28 C
Jakarta
Monday, April 21, 2025

Gangguan Mental Perawat saat Pandemi

PANDEMI Covid-19 membuat banyak korban. Bukan hanya masyarakat
awam, melainkan juga tenaga kesehatan, khususnya perawat. Berdasar data
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, hingga Agustus 2020, perawat
yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 727 orang dan meninggal 20 orang.

Hal itu membuat rumah sakit (RS)
mulai kekurangan tenaga perawat. Beban kerja perawat menjadi meningkat dan
rawan tertekan secara psikologis. Hal ini menyebabkan tingginya kebutuhan
kesehatan mental emosional perawat di RS. Program pemerintah dengan memberikan
tunjangan dan penghargaan lain menjadi salah satu suntikan moril dan materiil
bagi mereka.

Profesi keperawatan mengajarkan
untuk memiliki jiwa penuh kasih dan ikhlas melayani sesama. Perawat bertanggung
jawab untuk menjaga kesehatan keluarga agar tidak tertular Covid-19 saat di
rumah. Di sisi lain, perawat memiliki tantangan dalam melakukan perawatan di RS
seperti interaksi emosional, psikologis yang intens dan berkelanjutan dengan
pasien, keluarga, serta penunggu lainnya.

Gangguan mental dapat berbentuk
cemas, khawatir berlebihan, takut, mudah tersinggung, sulit konsentrasi, ragu
atau merasa rendah diri, kecewa, pemarah, dan agresif. Reaksi fisik dapat
berupa jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala, gangguan regulasi hormonal,
hipertensi, diabetes melitus, asam urat, kolesterol, dan masalah imunologis
lainnya.

Perubahan suasana mental
emosional, merupakan sebuah gangguan yang berdampak pada gangguan fisik dan
jarang disadari oleh penderitanya. Perawat saat terganggu mental emosionalnya
tidak akan datang ke faskes untuk berobat karena mereka tidak menyadari
mengalami gangguan ini. Mereka hanya merasa kurang nyaman, tidak tahu harus
bagaimana, harus berbuat apa, mulai dari mana. Perut lapar, tetapi tidak ingin
makan. Ngantuk, tetapi tidak bisa tidur. Di keramaian ingin menyepi, di
kesepian ingin mencari keramaian, dan sebagainya. Akibatnya, banyak pekerjaan
yang tertunda, kualitas kerja terganggu, kualitas hidup terganggu, dan
produktivitas terganggu.

Covid-19 adalah virus yang baru
diidentifikasi dan bukti masih bermunculan tentang dampak patofisiologis dan
epidemiologi serta implikasi demografis dari pandemi. Faktor-faktor perawat
mengalami status gangguan mental, stres, kecemasan, gejala depresi, insomnia,
penyangkalan, kemarahan, dan ketakutan disebabkan mereka memiliki risiko tinggi
potensi terinfeksi virus, perlindungan yang tidak memadai, jam kerja yang
panjang, kelelahan fisik dan mental, diskriminasi, isolasi, perawatan pasien
yang kompleks, dan kurangnya kontak dengan keluarga semakin menambah rentetan
penyebab stres perawat.

Baca Juga :  TIM URC Kawal Ketat Proses Pemakaman Jenazah Suspek

RS bukan lagi menjadi garis
depan, tetapi garis akhir pertahanan untuk melawan Covid-19. Pemerintah
memutuskan berbagai langkah konkret untuk mencegah penularan seperti kampanye
sering mencuci tangan pakai sabun, bermasker saat keluar rumah, menghindari
sentuhan, jangan sentuh area wajah, etika bersin dan batuk, hindari berbagi
barang pribadi, bersihkan perabot rumah menggunakan disinfektan, physical distancing, selalu mencuci bahan
makanan, dan tingkatkan imunitas tubuh. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
juga telah dilaksanakan.

Hal itu dilakukan untuk
mengurangi penularan secara masif dan sangat membantu tenaga kesehatan,
khususnya perawat, untuk lebih efektif menangani pasien Covid-19.

Kemampuan adaptasi psikososial
perawat dipengaruhi oleh penilaian terhadap stresor dan kondisi orang yang
menilai. Tujuan akhirnya adalah hadapi atau lari dari kenyataan (fight or flight). Penilaian terhadap
stresor ditentukan oleh kondisi pikiran, perasaan, fisiologis tubuh, perilaku,
dan keadaan lingkungan sekitar.

Kondisi orang yang menilai
dipengaruhi oleh kebiasaan personal, dukungan sosial, kepemilikan aset materi,
dan keyakinan positif.

Menurut hemat saya, tambahkan
nilai-nilai spiritual yang dapat memperkuat meaning of lifes karena prinsip
keyakinan spiritual akan berupaya mempertahankan keharmonisan, keselarasan
dengan dunia luar. Keyakinan spiritual menjadi motivator internal dalam
berjuang untuk menjawab, mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi musibah,
penyakit fisik, stres emosional, keterasingan sosial, bahkan ketakutan
menghadapi ancaman kematian.

Solusi mencegah terjadinya
gangguan mental emosional perawat selama pandemi, adalah melatih kemampuan
adaptasi, bangun pikiran, perasaan, dan kebiasaan hidup positif, dapatkan
dukungan sosial, serta perkuat keyakinan spiritual yang akan membantu menemukan
makna hidup. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya
masing-masing untuk bersama berjuang melawan pandemi. Biarlah kita terhindar
dari masalah gangguan mental emosional dan tetap sehat jiwa.

Baca Juga :  Perkuat Karakter Destinasi dan SDM

Di sisi lain, ini menjadi koreksi
bersama terhadap pembentukan kurikulum pendidikan perawat di masa depan bahwa
pengendalian emosional menjadi fundamental dalam teori dan praktik keperawatan.

Jiwa yang sehat memang sulit
didefinisikan. Menurut UU RI No 18 Tahun 2014, sehat jiwa adalah suatu kondisi
saat individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.

WHO memberikan kriteria sehat
jiwa adalah orang yang dapat (1) menyesuaikan diri secara konstruktif pada
kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk; (2) merasa bebas secara relatif dari
ketegangan dan kecemasan; (3) memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan
hidupnya; (4) merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima; (5)
berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan; (6)
mempunyai daya kasih sayang yang besar; (7) menerima kekecewaan untuk digunakan
sebagai pelajaran di kemudian hari; dan (8) mengarahkan rasa permusuhan pada
penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.

Jiwa sebagai sistem perilaku,
indikator kesehatannya adalah berfungsinya diri pada kehidupan nyata pada
lingkungan. Jiwa yang sehat adalah soal menjaga perasaan, jangan sampai menyinggung
atau melukai perasaan yang lain. Menjaga pikiran untuk tetap konsisten pada
pikiran posisitif, apa yang ada dalam pikiran akan menentukan makna hidup,
sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain. Jagalah
perilaku agar tetap selaras dan seimbang dengan lingkungan. Salam sehat jiwa.
(*)

(Penulis adalah Guru besar
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga)

PANDEMI Covid-19 membuat banyak korban. Bukan hanya masyarakat
awam, melainkan juga tenaga kesehatan, khususnya perawat. Berdasar data
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, hingga Agustus 2020, perawat
yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 727 orang dan meninggal 20 orang.

Hal itu membuat rumah sakit (RS)
mulai kekurangan tenaga perawat. Beban kerja perawat menjadi meningkat dan
rawan tertekan secara psikologis. Hal ini menyebabkan tingginya kebutuhan
kesehatan mental emosional perawat di RS. Program pemerintah dengan memberikan
tunjangan dan penghargaan lain menjadi salah satu suntikan moril dan materiil
bagi mereka.

Profesi keperawatan mengajarkan
untuk memiliki jiwa penuh kasih dan ikhlas melayani sesama. Perawat bertanggung
jawab untuk menjaga kesehatan keluarga agar tidak tertular Covid-19 saat di
rumah. Di sisi lain, perawat memiliki tantangan dalam melakukan perawatan di RS
seperti interaksi emosional, psikologis yang intens dan berkelanjutan dengan
pasien, keluarga, serta penunggu lainnya.

Gangguan mental dapat berbentuk
cemas, khawatir berlebihan, takut, mudah tersinggung, sulit konsentrasi, ragu
atau merasa rendah diri, kecewa, pemarah, dan agresif. Reaksi fisik dapat
berupa jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala, gangguan regulasi hormonal,
hipertensi, diabetes melitus, asam urat, kolesterol, dan masalah imunologis
lainnya.

Perubahan suasana mental
emosional, merupakan sebuah gangguan yang berdampak pada gangguan fisik dan
jarang disadari oleh penderitanya. Perawat saat terganggu mental emosionalnya
tidak akan datang ke faskes untuk berobat karena mereka tidak menyadari
mengalami gangguan ini. Mereka hanya merasa kurang nyaman, tidak tahu harus
bagaimana, harus berbuat apa, mulai dari mana. Perut lapar, tetapi tidak ingin
makan. Ngantuk, tetapi tidak bisa tidur. Di keramaian ingin menyepi, di
kesepian ingin mencari keramaian, dan sebagainya. Akibatnya, banyak pekerjaan
yang tertunda, kualitas kerja terganggu, kualitas hidup terganggu, dan
produktivitas terganggu.

Covid-19 adalah virus yang baru
diidentifikasi dan bukti masih bermunculan tentang dampak patofisiologis dan
epidemiologi serta implikasi demografis dari pandemi. Faktor-faktor perawat
mengalami status gangguan mental, stres, kecemasan, gejala depresi, insomnia,
penyangkalan, kemarahan, dan ketakutan disebabkan mereka memiliki risiko tinggi
potensi terinfeksi virus, perlindungan yang tidak memadai, jam kerja yang
panjang, kelelahan fisik dan mental, diskriminasi, isolasi, perawatan pasien
yang kompleks, dan kurangnya kontak dengan keluarga semakin menambah rentetan
penyebab stres perawat.

Baca Juga :  TIM URC Kawal Ketat Proses Pemakaman Jenazah Suspek

RS bukan lagi menjadi garis
depan, tetapi garis akhir pertahanan untuk melawan Covid-19. Pemerintah
memutuskan berbagai langkah konkret untuk mencegah penularan seperti kampanye
sering mencuci tangan pakai sabun, bermasker saat keluar rumah, menghindari
sentuhan, jangan sentuh area wajah, etika bersin dan batuk, hindari berbagi
barang pribadi, bersihkan perabot rumah menggunakan disinfektan, physical distancing, selalu mencuci bahan
makanan, dan tingkatkan imunitas tubuh. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
juga telah dilaksanakan.

Hal itu dilakukan untuk
mengurangi penularan secara masif dan sangat membantu tenaga kesehatan,
khususnya perawat, untuk lebih efektif menangani pasien Covid-19.

Kemampuan adaptasi psikososial
perawat dipengaruhi oleh penilaian terhadap stresor dan kondisi orang yang
menilai. Tujuan akhirnya adalah hadapi atau lari dari kenyataan (fight or flight). Penilaian terhadap
stresor ditentukan oleh kondisi pikiran, perasaan, fisiologis tubuh, perilaku,
dan keadaan lingkungan sekitar.

Kondisi orang yang menilai
dipengaruhi oleh kebiasaan personal, dukungan sosial, kepemilikan aset materi,
dan keyakinan positif.

Menurut hemat saya, tambahkan
nilai-nilai spiritual yang dapat memperkuat meaning of lifes karena prinsip
keyakinan spiritual akan berupaya mempertahankan keharmonisan, keselarasan
dengan dunia luar. Keyakinan spiritual menjadi motivator internal dalam
berjuang untuk menjawab, mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi musibah,
penyakit fisik, stres emosional, keterasingan sosial, bahkan ketakutan
menghadapi ancaman kematian.

Solusi mencegah terjadinya
gangguan mental emosional perawat selama pandemi, adalah melatih kemampuan
adaptasi, bangun pikiran, perasaan, dan kebiasaan hidup positif, dapatkan
dukungan sosial, serta perkuat keyakinan spiritual yang akan membantu menemukan
makna hidup. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya
masing-masing untuk bersama berjuang melawan pandemi. Biarlah kita terhindar
dari masalah gangguan mental emosional dan tetap sehat jiwa.

Baca Juga :  Perkuat Karakter Destinasi dan SDM

Di sisi lain, ini menjadi koreksi
bersama terhadap pembentukan kurikulum pendidikan perawat di masa depan bahwa
pengendalian emosional menjadi fundamental dalam teori dan praktik keperawatan.

Jiwa yang sehat memang sulit
didefinisikan. Menurut UU RI No 18 Tahun 2014, sehat jiwa adalah suatu kondisi
saat individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.

WHO memberikan kriteria sehat
jiwa adalah orang yang dapat (1) menyesuaikan diri secara konstruktif pada
kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk; (2) merasa bebas secara relatif dari
ketegangan dan kecemasan; (3) memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan
hidupnya; (4) merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima; (5)
berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan; (6)
mempunyai daya kasih sayang yang besar; (7) menerima kekecewaan untuk digunakan
sebagai pelajaran di kemudian hari; dan (8) mengarahkan rasa permusuhan pada
penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.

Jiwa sebagai sistem perilaku,
indikator kesehatannya adalah berfungsinya diri pada kehidupan nyata pada
lingkungan. Jiwa yang sehat adalah soal menjaga perasaan, jangan sampai menyinggung
atau melukai perasaan yang lain. Menjaga pikiran untuk tetap konsisten pada
pikiran posisitif, apa yang ada dalam pikiran akan menentukan makna hidup,
sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain. Jagalah
perilaku agar tetap selaras dan seimbang dengan lingkungan. Salam sehat jiwa.
(*)

(Penulis adalah Guru besar
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga)

Terpopuler

Artikel Terbaru