25.1 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Membumikan Pendidikan Keaksaraan di Masyarakat

PERADABAN diawali dengan munculnya keaksaraan yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat yang belajar akan mampu berfungsi sebagai penjaga budaya
sendiri yang tangguh. Tingkat melek aksara di Indonesia bahkan dunia terus
meningkat. Di Indonesia kini ada 23 provinsi yang telah berada di bawah angka
nasional masyarakat buta aksaranya. Hal ini sebagai bukti keberhasilan Indonesia
dengan pencapaian prestasi melebihi target Pendidikan Untuk Semua (PUS).

Pada 12 Maret 2019 yang lalu,
Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Abdul Kahar menerima
kunjungan delegasi Pakistan di Sekretariat Ditjen PAUD dan Dikmas, Jakarta.
Ternyata maksud dari kunjungan tersebut adalah berkaitan dengan sistem
pendidikan di Indonesia yang dianggap berhasil dalam memberantas buta aksara. Sementara
itu, capaian tahun 2017, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan
mencapai 97,93 persen, atau tinggal sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa
usia 15-59 tahun yang belum melek aksara (Badan Pusat Statistik dan Pusat Data
dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud).

Indonesia telah banyak melahirkan
generasi yang melek aksara, tetapi fondasi gerakan pemberdayaan masyarakat
sejatinya bukan sekadar pemberantasan buta aksara yang memprioritaskan pada
aspek baca, tulis dan hitung (calistung) semata. Tantangan dalam menghadapi era
revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 adalah bagaimana pengembangan
keterampilan sebagai pendidikan keaksaraan lanjutan atau keaksaraan usaha
mandiri (multi keaksaraan). Penumbuhkembangan keaksaraan dalam arti yang lebih
luas ini juga diatur dalam Permendikbud Nomor 42 Tahun 2015.

Dalam upaya menyukseskan Gerakan
Indonesia Membaca (GIM) yang digagas oleh pemerintah pusat bersama pemerintah
daerah, tentunya diperlukan usaha dalam meningkatkan jumlah buku, jumlah
penulis dan mutu buku itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kegiatan
menulis perlu didahulukan daripada kegiatan membaca karena dengan menulis warga
belajar akan terdorong secara langsung maupun tidak langsung untuk belajar
membaca. Namun sebaliknya, banyak warga belajar yang hanya fokus pada kegiatan
membaca berujung pada kemalasan atau keengganan dalam kegiatan menulis dan
merasa asing dengan kegiatan tulis menulis.

Masih banyak warga terutama
ibu-ibu rumah tangga di desa-desa miskin yang menjadi sumber kantong dengan
warga buta aksara yang masih asing dengan kegiatan baca tulis. Mengajak ibu-ibu
rumah tangga agar melek aksara juga bukan perkara mudah. Adat-istiadat sangat
berpengaruh kuat dan masih menjadi pembatas ruang gerak kaum perempuan. Angka
buta aksara pada kaum perempuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
laki-laki, yaitu 1.157.703 orang laki-laki, dan 2.258.990 orang perempuan. Antara
kemiskinan dan buta aksara juga saling berkelindan. Kemiskinan masih menjadi
faktor utama penyebab masalah buta aksara di Indonesia. Pun sebaliknya, apabila
kemampuan baca tulis masyarakat baik, kondisi ekonomi masyarakat juga ikut
membaik. Kabupaten yang berlokasi di daerah pelosok atau yang tak terjangkau
modernisasi banyak yang menjadi daerah-daerah “merah” yaitu daerah yang memiliki
persentase buta aksara di atas 4 persen.

Baca Juga :  KADIN Kalteng Peduli, Bagikan Ratusan APD dan Sembako

Bahkan di Desa Sukaluyu di kaki Gunung
Salak, Bogor yang hanya berjarak 75 kilometer dari Jakarta masih dapat
ditemukan beberapa warga yang buta aksara. Lebih-lebih pada masyarakat adat
khusus atau terpencil di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (daerah 3T)
tentu semakin banyak ditemukan warganya yang buta aksara. Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari Bidang Organisasi Kaderisasi Keanggotaan Aliansi Masyarakat
Adat Nasional (AMAN) cabang Hulu Sungai Tengah, 75 persen warga Desa Kiyu masih
buta aksara dan di Kecamatan Batang Alai Timur tercatat 28 balai adat dengan 50
persen warganya buta aksara. Demikian pula yang terjadi pada beberapa warga
adat Dayak Meratus di Dusun Linau, Desa Pembakulan. Komunitas adat menjadi
kelompok yang masalah buta aksaranya sulit untuk diatasi karena banyak yang
memilih untuk tidak mau bersekolah atau menolak belajar membaca. Contohnya
adalah kelompok suku Badui Dalam atau Urang Kanekes yang menganggap bahwa
pendidikan formal bertentangan dengan adat istiadat dan budaya mereka.

Kementerian Pendidikan telah
merumuskan upaya penuntasan buta aksara dengan memprioritaskan pada daerah 3T,
masyarakat adat dan daerah-daerah “merah”. Sementara itu Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) yang
ditindaklanjuti dengan Permendiknas Nomor 35 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan GNP-PWB/PBA, dan Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan, maka
Kemendikbud melalui Direktorat Pembinaan Dikmas, menyediakan layanan kegiatan
pendidikan keaksaraan baik keaksaraan dasar yang merupakan kegiatan
pemberantasan buta aksara maupun keaksaraan usaha mandiri atau menu ragam
keaksaraan lainnya yang merupakan kegiatan pemeliharaan dan peningkatan
kemampuan keaksaraan.

Baca Juga :  Kiat Islami Dalam Menghadapi Covid-19

Sinergisitas pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengkampanyekan Gerakan Indonesia
Membaca dapat dilakukan dengan menciptakan kawasan desa inisiator pengembangan
budaya baca. Hal itu perlu dibarengi oleh komponen-komponen pendukung
pendidikan keaksaraan melalui bimbingan teknis (bimtek), pelatihan,
pendampingan, acuan-acuan, ragi belajar yang berkolaborasi dengan pemerintah
dan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan tak akan berjalan tanpa
kepedulian tinggi dari penyelenggara dan tutor dalam mengelola kelompok belajar
yang diikuti oleh semangat belajar yang kuat dari warga belajar serta
keberadaan dana.

Program pendidikan keaksaraan
adalah bentuk layanan pendidikan nonformal untuk membelajarkan warga yang buta
aksara, tidak tamat SD atau berekonomi lemah. Oleh karena itu selain membekali
warga belajar dengan kemampuan aksara dasar seperti membaca, menulis,
berhitung, dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia tetapi juga pengembangan
keterampilan. Pengembangan keterampilan diselenggarakan berdasarkan minat,
potensi, kebutuhan, pengalaman dan situasi sekitar warga belajar dengan
menciptakan desa vokasi untuk mengembangkan keterampilan bekerja (vocational).

Desa inisiator dapat dibentuk
dalam upaya mengembangkan budaya baca masyarakat dengan menginisiasi dan
menciptakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Kampung Literasi yang didukung
sarana ruang baca publik. Jangan biarkan makna belajar direduksi sedemikian
rupa sehingga menganggap bahwa belajar hanya di sekolah dan diajari oleh guru.
Belajar dapat dilakukan dimana saja, di rumah dan di lingkungan masyarakat. Motor
penggerak peningkatan mutu dan taraf hidup warga belajar dan masyarakat dapat
dilakukan dengan membumikan program pendidikan keaksaraan di masyarakat. ***

(Penulis adalah Pendidik, Pegiat
Literasi dan Penulis Buku Literasi vs Hoaks (2018))

PERADABAN diawali dengan munculnya keaksaraan yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat yang belajar akan mampu berfungsi sebagai penjaga budaya
sendiri yang tangguh. Tingkat melek aksara di Indonesia bahkan dunia terus
meningkat. Di Indonesia kini ada 23 provinsi yang telah berada di bawah angka
nasional masyarakat buta aksaranya. Hal ini sebagai bukti keberhasilan Indonesia
dengan pencapaian prestasi melebihi target Pendidikan Untuk Semua (PUS).

Pada 12 Maret 2019 yang lalu,
Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Abdul Kahar menerima
kunjungan delegasi Pakistan di Sekretariat Ditjen PAUD dan Dikmas, Jakarta.
Ternyata maksud dari kunjungan tersebut adalah berkaitan dengan sistem
pendidikan di Indonesia yang dianggap berhasil dalam memberantas buta aksara. Sementara
itu, capaian tahun 2017, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan
mencapai 97,93 persen, atau tinggal sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa
usia 15-59 tahun yang belum melek aksara (Badan Pusat Statistik dan Pusat Data
dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud).

Indonesia telah banyak melahirkan
generasi yang melek aksara, tetapi fondasi gerakan pemberdayaan masyarakat
sejatinya bukan sekadar pemberantasan buta aksara yang memprioritaskan pada
aspek baca, tulis dan hitung (calistung) semata. Tantangan dalam menghadapi era
revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 adalah bagaimana pengembangan
keterampilan sebagai pendidikan keaksaraan lanjutan atau keaksaraan usaha
mandiri (multi keaksaraan). Penumbuhkembangan keaksaraan dalam arti yang lebih
luas ini juga diatur dalam Permendikbud Nomor 42 Tahun 2015.

Dalam upaya menyukseskan Gerakan
Indonesia Membaca (GIM) yang digagas oleh pemerintah pusat bersama pemerintah
daerah, tentunya diperlukan usaha dalam meningkatkan jumlah buku, jumlah
penulis dan mutu buku itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kegiatan
menulis perlu didahulukan daripada kegiatan membaca karena dengan menulis warga
belajar akan terdorong secara langsung maupun tidak langsung untuk belajar
membaca. Namun sebaliknya, banyak warga belajar yang hanya fokus pada kegiatan
membaca berujung pada kemalasan atau keengganan dalam kegiatan menulis dan
merasa asing dengan kegiatan tulis menulis.

Masih banyak warga terutama
ibu-ibu rumah tangga di desa-desa miskin yang menjadi sumber kantong dengan
warga buta aksara yang masih asing dengan kegiatan baca tulis. Mengajak ibu-ibu
rumah tangga agar melek aksara juga bukan perkara mudah. Adat-istiadat sangat
berpengaruh kuat dan masih menjadi pembatas ruang gerak kaum perempuan. Angka
buta aksara pada kaum perempuan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
laki-laki, yaitu 1.157.703 orang laki-laki, dan 2.258.990 orang perempuan. Antara
kemiskinan dan buta aksara juga saling berkelindan. Kemiskinan masih menjadi
faktor utama penyebab masalah buta aksara di Indonesia. Pun sebaliknya, apabila
kemampuan baca tulis masyarakat baik, kondisi ekonomi masyarakat juga ikut
membaik. Kabupaten yang berlokasi di daerah pelosok atau yang tak terjangkau
modernisasi banyak yang menjadi daerah-daerah “merah” yaitu daerah yang memiliki
persentase buta aksara di atas 4 persen.

Baca Juga :  KADIN Kalteng Peduli, Bagikan Ratusan APD dan Sembako

Bahkan di Desa Sukaluyu di kaki Gunung
Salak, Bogor yang hanya berjarak 75 kilometer dari Jakarta masih dapat
ditemukan beberapa warga yang buta aksara. Lebih-lebih pada masyarakat adat
khusus atau terpencil di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (daerah 3T)
tentu semakin banyak ditemukan warganya yang buta aksara. Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari Bidang Organisasi Kaderisasi Keanggotaan Aliansi Masyarakat
Adat Nasional (AMAN) cabang Hulu Sungai Tengah, 75 persen warga Desa Kiyu masih
buta aksara dan di Kecamatan Batang Alai Timur tercatat 28 balai adat dengan 50
persen warganya buta aksara. Demikian pula yang terjadi pada beberapa warga
adat Dayak Meratus di Dusun Linau, Desa Pembakulan. Komunitas adat menjadi
kelompok yang masalah buta aksaranya sulit untuk diatasi karena banyak yang
memilih untuk tidak mau bersekolah atau menolak belajar membaca. Contohnya
adalah kelompok suku Badui Dalam atau Urang Kanekes yang menganggap bahwa
pendidikan formal bertentangan dengan adat istiadat dan budaya mereka.

Kementerian Pendidikan telah
merumuskan upaya penuntasan buta aksara dengan memprioritaskan pada daerah 3T,
masyarakat adat dan daerah-daerah “merah”. Sementara itu Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) yang
ditindaklanjuti dengan Permendiknas Nomor 35 Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan GNP-PWB/PBA, dan Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan, maka
Kemendikbud melalui Direktorat Pembinaan Dikmas, menyediakan layanan kegiatan
pendidikan keaksaraan baik keaksaraan dasar yang merupakan kegiatan
pemberantasan buta aksara maupun keaksaraan usaha mandiri atau menu ragam
keaksaraan lainnya yang merupakan kegiatan pemeliharaan dan peningkatan
kemampuan keaksaraan.

Baca Juga :  Kiat Islami Dalam Menghadapi Covid-19

Sinergisitas pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengkampanyekan Gerakan Indonesia
Membaca dapat dilakukan dengan menciptakan kawasan desa inisiator pengembangan
budaya baca. Hal itu perlu dibarengi oleh komponen-komponen pendukung
pendidikan keaksaraan melalui bimbingan teknis (bimtek), pelatihan,
pendampingan, acuan-acuan, ragi belajar yang berkolaborasi dengan pemerintah
dan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan tak akan berjalan tanpa
kepedulian tinggi dari penyelenggara dan tutor dalam mengelola kelompok belajar
yang diikuti oleh semangat belajar yang kuat dari warga belajar serta
keberadaan dana.

Program pendidikan keaksaraan
adalah bentuk layanan pendidikan nonformal untuk membelajarkan warga yang buta
aksara, tidak tamat SD atau berekonomi lemah. Oleh karena itu selain membekali
warga belajar dengan kemampuan aksara dasar seperti membaca, menulis,
berhitung, dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia tetapi juga pengembangan
keterampilan. Pengembangan keterampilan diselenggarakan berdasarkan minat,
potensi, kebutuhan, pengalaman dan situasi sekitar warga belajar dengan
menciptakan desa vokasi untuk mengembangkan keterampilan bekerja (vocational).

Desa inisiator dapat dibentuk
dalam upaya mengembangkan budaya baca masyarakat dengan menginisiasi dan
menciptakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Kampung Literasi yang didukung
sarana ruang baca publik. Jangan biarkan makna belajar direduksi sedemikian
rupa sehingga menganggap bahwa belajar hanya di sekolah dan diajari oleh guru.
Belajar dapat dilakukan dimana saja, di rumah dan di lingkungan masyarakat. Motor
penggerak peningkatan mutu dan taraf hidup warga belajar dan masyarakat dapat
dilakukan dengan membumikan program pendidikan keaksaraan di masyarakat. ***

(Penulis adalah Pendidik, Pegiat
Literasi dan Penulis Buku Literasi vs Hoaks (2018))

Terpopuler

Artikel Terbaru