Site icon Prokalteng

Kisruh Sistem Zonasi

kisruh-sistem-zonasi

SETELAH diberlakukannya Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru disingkat PPDB, kisruh terkait sistem zonasi
berlanjut dari tahun lalu. Tahun ini, kisruh ini menandingi kehebohan sidang
sengketa Pilpres 2019.

Kekisruhan ini diikuti dengan
demo di berbagai daerah. Ada demo yang mendesak agar Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) merevisi pasal 16 Permendikbud No. 51/2018 tentang
Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di daerah lain, sejumlah orang
tua kecewa anaknya tersingkir dari sekolah terdekat karena banyak siswa yang
masuk melalui surat rekomendasi pejabat dan anggota dewan.

Di tempat lain, ada orang tua
yang merasa dirugikan karena kualitas semua sekolah negeri di daerah belum
sama, sehingga orang tua berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke “sekolah
unggulan/favorit”. Di provinsi lain, PPDB dihentikan sementara sampai ada
keputusan Mendikbud karena diprotes orang tua murid yang kesulitan mendaftarkan
anaknya.

Berdasarkan sistem zonasi yang
ditetapkan oleh Mendikbud, seleksi penerimaan siswa baru didasarkan pada jarak
rumah ke sekolah. Sekolah negeri harus menerima calon siswa yang tinggal di
wilayah yang sama, dengan persentase minimal 90 persen dari daya tampung
sekolah. Di luar zonasi, siswa dapat masuk melalui jalur prestasi atau jalur
perpindahan tugas orang tua/wali, dengan kuota masing-masing maksimal 5 persen
dari daya tampung sekolah.

Namun, Mendikbud menekankan bahwa
sistem zonasi tidak sekedar diterapkan pada PPDB, tapi juga pada kurikulum,
sebaran guru, dan ketersediaan sarana-prasarana.

Preferensi atas “sekolah
unggulan/favorit” karena umumnya sekolah semacam ini memiliki sarana dan
prasarana yang mamadai, memiliki siswa-siswi berprestasi, sehingga menjadi
bergengsi jika dapat memasukinya. Sistem zonasi diberlakukan antara lain untuk
menghapuskan sekolah berlebel seperti ini, sebagaimana filosofinya, pendidikan
untuk semua tanpa terkecuali.

Sayangnya, sistem zonasi ini
belum ditunjang kurikulum yang mumpuni, guru yang menyebar, sarana dan
prasarana yang merata di setiap sekolah, sehingga memperjelas kesenjangan
pendidikan antar daerah. Oleh karenanya, sistem zonasi seharusnya mendorong
kesadaran setiap pemerintah daerah untuk membenahi pendidikan di daerahnya
masing-masing. Salah satu contoh penyebab ketidakmerataan adalah penyaluran
bantuan pendidikan oleh pemerintah daerah yang belum merata, terkadang bantuan
pemerintah diberikan pada sekolah tertentu saja meskipun telah mamadai,
sementara sekolah lain terabaikan.

Kekisruhan sistem zona ini
kemudian dikaitkan dengan berbagai hal. Salah satu yang terheboh adalah
berkaitan dengan jodoh. Ini cukup meresahkan para joblowan dan joblowati jika
ini jadi diberlakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Kegalauan mereka juga
serupa dengan para siswa/orang tua jika pujaan hati tidak berdomisili di zonasi
yang sama. Prestasi apa yang harus ditunjukkan agar dapat menikah dengan calon
yang beda zonasi, atau apakah yang bersangkutan harus meminta orang tua/walinya
untuk pindah tugas demi dapat menikah dengan calonnya. Orang pintar, minum
tolak angin! (*)

Exit mobile version