33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dua Buku

Donald Trump tidak pusing dengan dua buku baru
ini. 

Atau pusing.

Dua-duanya menyerang karakter presiden Amerika
Serikat itu. Yang satu ditulis oleh mantan penasihat keamanan Gedung Putih,
John Bolton. Satunya lagi ditulis oleh keponakannya sendiri Mary L. Trump.

Dua-duanya terbit dalam waktu berdekatan. Akhir
Juni 2020 ini –lima bulan sebelum pilpres.

Dua-duanya sedang dicegah agar jangan sampai
terbit. Dengan segala cara –pilpres sudah begitu dekat.

Tentu Trump menyerang balik dua buku itu. ”Ia
itu gila,” ujar Trump tentang John Bolton, mantan penasehatnya itu. ”Maunya
tiap hari menjatuhkan bom,” tambah Trump.

Bolton memang kecewa pada Trump. Yang tidak
jadi menyerang Korea Utara –seperti yang sudah dikoarkannya.

Trump, kata Bolton, justru bertemu Kim Jong-un.
Sampai tiga kali. Bahkan sampai ke perbatasan Korut-Korsel –dan Trump mau
diajak Kim menginjakkan kaki beberapa menit di tanah Korut.

”Semua itu hanya untuk satu tujuan, agar Trump
bisa mejeng di media seluruh dunia,” tulis Bolton. ”Semua langkah Trump itu
motifnya agar ia terpilih kembali,” ujar Bolton. 

Menurut pria berkumis tebal dan panjang ini,
tidak ada langkah Trump yang motifnya untuk negara dan bangsa. Semua untuk
pencitraan, agar kembali terpilih.

Termasuk ketika sempat-sempatnya Trump mejeng
di depan gereja itu. Dengan kitab Injil diacungkan tangan kanannya itu. Padahal
ibu kota lagi tegang. Demo terbesar sedang mendekati Gedung Putih. 

Bolton juga kecewa Trump membatalkan serangan
ke Iran. Padahal Amerika sudah dihinakan. Drone Amerika dijatuhkan Iran. 

Semula Trump sudah setuju. Persiapan
penyerangan pun dilakukan. Sudah tinggal memberi komando: serbu!

Di detik terakhir Trump membatalkannya. 

Trump tidak kehabisan bahan untuk menyerang
siapa saja. Termasuk menyerang karakter. ”Bolton itu orang yang tidak pernah
tersenyum dalam hidupnya,” ujar Trump. ”Pernahkah kalian lihat ia tersenyum?
Biar pun hanya sekali?” serang Trump lagi.

Baca Juga :  11 Jabatan Dilelang

Masih kata Trump: Bolton itu tidak bisa
bekerja. Ia juga tidak pinter. Tidak cemerlang.

Begitulah Trump. Ketika mengangkatnya dulu
Bolton dipuji-puji. Sekarang dijatuhkan habis.

Bolton bilang, dirinya mengundurkan diri karena
tidak cocok dengan sang presiden.

Trump bilang Bolton itu ia pecat.

Perang kata dan tulisan belum reda. ”Perbedaan
antara Joe Biden dan Trump itu jelas,” ujar Bolton mengenai dua Capres itu.
”Biden punya wawasan. Trump tidak sama sekali,” kata Bolton.

Kini saya lagi menunggu dengan senyum-senyum:
serangan seperti apa yang akan dilancarkan pada keponakannya sendiri
nanti. 

Sang keponakan, Mary L. Trump, adalah seorang
doktor ahli jiwa. Usianyi 55 tahun. 

Judul bukunyi sangat ”sexy”: ”Berlebihan dan
Tidak Pernah Merasa Cukup”. Dari sub-judulnya jelas ini soal konflik di
keluarga besar Trump: ”Bagaimana Keluarga Kami Melahirkan Orang Paling
Berbahaya di Dunia”.

Mary memang mendalami kasus-kasus kejiwaan. Dia
pernah 6 tahun mempelajari pasien-pasien dengan kelainan schizophrenia. Pasien
itu berobat di rumah sakit Hillside Hospital di Long Island, New York.

Apakah schizophrenia?

Saya kutipkan saja definisi schizophrenia dari
kamus. Agar Anda bisa mengidentifikasi apakah gejala jiwa seperti itu cocok
dengan Donald Trump. Atau tidak.

Tari tariklah dulu nafas. Kalimatnya sangat
panjang: ”Schizophrenia adalah gangguan mental jangka panjang dari jenis yang
melibatkan gangguan dalam hubungan antara pikiran, emosi, dan perilaku, yang
mengarah ke persepsi yang salah, tindakan dan perasaan yang tidak pantas,
menarik diri dari kenyataan dan hubungan pribadi ke dalam fantasi dan khayalan,
dan rasa fragmentasi mental”.

Maafkan, begitulah kamus menulis. Panjang
kalimatnya seperti kereta api pengangkut tebu. Saya sangat benci membacanya
–meski sangat memerlukan isinya. Kalimat itu terdiri dari 45 kata.
Jangan-jangan lebih. Tolong hitungkan yang benar.

Baca Juga :  Berkah Macau

Atau baiknya biar bung Yusuf Ridlo saja yang
hitung. Kita kan lagi membahas soal penyakit jiwa –eh, soal bukunya Mary L.
Trump.

Tentu saya harus menjelaskan dulu siapa Mary.
Saya mulai dari kakeknyi.

Nama sang kakek: Fred Trump Sr. Ia pengusaha
besar bidang real estate di New
York. 

Fred Sr. punya anak sulung bernama Fred Jr. dan
adik-adiknya: Robert, Donald Trump.

Fred Jr. punya anak sulung perempuan. Namanya
Mary. Mary inilah yang akan menerbitkan buku. 

Anak keduanya laki-laki, diberi nama Fred III
–cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama.

Ayah Mary meninggal muda: 42 tahun. Akibat
terlalu banyak alkohol. Sang kakek justru baru meninggal 18 tahun kemudian
–tahun 1999. 

Mary dan Fred III merasa diperlakukan tidak
fair: soal warisan Fred Sr. Padahal bapaknyi adalah anak pertama. 

Kakak Donald sudah berusaha membungkam pena
Mary. Lewat pemberian sejumlah uang. 

Tapi Mary melihat pamannyi itu sangat rakus.
Tidak pernah merasa cukup.

Awalnya Mary menghubungi harian New York Times.
Dia memberikan dokumen-dokumen pajak Trump. Wartawan New York Times lantas
membeberkan masalah pajak Trump. Gempar. Penulisnya sampai mendapat hadiah
Pulitzer. Itulah penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik di Amerika. 

Mary masih punya harta kartun lainnya: kerakusan
Trump. Sampai mengorbankan hubungan keluarga.

Trump memang banyak akal. Baginya semua itu
mudah. Termasuk cara menurunkan angka penderita Covid-19 dengan cepat. Itulah
yang ia pidatokan secara resmi. Agar tidak malu lagi: jumlah penderita di Amerika
sudah lebih 2,5 juta.

Bagaimana cara Trump menurunkan angka
itu? 

“Jangan lagi dilakukan tes,” katanya
di Oklahoma Sabtu lalu. (Dahlan Iskan)

 

 

Donald Trump tidak pusing dengan dua buku baru
ini. 

Atau pusing.

Dua-duanya menyerang karakter presiden Amerika
Serikat itu. Yang satu ditulis oleh mantan penasihat keamanan Gedung Putih,
John Bolton. Satunya lagi ditulis oleh keponakannya sendiri Mary L. Trump.

Dua-duanya terbit dalam waktu berdekatan. Akhir
Juni 2020 ini –lima bulan sebelum pilpres.

Dua-duanya sedang dicegah agar jangan sampai
terbit. Dengan segala cara –pilpres sudah begitu dekat.

Tentu Trump menyerang balik dua buku itu. ”Ia
itu gila,” ujar Trump tentang John Bolton, mantan penasehatnya itu. ”Maunya
tiap hari menjatuhkan bom,” tambah Trump.

Bolton memang kecewa pada Trump. Yang tidak
jadi menyerang Korea Utara –seperti yang sudah dikoarkannya.

Trump, kata Bolton, justru bertemu Kim Jong-un.
Sampai tiga kali. Bahkan sampai ke perbatasan Korut-Korsel –dan Trump mau
diajak Kim menginjakkan kaki beberapa menit di tanah Korut.

”Semua itu hanya untuk satu tujuan, agar Trump
bisa mejeng di media seluruh dunia,” tulis Bolton. ”Semua langkah Trump itu
motifnya agar ia terpilih kembali,” ujar Bolton. 

Menurut pria berkumis tebal dan panjang ini,
tidak ada langkah Trump yang motifnya untuk negara dan bangsa. Semua untuk
pencitraan, agar kembali terpilih.

Termasuk ketika sempat-sempatnya Trump mejeng
di depan gereja itu. Dengan kitab Injil diacungkan tangan kanannya itu. Padahal
ibu kota lagi tegang. Demo terbesar sedang mendekati Gedung Putih. 

Bolton juga kecewa Trump membatalkan serangan
ke Iran. Padahal Amerika sudah dihinakan. Drone Amerika dijatuhkan Iran. 

Semula Trump sudah setuju. Persiapan
penyerangan pun dilakukan. Sudah tinggal memberi komando: serbu!

Di detik terakhir Trump membatalkannya. 

Trump tidak kehabisan bahan untuk menyerang
siapa saja. Termasuk menyerang karakter. ”Bolton itu orang yang tidak pernah
tersenyum dalam hidupnya,” ujar Trump. ”Pernahkah kalian lihat ia tersenyum?
Biar pun hanya sekali?” serang Trump lagi.

Baca Juga :  11 Jabatan Dilelang

Masih kata Trump: Bolton itu tidak bisa
bekerja. Ia juga tidak pinter. Tidak cemerlang.

Begitulah Trump. Ketika mengangkatnya dulu
Bolton dipuji-puji. Sekarang dijatuhkan habis.

Bolton bilang, dirinya mengundurkan diri karena
tidak cocok dengan sang presiden.

Trump bilang Bolton itu ia pecat.

Perang kata dan tulisan belum reda. ”Perbedaan
antara Joe Biden dan Trump itu jelas,” ujar Bolton mengenai dua Capres itu.
”Biden punya wawasan. Trump tidak sama sekali,” kata Bolton.

Kini saya lagi menunggu dengan senyum-senyum:
serangan seperti apa yang akan dilancarkan pada keponakannya sendiri
nanti. 

Sang keponakan, Mary L. Trump, adalah seorang
doktor ahli jiwa. Usianyi 55 tahun. 

Judul bukunyi sangat ”sexy”: ”Berlebihan dan
Tidak Pernah Merasa Cukup”. Dari sub-judulnya jelas ini soal konflik di
keluarga besar Trump: ”Bagaimana Keluarga Kami Melahirkan Orang Paling
Berbahaya di Dunia”.

Mary memang mendalami kasus-kasus kejiwaan. Dia
pernah 6 tahun mempelajari pasien-pasien dengan kelainan schizophrenia. Pasien
itu berobat di rumah sakit Hillside Hospital di Long Island, New York.

Apakah schizophrenia?

Saya kutipkan saja definisi schizophrenia dari
kamus. Agar Anda bisa mengidentifikasi apakah gejala jiwa seperti itu cocok
dengan Donald Trump. Atau tidak.

Tari tariklah dulu nafas. Kalimatnya sangat
panjang: ”Schizophrenia adalah gangguan mental jangka panjang dari jenis yang
melibatkan gangguan dalam hubungan antara pikiran, emosi, dan perilaku, yang
mengarah ke persepsi yang salah, tindakan dan perasaan yang tidak pantas,
menarik diri dari kenyataan dan hubungan pribadi ke dalam fantasi dan khayalan,
dan rasa fragmentasi mental”.

Maafkan, begitulah kamus menulis. Panjang
kalimatnya seperti kereta api pengangkut tebu. Saya sangat benci membacanya
–meski sangat memerlukan isinya. Kalimat itu terdiri dari 45 kata.
Jangan-jangan lebih. Tolong hitungkan yang benar.

Baca Juga :  Berkah Macau

Atau baiknya biar bung Yusuf Ridlo saja yang
hitung. Kita kan lagi membahas soal penyakit jiwa –eh, soal bukunya Mary L.
Trump.

Tentu saya harus menjelaskan dulu siapa Mary.
Saya mulai dari kakeknyi.

Nama sang kakek: Fred Trump Sr. Ia pengusaha
besar bidang real estate di New
York. 

Fred Sr. punya anak sulung bernama Fred Jr. dan
adik-adiknya: Robert, Donald Trump.

Fred Jr. punya anak sulung perempuan. Namanya
Mary. Mary inilah yang akan menerbitkan buku. 

Anak keduanya laki-laki, diberi nama Fred III
–cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama.

Ayah Mary meninggal muda: 42 tahun. Akibat
terlalu banyak alkohol. Sang kakek justru baru meninggal 18 tahun kemudian
–tahun 1999. 

Mary dan Fred III merasa diperlakukan tidak
fair: soal warisan Fred Sr. Padahal bapaknyi adalah anak pertama. 

Kakak Donald sudah berusaha membungkam pena
Mary. Lewat pemberian sejumlah uang. 

Tapi Mary melihat pamannyi itu sangat rakus.
Tidak pernah merasa cukup.

Awalnya Mary menghubungi harian New York Times.
Dia memberikan dokumen-dokumen pajak Trump. Wartawan New York Times lantas
membeberkan masalah pajak Trump. Gempar. Penulisnya sampai mendapat hadiah
Pulitzer. Itulah penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik di Amerika. 

Mary masih punya harta kartun lainnya: kerakusan
Trump. Sampai mengorbankan hubungan keluarga.

Trump memang banyak akal. Baginya semua itu
mudah. Termasuk cara menurunkan angka penderita Covid-19 dengan cepat. Itulah
yang ia pidatokan secara resmi. Agar tidak malu lagi: jumlah penderita di Amerika
sudah lebih 2,5 juta.

Bagaimana cara Trump menurunkan angka
itu? 

“Jangan lagi dilakukan tes,” katanya
di Oklahoma Sabtu lalu. (Dahlan Iskan)

 

 

Terpopuler

Artikel Terbaru