30.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Twist Again

Aneh.
Kok bisa. Pukul 09.30 malam sudah tidur. Tiap hari. Setengah jam sebelumnya pun
sudah mulai mengantuk.
Itulah saya. Maret tahun 2020. Gara-gara
COVID-19.

Padahal
saya dulu pernah mengklasifikasikan diri sebagai ”orang malam”. Sejak umur 30,
saya bekerja nyaris sepanjang malam.

Kian
malam kian melotot: mempertaruhkan mutu koran yang akan dinilai pembaca
keesokan harinya. Setiap malam mutu koran itu terus dipelototi sampai pukul
00.30.
Tiap malam.

Begitu
bergairah. Membayangkan semua pembaca akan tertarik pada isi koran yang
disiapkan malam itu.

Setelah itu masih harus ke percetakan. Siapa tahu ada
kerusakan mesin. Sampai pukul 02.00 atau setelahnya.

Pagi-pagi
saya sudah harus di kantor lagi. Selama lebih 25 tahun. Sampai akhirnya terkena
kanker hati itu. Tahun 2006 itu.

Lebih
25 tahun lamanya saya begadang sepanjang malam untuk perusahaan. Tidak
membayangkan kelak, di bulan Maret 2020, akan bisa tidur pukul 9 malam.

Memang sejak operasi kanker hati itu hidup saya
dipaksa slowdown. Namun
hanya berhasil dua tahun.

Setelah
itu kembali bekerja siang-malam lagi. Selama lima tahun di PLN dan di
Kementerian BUMN.

Setelah
itu belum bisa juga santai. Bahkan justru terkena stres berat. Selama dua
tahun.

Selepas stres itulah baru punya kesempatan keluyuran ke
segala pelosok dunia. Selama dua tahun. Hampir tiada henti.

COVID-19
yang membuat saya jinak. Kini saya harus me-lockdown diri
di rumah. Di Surabaya. Ikut masak. Ikut main gamelan di studio sebelah rumah.

Dan
setelah dua minggu lockdown,
irama hidup berubah total. Kantuk pun datang setiap pukul 9 malam. Apalagi
kalau naskah DI’s Way sudah
selesai saya tulis.

Hanya
kadang saja saya masih memaksakan diri nonton Liga Dangdut Indonesia. Namun
setelah penyanyi pertama tampil, tidak kuat lagi menahan kantuk. Ganti penyanyi
kedua itu yang menonton saya dari layar kaca: tergeletak di kasur di depan tv.

Baca Juga :  Terkait Bantuan Akibat Imbas Covid-19, Bupati Minta Dinsos Melakukan P

Akibatnya, pukul 02.30 pun saya sudah bangun. Tidak bisa
tidur lagi.

Ternyata
banyak hal yang bisa dilakukan sepagi itu. Revolusi ponsel benar-benar mengubah
hidup manusia.

Kalau
tidak, saya pantas khawatir istri saya akan hamil lagi.

Saat
istri saya masih lelap itu, saya mengajar jurnalistik. Jarak jauh. Untuk 13
mahasiswa tingkat akhir yang ingin jadi wartawan. Saya pun sibuk memeriksa
kiriman-kiriman WA mereka.

Pukul 04.00 saya pindah ke beberapa urusan pribadi. Lalu
minum air hangat. Sebanyak setengah liter. Itu harus saya lakukan sebelum minum
obat wajib: immunosuppression 1 mg.

Itulah
obat untuk menurunkan imunitas saya. Agar hati orang lain yang saya pakai
sekarang ini bisa kerasan di tubuh saya.

Setelah
minum obat saya banyak membaca. Apa saja. Lewat ponsel.

Satu
jam kemudian saya minum lagi air putih: hangat. Setengah liter lagi. Untuk obat
kedua: baraclude. Yang terkait dengan kesehatan lever.

Berarti pada pukul 05.30 saya sudah minum air-putih-hangat
sebanyak satu liter.

Sambil
terus main ponsel saya makan satu buah pisang. Lalu satu mangkok kecil oatmeal –tanpa gula,
tanpa susu, tanpa garam, tanpa apa pun.

Ups…
ada! Ada dua telur ayam di dalamnya –diaduk ketika oatmeal mau diangkat
dari kompor.

Istri
saya tidak mau kalah. Pukul 04.00 sudah di dapur. Dia bahimat kalau masak.
Biarpun kami hanya 4 orang (saya, istri, Kang Sahidin, dan Pak Man) rasanya dia
seperti menyiapkan makan untuk 40 orang.

Tidak ada pembantu wanita di rumah. Istri saya terlalu
jagoan untuk urusan dapur, taman, dan rumah.

Pukul
06.00 kurang lima menit saya berangkat ke tempat senam. Bersama istri.

Baca Juga :  Kota Cantik Memasuki Tahapan AKB

Sejak
sebulan lalu kami sudah membuat peraturan ketat di grup senam kami: tidak usah
saling salaman.

Dan
sejak 10 hari lalu aturan itu ditingkatkan: senamnya harus saling jaga-jarak-aman-corona.
Saat foto bersama pun harus berjauhan.

Kami juga mengikuti saran dokter: cari tempat senam yang
ada terik mataharinya. Untuk memperoleh tambahan vitamin D. Agar bisa menambah
imunitas.

Kadang,
sambil ”berjemur” itu saya tersenyum sendiri: pagi tadi saya minum obat penurun
imunitas, kok sekarang ingin menambah imunitas.

Senam
itu nonstop. Selama satu jam penuh. Tiap hari –kecuali Senin.

Senamnya
senam dansa. Lagunya campuran. Barat, Mandarin, dangdut, India, Latino –semua
ada. Mulai Twist
Again
Xiao
Ping Guo, 
sampai Bojo
Anyar.

Suatu hari kami ingin mencoba memainkan semua lagu yang
kami punya. Bagi yang tidak kuat boleh berhenti di tengah jalan.

Ternyata
diperlukan lebih 3 jam nonstop. Separuh anggota grup kami kuat sampai selesai
–termasuk saya.

Untung
olahraga kami senam. Bisa berjauhan. Bagaimana bisa main sepak bola berjauhan.

Kami,
4 orang, lockdown bersama.
Pak Man yang hampir 80 tahun juga sehat. Mobil kami tidak pernah dimasuki orang
lain –selama lockdown.

Kalau kami merasa bosan di rumah saya ingat astronaut. Yang
setahun lamanya sendirian di luar angkasa. Ia di dalam sebuah kapsul yang tidak
sebesar rumah manusia.

Sekarang
saya tambah ingat satu lagi: Aminarto. Yang kuat puasa mutih 40 hari. Yang tiap
hari hanya makan 2 potong singkong kukus.

Apalah
artinya lockdown dibanding
dua contoh itu.

Bagi
yang membayangkan lockdown itu
harus tetap enak, mungkin mimpi hidupnya memang serbaenak:

Waktu kecil bisa dimanja.

Waktu
muda bisa foya-foya.

Waktu
tua kaya raya.

Waktu
mati masuk surga.(***)

 

Aneh.
Kok bisa. Pukul 09.30 malam sudah tidur. Tiap hari. Setengah jam sebelumnya pun
sudah mulai mengantuk.
Itulah saya. Maret tahun 2020. Gara-gara
COVID-19.

Padahal
saya dulu pernah mengklasifikasikan diri sebagai ”orang malam”. Sejak umur 30,
saya bekerja nyaris sepanjang malam.

Kian
malam kian melotot: mempertaruhkan mutu koran yang akan dinilai pembaca
keesokan harinya. Setiap malam mutu koran itu terus dipelototi sampai pukul
00.30.
Tiap malam.

Begitu
bergairah. Membayangkan semua pembaca akan tertarik pada isi koran yang
disiapkan malam itu.

Setelah itu masih harus ke percetakan. Siapa tahu ada
kerusakan mesin. Sampai pukul 02.00 atau setelahnya.

Pagi-pagi
saya sudah harus di kantor lagi. Selama lebih 25 tahun. Sampai akhirnya terkena
kanker hati itu. Tahun 2006 itu.

Lebih
25 tahun lamanya saya begadang sepanjang malam untuk perusahaan. Tidak
membayangkan kelak, di bulan Maret 2020, akan bisa tidur pukul 9 malam.

Memang sejak operasi kanker hati itu hidup saya
dipaksa slowdown. Namun
hanya berhasil dua tahun.

Setelah
itu kembali bekerja siang-malam lagi. Selama lima tahun di PLN dan di
Kementerian BUMN.

Setelah
itu belum bisa juga santai. Bahkan justru terkena stres berat. Selama dua
tahun.

Selepas stres itulah baru punya kesempatan keluyuran ke
segala pelosok dunia. Selama dua tahun. Hampir tiada henti.

COVID-19
yang membuat saya jinak. Kini saya harus me-lockdown diri
di rumah. Di Surabaya. Ikut masak. Ikut main gamelan di studio sebelah rumah.

Dan
setelah dua minggu lockdown,
irama hidup berubah total. Kantuk pun datang setiap pukul 9 malam. Apalagi
kalau naskah DI’s Way sudah
selesai saya tulis.

Hanya
kadang saja saya masih memaksakan diri nonton Liga Dangdut Indonesia. Namun
setelah penyanyi pertama tampil, tidak kuat lagi menahan kantuk. Ganti penyanyi
kedua itu yang menonton saya dari layar kaca: tergeletak di kasur di depan tv.

Baca Juga :  Terkait Bantuan Akibat Imbas Covid-19, Bupati Minta Dinsos Melakukan P

Akibatnya, pukul 02.30 pun saya sudah bangun. Tidak bisa
tidur lagi.

Ternyata
banyak hal yang bisa dilakukan sepagi itu. Revolusi ponsel benar-benar mengubah
hidup manusia.

Kalau
tidak, saya pantas khawatir istri saya akan hamil lagi.

Saat
istri saya masih lelap itu, saya mengajar jurnalistik. Jarak jauh. Untuk 13
mahasiswa tingkat akhir yang ingin jadi wartawan. Saya pun sibuk memeriksa
kiriman-kiriman WA mereka.

Pukul 04.00 saya pindah ke beberapa urusan pribadi. Lalu
minum air hangat. Sebanyak setengah liter. Itu harus saya lakukan sebelum minum
obat wajib: immunosuppression 1 mg.

Itulah
obat untuk menurunkan imunitas saya. Agar hati orang lain yang saya pakai
sekarang ini bisa kerasan di tubuh saya.

Setelah
minum obat saya banyak membaca. Apa saja. Lewat ponsel.

Satu
jam kemudian saya minum lagi air putih: hangat. Setengah liter lagi. Untuk obat
kedua: baraclude. Yang terkait dengan kesehatan lever.

Berarti pada pukul 05.30 saya sudah minum air-putih-hangat
sebanyak satu liter.

Sambil
terus main ponsel saya makan satu buah pisang. Lalu satu mangkok kecil oatmeal –tanpa gula,
tanpa susu, tanpa garam, tanpa apa pun.

Ups…
ada! Ada dua telur ayam di dalamnya –diaduk ketika oatmeal mau diangkat
dari kompor.

Istri
saya tidak mau kalah. Pukul 04.00 sudah di dapur. Dia bahimat kalau masak.
Biarpun kami hanya 4 orang (saya, istri, Kang Sahidin, dan Pak Man) rasanya dia
seperti menyiapkan makan untuk 40 orang.

Tidak ada pembantu wanita di rumah. Istri saya terlalu
jagoan untuk urusan dapur, taman, dan rumah.

Pukul
06.00 kurang lima menit saya berangkat ke tempat senam. Bersama istri.

Baca Juga :  Kota Cantik Memasuki Tahapan AKB

Sejak
sebulan lalu kami sudah membuat peraturan ketat di grup senam kami: tidak usah
saling salaman.

Dan
sejak 10 hari lalu aturan itu ditingkatkan: senamnya harus saling jaga-jarak-aman-corona.
Saat foto bersama pun harus berjauhan.

Kami juga mengikuti saran dokter: cari tempat senam yang
ada terik mataharinya. Untuk memperoleh tambahan vitamin D. Agar bisa menambah
imunitas.

Kadang,
sambil ”berjemur” itu saya tersenyum sendiri: pagi tadi saya minum obat penurun
imunitas, kok sekarang ingin menambah imunitas.

Senam
itu nonstop. Selama satu jam penuh. Tiap hari –kecuali Senin.

Senamnya
senam dansa. Lagunya campuran. Barat, Mandarin, dangdut, India, Latino –semua
ada. Mulai Twist
Again
Xiao
Ping Guo, 
sampai Bojo
Anyar.

Suatu hari kami ingin mencoba memainkan semua lagu yang
kami punya. Bagi yang tidak kuat boleh berhenti di tengah jalan.

Ternyata
diperlukan lebih 3 jam nonstop. Separuh anggota grup kami kuat sampai selesai
–termasuk saya.

Untung
olahraga kami senam. Bisa berjauhan. Bagaimana bisa main sepak bola berjauhan.

Kami,
4 orang, lockdown bersama.
Pak Man yang hampir 80 tahun juga sehat. Mobil kami tidak pernah dimasuki orang
lain –selama lockdown.

Kalau kami merasa bosan di rumah saya ingat astronaut. Yang
setahun lamanya sendirian di luar angkasa. Ia di dalam sebuah kapsul yang tidak
sebesar rumah manusia.

Sekarang
saya tambah ingat satu lagi: Aminarto. Yang kuat puasa mutih 40 hari. Yang tiap
hari hanya makan 2 potong singkong kukus.

Apalah
artinya lockdown dibanding
dua contoh itu.

Bagi
yang membayangkan lockdown itu
harus tetap enak, mungkin mimpi hidupnya memang serbaenak:

Waktu kecil bisa dimanja.

Waktu
muda bisa foya-foya.

Waktu
tua kaya raya.

Waktu
mati masuk surga.(***)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru