarana paling efektif dan aman untuk
melakukan sosialisasi dan kampanye bagi pemerintah daerah, penyelenggara,
ataupun peserta pilkada.

Mempertimbangkan Media Penyiaran

Jika dibandingkan dengan platform
media baru (media sosial), media penyiaran memiliki tingkat keamanan dan
efektivitas yang lebih baik. Dari sisi keamanan, ia tidak mengandalkan proses
interaksi secara fisik dari orang ke orang secara masal, tapi sanggup diakses
semua orang.

Begitu juga halnya dengan
penyelenggaraan siarannya, diatur melalui UU dan P3SPS yang membuat siaran
makin bermutu dan aman. Sedangkan dari sisi efektivitas, TV dan radio telah
banyak dimiliki, bahkan dalam bentuk akses digitalnya, sehingga membuat
informasi kian mudah diterima.

Dari data kepemirsaan yang ada,
kecenderungan untuk mengakses televisi dan radio selama masa pandemi ini makin
meningkat dibanding masa sebelum pandemi. Artinya, pembatasan sosial memiliki
dampak terhadap perubahan kecenderungan masyarakat untuk lebih intensif
menggunakan media penyiaran melebihi waktu sebelumnya.

Baca Juga :  Tomy Diran Siap Perjuangkan Infrastruktur dan Pertanian Melalui DPRD K

Sebenarnya itu merupakan potensi
besar yang bisa digunakan untuk sosialisasi dan kampanye pilkada di masa new
normal ketimbang masih mengandalkan model konvensional yang secara faktual
berisiko.

Ada empat keuntungan jika menjadikan
media penyiaran sebagai medium utama pilkada di masa pandemi. Pertama,
informasi bisa diterima dengan cepat dan tepat, yang berbeda dengan model
konvensional. Kedua, informasi bisa diterima secara utuh, berimbang, dan adil
oleh seluruh masyarakat. Sehingga bisa menutup ruang bagi terjadinya black
campaign yang lazim terjadi pada proses kampanye secara konvensional ataupun
melalui platform media sosial.

Ketiga, daya jangkau dan
kepemirsaan yang luas sehingga memudahkan penyelenggara dan peserta pilkada
menyampaikan informasi dan gagasan. Keempat, media penyiaran selalu diawasi
dengan intensitas waktu 24 jam/harinya secara menyeluruh, integral, masif, dan
secara langsung mengikutsertakan masyarakat di dalamnya.

Jika ditarik garis lurus,
sejumlah poin itu bisa mendorong angka partisipasi masyarakat dan pembentukan
pemilih rasional berkat kualitas informasi yang ditayangkan secara adil dan
berimbang oleh media penyiaran.

Jika merujuk sejumlah peraturan
yang ada saat ini, ketentuan mengenai kampanye dan sosialisasi masih terbilang
belum bisa beradaptasi terhadap pandemi, baru sebatas untuk memperhatikan
protokol kesehatan. Selebihnya masih menggunakan model lama, termasuk hal yang
berkaitan dengan media penyiaran.

Misalnya, debat publik masih
diberi porsi tiga kali, juga dengan penayangan iklan kampanye hanya dibatasi 10
kali selama 14 hari dan difasilitasi penyelenggara pilkada melalui APBD. Jika
kerangka pikir new normal digunakan, hal tersebut sangat jauh panggang dari
api. Maka, yang paling mungkin untuk proses adaptasi ini adalah memaksimalkan
media mainstream (TV-radio) sebagai sarana pendorong partisipasi publik.

Perspektif Regulasi Kampanye

Kata kunci partisipasi secara
sederhana digambarkan melalui usaha pengikutsertaan masyarakat atau secara konseptual
digambarkan Saiful Mujani (2011) sebagai segala aktivitas yang dilakukan
individu warga negara agar bisa memengaruhi pilihan orang untuk posisi
pemerintahan/untuk memengaruhi tindakan mereka.

Baca Juga :  HM Ruslan Pastikan Kader Muda Golkar Dampingi Sugianto Sabran di Pilgu

Perspektif itu meniscayakan
adanya timbal balik berupa tindakan melalui interaksi yang selama masa pandemi
ini dibatasi. Namun, kemampuan media penyiaran bisa meretas batasan tersebut
andai bisa diberi porsi yang lebih maksimal.

Di antara sarana yang bisa
digunakan untuk sosialisasi dan kampanye melalui media penyiaran adalah melalui
program talk show, iklan kampanye, debat kandidat secara terbuka, pemberitaan,
dan tidak tertutup kemungkinan sejumlah program lainnya. Namun, hal tersebut
membutuhkan penegasan dalam bentuk regulasi baru yang bisa dijadikan dasar untuk
mengikat setiap aktivitas yang akan dilakukan.

Maka, menurut hemat saya, ada
tiga hal yang bisa mendukung regulasi baru.

Pertama, iklan kampanye berdasar
pasal 65 UU Nomor 10 Tahun 2016 difasilitasi penyelenggara melalui APBD
tampaknya perlu diperbaiki dengan memberikan ruang bagi peserta pemilihan untuk
beriklan secara mandiri yang disertai pengaturan dan pembatasan jumlah iklan
yang ditayangkan.

Kedua, masa kampanye di lembaga
penyiaran sangat terbatas (14 hari) sehingga perlu ditinjau ulang agar bisa
dilaksanakan selama masa kampanye.

Ketiga, debat yang difasilitasi
KPUD hanya maksimal tiga kali. Perlu diberikan penambahan frekuensi debat yang
diselenggarakan TV/radio atau pemerintah daerah dengan panduan dari
penyelenggara pilkada.

Dengan memberikan perspektif baru
terhadap regulasi di atas, paling tidak terdapat relasi antara penyampaian
informasi publik, pemilih, dan pengawasan yang dilakukan sejumlah stakeholder
seperti KPI, Bawaslu, dan pengaduan langsung dari masyarakat. Menariknya,
medium itu bisa dengan mudah dikontrol secara objektif selama 24 jam dan dapat
terdokumentasikan dengan baik. Sehingga bila terdapat pelanggaran, akan dengan
sangat mudah bisa ditelusuri.

Berbeda dengan model kampanye
konvensional yang lebih sukar ditelusuri kebenaran dan faktualitasnya. Kita
bisa yakin partisipasi publik akan meningkat bila informasi terdistribusikan
secara masif dan merata, yang ditandai dengan hadirnya sikap kritis masyarakat
dalam memberikan penilaian dan apresiasi. (*)

(Penulis adalah Komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia Pusat)

KENDATI masa pandemi belum berakhir dan bahkan cenderung meningkat,
bukan berarti pilkada tidak bisa dilaksanakan. Sebab, bila mengandalkan
berakhirnya pandemi, kelanjutan pilkada berada pada jurang ketidakpastian.

Begitulah bunyi pesan yang bisa
diterima publik bahwa satu-satunya kepastian yang bisa dilakukan sekarang ialah
tetap melaksanakan pilkada tanpa mengabaikan rambu-rambu yang bisa
mengakibatkan makin bertambah buruknya persebaran Covid-19. Maka, penerapan
protokol kesehatan adalah penanda penting yang tidak boleh dilanggar pada
pilkada 2020.

Sosialisasi dan kampanye dimaknai
sebagai pemberian informasi mengenai penyelenggaraan pilkada, pendidikan bagi
pemilih, serta menjadi ruang bagi para kontestan untuk memperkenalkan diri.
Berupa gagasan serta kelebihan lain yang bertujuan untuk meyakinkan pemilih dan
diyakini memiliki kontribusi besar terhadap tingkat partisipasi pemilih. Di
masa normal partisipasi pemilih masih dianggap belum cukup maksimal. Lantas
bagaimana di masa new normal yang mengharuskan adanya pembatasan sosial?

Jika melihat medium penyampaian
informasi yang digunakan sebagaimana pemilihan sebelum pandemi, kita patut
merasa khawatir akan kemungkinan partisipasi pemilih itu meningkat atau justru
malah kian menyusut. Oleh karena itu, mesti didukung melalui sarana lain,
seperti memaksimalkan media penyiaran televisi dan radio, baik yang berskala
lokal maupun berjejaring, sebagai sarana paling efektif dan aman untuk
melakukan sosialisasi dan kampanye bagi pemerintah daerah, penyelenggara,
ataupun peserta pilkada.

Mempertimbangkan Media Penyiaran

Jika dibandingkan dengan platform
media baru (media sosial), media penyiaran memiliki tingkat keamanan dan
efektivitas yang lebih baik. Dari sisi keamanan, ia tidak mengandalkan proses
interaksi secara fisik dari orang ke orang secara masal, tapi sanggup diakses
semua orang.

Begitu juga halnya dengan
penyelenggaraan siarannya, diatur melalui UU dan P3SPS yang membuat siaran
makin bermutu dan aman. Sedangkan dari sisi efektivitas, TV dan radio telah
banyak dimiliki, bahkan dalam bentuk akses digitalnya, sehingga membuat
informasi kian mudah diterima.

Dari data kepemirsaan yang ada,
kecenderungan untuk mengakses televisi dan radio selama masa pandemi ini makin
meningkat dibanding masa sebelum pandemi. Artinya, pembatasan sosial memiliki
dampak terhadap perubahan kecenderungan masyarakat untuk lebih intensif
menggunakan media penyiaran melebihi waktu sebelumnya.

Baca Juga :  Tomy Diran Siap Perjuangkan Infrastruktur dan Pertanian Melalui DPRD K

Sebenarnya itu merupakan potensi
besar yang bisa digunakan untuk sosialisasi dan kampanye pilkada di masa new
normal ketimbang masih mengandalkan model konvensional yang secara faktual
berisiko.

Ada empat keuntungan jika menjadikan
media penyiaran sebagai medium utama pilkada di masa pandemi. Pertama,
informasi bisa diterima dengan cepat dan tepat, yang berbeda dengan model
konvensional. Kedua, informasi bisa diterima secara utuh, berimbang, dan adil
oleh seluruh masyarakat. Sehingga bisa menutup ruang bagi terjadinya black
campaign yang lazim terjadi pada proses kampanye secara konvensional ataupun
melalui platform media sosial.

Ketiga, daya jangkau dan
kepemirsaan yang luas sehingga memudahkan penyelenggara dan peserta pilkada
menyampaikan informasi dan gagasan. Keempat, media penyiaran selalu diawasi
dengan intensitas waktu 24 jam/harinya secara menyeluruh, integral, masif, dan
secara langsung mengikutsertakan masyarakat di dalamnya.

Jika ditarik garis lurus,
sejumlah poin itu bisa mendorong angka partisipasi masyarakat dan pembentukan
pemilih rasional berkat kualitas informasi yang ditayangkan secara adil dan
berimbang oleh media penyiaran.

Jika merujuk sejumlah peraturan
yang ada saat ini, ketentuan mengenai kampanye dan sosialisasi masih terbilang
belum bisa beradaptasi terhadap pandemi, baru sebatas untuk memperhatikan
protokol kesehatan. Selebihnya masih menggunakan model lama, termasuk hal yang
berkaitan dengan media penyiaran.

Misalnya, debat publik masih
diberi porsi tiga kali, juga dengan penayangan iklan kampanye hanya dibatasi 10
kali selama 14 hari dan difasilitasi penyelenggara pilkada melalui APBD. Jika
kerangka pikir new normal digunakan, hal tersebut sangat jauh panggang dari
api. Maka, yang paling mungkin untuk proses adaptasi ini adalah memaksimalkan
media mainstream (TV-radio) sebagai sarana pendorong partisipasi publik.

Perspektif Regulasi Kampanye

Kata kunci partisipasi secara
sederhana digambarkan melalui usaha pengikutsertaan masyarakat atau secara konseptual
digambarkan Saiful Mujani (2011) sebagai segala aktivitas yang dilakukan
individu warga negara agar bisa memengaruhi pilihan orang untuk posisi
pemerintahan/untuk memengaruhi tindakan mereka.

Baca Juga :  HM Ruslan Pastikan Kader Muda Golkar Dampingi Sugianto Sabran di Pilgu

Perspektif itu meniscayakan
adanya timbal balik berupa tindakan melalui interaksi yang selama masa pandemi
ini dibatasi. Namun, kemampuan media penyiaran bisa meretas batasan tersebut
andai bisa diberi porsi yang lebih maksimal.

Di antara sarana yang bisa
digunakan untuk sosialisasi dan kampanye melalui media penyiaran adalah melalui
program talk show, iklan kampanye, debat kandidat secara terbuka, pemberitaan,
dan tidak tertutup kemungkinan sejumlah program lainnya. Namun, hal tersebut
membutuhkan penegasan dalam bentuk regulasi baru yang bisa dijadikan dasar untuk
mengikat setiap aktivitas yang akan dilakukan.

Maka, menurut hemat saya, ada
tiga hal yang bisa mendukung regulasi baru.

Pertama, iklan kampanye berdasar
pasal 65 UU Nomor 10 Tahun 2016 difasilitasi penyelenggara melalui APBD
tampaknya perlu diperbaiki dengan memberikan ruang bagi peserta pemilihan untuk
beriklan secara mandiri yang disertai pengaturan dan pembatasan jumlah iklan
yang ditayangkan.

Kedua, masa kampanye di lembaga
penyiaran sangat terbatas (14 hari) sehingga perlu ditinjau ulang agar bisa
dilaksanakan selama masa kampanye.

Ketiga, debat yang difasilitasi
KPUD hanya maksimal tiga kali. Perlu diberikan penambahan frekuensi debat yang
diselenggarakan TV/radio atau pemerintah daerah dengan panduan dari
penyelenggara pilkada.

Dengan memberikan perspektif baru
terhadap regulasi di atas, paling tidak terdapat relasi antara penyampaian
informasi publik, pemilih, dan pengawasan yang dilakukan sejumlah stakeholder
seperti KPI, Bawaslu, dan pengaduan langsung dari masyarakat. Menariknya,
medium itu bisa dengan mudah dikontrol secara objektif selama 24 jam dan dapat
terdokumentasikan dengan baik. Sehingga bila terdapat pelanggaran, akan dengan
sangat mudah bisa ditelusuri.

Berbeda dengan model kampanye
konvensional yang lebih sukar ditelusuri kebenaran dan faktualitasnya. Kita
bisa yakin partisipasi publik akan meningkat bila informasi terdistribusikan
secara masif dan merata, yang ditandai dengan hadirnya sikap kritis masyarakat
dalam memberikan penilaian dan apresiasi. (*)

(Penulis adalah Komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia Pusat)

Terpopuler

Artikel Terbaru