27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Membumikan Pancasila, Mana ‘Bumi’nya?

MEMBUMIKAN sesuatu, tidak bisa terjadi bila hanya sebatas khayal.
Atau hanya sebatas keinginan. Ada beberapa persyaratan yang diperlukan.

Mengambil perandaian sebuah
pohon, diperlukan sebidang tanah atau hamparan tanah sebagai tempat pohon
tersebut dibenamkan sebagai tanaman yang kelak diharapkan tumbuh, mengakar kuat
dan membumi. Diperlukan tersedianya sebidang tanah subur, pupuk yang baik, dan
tentunya para ahli tanam dan tanaman agar pohon yang ditanam tumbuh subur,
kokoh, dan membumi.

Ketika ramai dibicarakan dan
diperdebatkan upaya  membumikan Pancasila
oleh para elite dan petinggi negara, hal yang terlintas dalam benak saya adalah
pertanyaan akan sejumlah persyaratan di atas.

Permasalahan timbul ketika muncul
pertanyaan mendasar; masih adakah tanah yang tersisa? Hamparan tanah yang bisa
dijadikan tempat untuk menyemai, menanam, menumbuhkan, membesarkan,
mengokohkan, dan membumikan Pancasila sebagai pohon kehidupan bangsa ini?

Karena yang dibutuhkan adalah
hamparan tanah yang di dalamnya mengandung ‘zat’ Ketuhanan Yang Maha Esa; yang
kaya akan ‘zat’ perikemanusiaan yang adil dan beradab; yang di dalamnya
terkandung ‘zat’ yang merekatkan persatuan rakyat; hamparan tanah dimana budaya
bermusyawarah untuk bermufakat dapat tumbuh hidup sebagai cara menentukan
pilihan maupun menyelesaikan berbagai perbedaan.

Keberadaan tanah ini pun menjamin
terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sebuah kemakmuran yang
berkeadilan dan keadilan yang berkemamuran bagi seluruh rakyat penghuni  bumi Nusantara.

Dan semua ini hanya dimungkinkan
terjadi ketika hamparan tanah yang tersedia, mengandung zat paling utama
(Ekasila). Zat yang enerjinya dengan kuat memancarkan arus semangat
gotongroyong. Dan semangat gotongroyong ini lah yang harus dijadikan sebagai
pijakan dasar budaya kehidupan masyarakat bangsa di atas tanah bumi Nusantara
ini.

Nah, apakah sekarang ini  hamparan tanah bumi Nusantara memiliki atau
masih kaya akan zat-zat yang disyaratkan untuk dimiliki?

Tragisnya, sejak rezim Orde Baru
berkuasa dan berlanjut hingga sekarang, tanah bumi Nusantara yang terbentang
luas dari Sabang hingga Merauke, seluruhnya telah tercemar oleh racun ‘pestisida’
import. Racun ini telah merusak seluruh zat yang terkandung dalam perut bumi
negeri in. Label pembungkus racun ‘peptisida’ import ini dapat dengan jelas
terbaca karena ditulis dengan huruf besar
‘INDIVIDUALISME-LIBERALISME-KAPITALISME’.

Racun ‘INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, KAPITALISME’ ini lah yang telah lama disemai secara terencana,
tertata, dan dipelihara dengan baik oleh mereka yang berkepentingan. Tujuan
utamanya, membonsai bahkan mematikan pohon kehidupannya bangsa Indonesia yang
bernama Pancasila ini. Sehingga upaya apa pun dikerahkan untuk menumbuh
suburkan Pancasila, pastilah mengalami kegagalan yang mendasar dan total.

Baca Juga :  PBS Diminta Lindungi Tumbuhan Obat

Sangat tidak mungkin dan hanyalah
sebuah khayalan kaum penipu rakyat yang berani menjamin Pancasila dapat tumbuh
dan kokoh berdiri di atas pijakan tanah yang kental akan tebaran racun
INDIVIDUALISME, LIBERALISME, dan KAPITALISME..! Jadi buat apa ribut-ribut soal
Pancasila? Ketika tanah yang diperlukan untuk ia dapat tumbuh subur dan kokoh
membumi, sudah begitu parah terkonteminasi oleh racun INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, dan KAPITALISME.

Di bumi negeri ini, bangunan
politik dan ekonomi yang dipilih sepenuhnya bertumpu pada
LIBERALISME-KAPITALISME. Pada sisi sosial budaya, INDIVIDUALISME telah
sepenuhnya menggerus semangat gotong royong. Ekonomi pasar dijadikan pijakan
yang tak menyisakan ruang bagi ekonomi rakyat dan kerakyatan untuk hidup dan
berkembang. Kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan hamparan tanah yang
terbentang dari Sabang hingga Merauke pun, hanya dinikmati oleh segelintir
orang yang mendapat restu dan berkolusi dengan penguasa. Orang-orang ini  sekarang dikenal sebagai para konglomerat,
pemilik sesungguhnya negeri ini. 

Jika sistem politik yang hyper LIBERAL dan sistem ekonomi kita
yang hyper KAPITALIS ini tetap
dipertahankan,  maka upaya membumikan
Pancasila dalam kehidupan yang serba kontradiktif dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila ini, sangat tidak mungkin bisa terwujud.

Mengapa para petinggi negara,
para elite, dan kaum intelektual negeri ini tak pernah secara jujur mengatakan
realita yang sesungguhnya sangat memprihatinkan ini?

Dan bila ada petinggi negara yang
mengatakan bahwa kita akan bisa membumikan Pancasila asal  ada perangkat Undang-Undang dan lembaga atau
sebuah badan yang dihadirkan untuk pelaksanaannya, percaya lah hal tersebut
hanya lah sebuah ilusi. Menyatakan mampu menegakkan benang basah, sama saja
dengan perbuatan yang termasuk dalam kategori pembodohan.

Kecuali bila kehadiran badan atau
lembaga dimaksud, diawali dengan langkah yang berani untuk menyatakan..Go to hell with INDIViDUALISM, LIBERALISM,
and CAPITALISM!
Konsekwensinya berbagai Undang-Undang dan peraturan yang
berpihak pada kepentingan atau yang memperkokoh eksistensi INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, dan KAPITALISME, secara revolusioner harus dirombak, diganti, atau
bahkan dianulir. Artinya segala bentuk perundangan dan berbagai peraturan yang
bertentangan dengan amanat Pancasila dan UUD’45, harus dihapus secara
revolusioner dan mendasar.

Baca Juga :  Cegah Kerusakan Lingkungan

Tanpa langkah besar ini, upaya
yang sangat mulia untuk membumikan Pancasila, bisa jatuh pada upaya memunculkan
proyek yang hanya menghabiskan uang negara. Atau sepenuhnya hanya merupakan
proyek politik dengan agenda super khusus yang terselubung. Karena pada
hakekatnya, Pancasila hanya memerlukan ruang kehidupan yang memungkinkan ia
tumbuh berkembang dan kokoh berdiri sebagai pohon kehidupan bangsa ini.

Yang dibutuhkan rakyat adalah
percontohan perilaku Pancasila dalam praktek. Pancasila yang dijalankan secara
murni dan konsekwen. Pancasila yang ruh dan jiwanya lebih kental dengan aroma
kehidupan yang sosialistis, jangan lagi dibiarkan diperkosa oleh pilihan para
elite dan pemimpin negera kita yang lebih menyukai LIBERALISME-KAPITALISME yang
menawarkan hedonisme sebagai gaya dan etos kehidupan masyarakat bangsa ini.

Rakyat bangsa ini lebih
mengharapkan kembalinya para pemimpin negeri ini ke jalan yang benar. Jalan
yang sebagaimana telah digariskan, diarahkan, dan diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD’45. Bukan yang selalu berkutat dalam kehebohan mendefinisikan, menyoal,
merumuskan, menawarkan Undang-Undang A,B,C,D, dan mendirikan Badan ini-itu yang
hanya akan melayang-layang di ruang hampa udara (utopis). Sementara yang
dirindukan rakyat sebenarnya sangat simpel dan sederhana saja…rakyat ingin
menyaksikan Pancasila dalam praktek!

Rakyat sangat menantikan hadirnya
suatu percontohan yang bisa dijadikan panutan dan sekaligus tuntunan yang
langsung dapat mereka rasakan, saksikan, dan alami secara empirik bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memang luarbiasa indahnya. Bukan
seperti selama ini menjadi sebuah bangsa yang selalu terkurung dan dikurung
dalam ruang wacana dan perdebatan yang pengab dan yang menguras habis nalar dan
akal sehat kita sebagai komunitas masyarakat bangsa.

Semoga saja niat mulia untuk
membumikan Pancasila membangunkan kesadaran kita semua bahwa sebenarnya
Pancasila telah lama ‘dikebumikan’ dengan sempurna. Ia telah lama ‘dikebumikan’
di dalam tanah yang seharusnya menjadi tempat baginya untuk tumbuh subur, kokoh
berdiri, dan membumi!

Saatnya rakyat berseru…wahai
para elit dan para pemimpin negeri, kembalilah ke jalan akal, nalar, dan indera
yang sehat. Berhentilah bermimpi, tanggalkan kemunafikan, dan berpijak lah pada
bumi yang nyata!

*Artikel ini dimuat dalam Portal Pikiran Merdeka. Watyutink.com. Ngopibareng.id

MEMBUMIKAN sesuatu, tidak bisa terjadi bila hanya sebatas khayal.
Atau hanya sebatas keinginan. Ada beberapa persyaratan yang diperlukan.

Mengambil perandaian sebuah
pohon, diperlukan sebidang tanah atau hamparan tanah sebagai tempat pohon
tersebut dibenamkan sebagai tanaman yang kelak diharapkan tumbuh, mengakar kuat
dan membumi. Diperlukan tersedianya sebidang tanah subur, pupuk yang baik, dan
tentunya para ahli tanam dan tanaman agar pohon yang ditanam tumbuh subur,
kokoh, dan membumi.

Ketika ramai dibicarakan dan
diperdebatkan upaya  membumikan Pancasila
oleh para elite dan petinggi negara, hal yang terlintas dalam benak saya adalah
pertanyaan akan sejumlah persyaratan di atas.

Permasalahan timbul ketika muncul
pertanyaan mendasar; masih adakah tanah yang tersisa? Hamparan tanah yang bisa
dijadikan tempat untuk menyemai, menanam, menumbuhkan, membesarkan,
mengokohkan, dan membumikan Pancasila sebagai pohon kehidupan bangsa ini?

Karena yang dibutuhkan adalah
hamparan tanah yang di dalamnya mengandung ‘zat’ Ketuhanan Yang Maha Esa; yang
kaya akan ‘zat’ perikemanusiaan yang adil dan beradab; yang di dalamnya
terkandung ‘zat’ yang merekatkan persatuan rakyat; hamparan tanah dimana budaya
bermusyawarah untuk bermufakat dapat tumbuh hidup sebagai cara menentukan
pilihan maupun menyelesaikan berbagai perbedaan.

Keberadaan tanah ini pun menjamin
terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sebuah kemakmuran yang
berkeadilan dan keadilan yang berkemamuran bagi seluruh rakyat penghuni  bumi Nusantara.

Dan semua ini hanya dimungkinkan
terjadi ketika hamparan tanah yang tersedia, mengandung zat paling utama
(Ekasila). Zat yang enerjinya dengan kuat memancarkan arus semangat
gotongroyong. Dan semangat gotongroyong ini lah yang harus dijadikan sebagai
pijakan dasar budaya kehidupan masyarakat bangsa di atas tanah bumi Nusantara
ini.

Nah, apakah sekarang ini  hamparan tanah bumi Nusantara memiliki atau
masih kaya akan zat-zat yang disyaratkan untuk dimiliki?

Tragisnya, sejak rezim Orde Baru
berkuasa dan berlanjut hingga sekarang, tanah bumi Nusantara yang terbentang
luas dari Sabang hingga Merauke, seluruhnya telah tercemar oleh racun ‘pestisida’
import. Racun ini telah merusak seluruh zat yang terkandung dalam perut bumi
negeri in. Label pembungkus racun ‘peptisida’ import ini dapat dengan jelas
terbaca karena ditulis dengan huruf besar
‘INDIVIDUALISME-LIBERALISME-KAPITALISME’.

Racun ‘INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, KAPITALISME’ ini lah yang telah lama disemai secara terencana,
tertata, dan dipelihara dengan baik oleh mereka yang berkepentingan. Tujuan
utamanya, membonsai bahkan mematikan pohon kehidupannya bangsa Indonesia yang
bernama Pancasila ini. Sehingga upaya apa pun dikerahkan untuk menumbuh
suburkan Pancasila, pastilah mengalami kegagalan yang mendasar dan total.

Baca Juga :  PBS Diminta Lindungi Tumbuhan Obat

Sangat tidak mungkin dan hanyalah
sebuah khayalan kaum penipu rakyat yang berani menjamin Pancasila dapat tumbuh
dan kokoh berdiri di atas pijakan tanah yang kental akan tebaran racun
INDIVIDUALISME, LIBERALISME, dan KAPITALISME..! Jadi buat apa ribut-ribut soal
Pancasila? Ketika tanah yang diperlukan untuk ia dapat tumbuh subur dan kokoh
membumi, sudah begitu parah terkonteminasi oleh racun INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, dan KAPITALISME.

Di bumi negeri ini, bangunan
politik dan ekonomi yang dipilih sepenuhnya bertumpu pada
LIBERALISME-KAPITALISME. Pada sisi sosial budaya, INDIVIDUALISME telah
sepenuhnya menggerus semangat gotong royong. Ekonomi pasar dijadikan pijakan
yang tak menyisakan ruang bagi ekonomi rakyat dan kerakyatan untuk hidup dan
berkembang. Kekayaan yang terkandung dalam perut bumi dan hamparan tanah yang
terbentang dari Sabang hingga Merauke pun, hanya dinikmati oleh segelintir
orang yang mendapat restu dan berkolusi dengan penguasa. Orang-orang ini  sekarang dikenal sebagai para konglomerat,
pemilik sesungguhnya negeri ini. 

Jika sistem politik yang hyper LIBERAL dan sistem ekonomi kita
yang hyper KAPITALIS ini tetap
dipertahankan,  maka upaya membumikan
Pancasila dalam kehidupan yang serba kontradiktif dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila ini, sangat tidak mungkin bisa terwujud.

Mengapa para petinggi negara,
para elite, dan kaum intelektual negeri ini tak pernah secara jujur mengatakan
realita yang sesungguhnya sangat memprihatinkan ini?

Dan bila ada petinggi negara yang
mengatakan bahwa kita akan bisa membumikan Pancasila asal  ada perangkat Undang-Undang dan lembaga atau
sebuah badan yang dihadirkan untuk pelaksanaannya, percaya lah hal tersebut
hanya lah sebuah ilusi. Menyatakan mampu menegakkan benang basah, sama saja
dengan perbuatan yang termasuk dalam kategori pembodohan.

Kecuali bila kehadiran badan atau
lembaga dimaksud, diawali dengan langkah yang berani untuk menyatakan..Go to hell with INDIViDUALISM, LIBERALISM,
and CAPITALISM!
Konsekwensinya berbagai Undang-Undang dan peraturan yang
berpihak pada kepentingan atau yang memperkokoh eksistensi INDIVIDUALISME,
LIBERALISME, dan KAPITALISME, secara revolusioner harus dirombak, diganti, atau
bahkan dianulir. Artinya segala bentuk perundangan dan berbagai peraturan yang
bertentangan dengan amanat Pancasila dan UUD’45, harus dihapus secara
revolusioner dan mendasar.

Baca Juga :  Cegah Kerusakan Lingkungan

Tanpa langkah besar ini, upaya
yang sangat mulia untuk membumikan Pancasila, bisa jatuh pada upaya memunculkan
proyek yang hanya menghabiskan uang negara. Atau sepenuhnya hanya merupakan
proyek politik dengan agenda super khusus yang terselubung. Karena pada
hakekatnya, Pancasila hanya memerlukan ruang kehidupan yang memungkinkan ia
tumbuh berkembang dan kokoh berdiri sebagai pohon kehidupan bangsa ini.

Yang dibutuhkan rakyat adalah
percontohan perilaku Pancasila dalam praktek. Pancasila yang dijalankan secara
murni dan konsekwen. Pancasila yang ruh dan jiwanya lebih kental dengan aroma
kehidupan yang sosialistis, jangan lagi dibiarkan diperkosa oleh pilihan para
elite dan pemimpin negera kita yang lebih menyukai LIBERALISME-KAPITALISME yang
menawarkan hedonisme sebagai gaya dan etos kehidupan masyarakat bangsa ini.

Rakyat bangsa ini lebih
mengharapkan kembalinya para pemimpin negeri ini ke jalan yang benar. Jalan
yang sebagaimana telah digariskan, diarahkan, dan diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD’45. Bukan yang selalu berkutat dalam kehebohan mendefinisikan, menyoal,
merumuskan, menawarkan Undang-Undang A,B,C,D, dan mendirikan Badan ini-itu yang
hanya akan melayang-layang di ruang hampa udara (utopis). Sementara yang
dirindukan rakyat sebenarnya sangat simpel dan sederhana saja…rakyat ingin
menyaksikan Pancasila dalam praktek!

Rakyat sangat menantikan hadirnya
suatu percontohan yang bisa dijadikan panutan dan sekaligus tuntunan yang
langsung dapat mereka rasakan, saksikan, dan alami secara empirik bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memang luarbiasa indahnya. Bukan
seperti selama ini menjadi sebuah bangsa yang selalu terkurung dan dikurung
dalam ruang wacana dan perdebatan yang pengab dan yang menguras habis nalar dan
akal sehat kita sebagai komunitas masyarakat bangsa.

Semoga saja niat mulia untuk
membumikan Pancasila membangunkan kesadaran kita semua bahwa sebenarnya
Pancasila telah lama ‘dikebumikan’ dengan sempurna. Ia telah lama ‘dikebumikan’
di dalam tanah yang seharusnya menjadi tempat baginya untuk tumbuh subur, kokoh
berdiri, dan membumi!

Saatnya rakyat berseru…wahai
para elit dan para pemimpin negeri, kembalilah ke jalan akal, nalar, dan indera
yang sehat. Berhentilah bermimpi, tanggalkan kemunafikan, dan berpijak lah pada
bumi yang nyata!

*Artikel ini dimuat dalam Portal Pikiran Merdeka. Watyutink.com. Ngopibareng.id

Terpopuler

Artikel Terbaru