PERSAINGAN pasar global tidak saja didominasi
kemampuan suatu negara dalam melakukan ekspansi sumber daya alam dan volume
produksi. Namun saat ini dengan perkembangan era revolusi Industri 4.0 yang
begitu cepat, pasar global membutuhkan SDM berkualitas high-tech berbasis
generasi milenial. SDM unggul saat ini menjadi faktor pengungkit kecepatan
berinovasi kekuatan ekomomi makro suatu negara.
Fenomena di sejumlah negara-negara dikenal Macan Asia percepatan
pembangunan high-tech selalu didukung maksimal dengan jumlah enginerr yang
terus mengalami peningkatan. Pertanyaan adalah mengapa jumlah enginerr di
Indonesia tak turut meningkat, ketika Asia kian gegap gemita dengan percepatan
pembangunan industri high-technya. Dan bagaimana hal itu berkorelasi terhadap
kian turunnya daya saing negeri ini ?.
Sangat menarik untuk digarisbawahi ketika Presiden Jokowi dalam momentum 17
Agustus 2019 menegaskan, kita butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat
kita bisa melompat dan mendahului bangsa lain. Kita butuh
terobosan-terobosan, jalan pintas yang cerdik, yang mudah, yang cepat.
Kita butuh SDM-SDM unggul yang berhati Indonesia,
berideologi Pancasila. Disisi lain, kita juga menghadapi persoalan kompetensi
secara makro. Berdasarkan riset ASO College Group dari Jepang, pada tahun 2015,
ketersedian sarjana teknik di Indonesia sebanyak 37.000 orang per tahun.
Padahal, setiap tahun idealnya dibutuhkan sekitar 57.000 orang. Sementara itu,
pada periode 2015-2020 diperkirakan dibutuhkan rata-rata 90.500 per tahun.
Artinya, Indonesia membutuhkan tambahan sumber daya muda untuk mengejar
ketertinggalan itu. Posisi mereka sebagai kunci penggerak utama dunia industri.
Tanpa kita sadari lompatan sejumlah negara Asia yang semakin cepat telah
menurunkan aktivitas nilai tambah di
wahana industri dalam negeri, tenaga ahli dan tenaga kerja terampil yang
berpotensi besar kehilangan kesempatan untuk mengambil momentum evolusi proses
desain, rekayasa dan manufaktur. Hal ini
pada gilirannya terkoneksi perlambatan proses nilai tambah menghasilkan
produk-produk berkualitas tinggi yang pada gilirannya menurunkan daya saing
negara secara keseluruhan.
Momentum gaung Indonesia membangun SDM berkualitas tentunya bukan tanpa
argumentasi mendasar dari seorangan pemimpin. Louis Allen mengemukan secara
genial, “The great question of out times is how to reconcile and integrate
human effort so people everywhere can work good and not their common disaster.
The answer lagerly upon on the capabilities of leaders in all position in all
segments of society†(1964:1). Bangsa di Asia yang menjadi Macan Asia tidak
terlepas dari energy visoner kepemimpinan pemimpinannya yang menentukan apakah
sebuah bangsa menjadi besar atau kerdil.
Dalam situasi kegiatan industri negara kita lesu, tidak menutup kemungkinan
memunculkan gelombang migrasi tenaga ahli dan talenta kita apalagi genarasi
milenial untuk memilih berkiprah ke luar negeri karena pangsa pasar global
membuka akses luas kebutuhan sumber daya high-tech. Untuk menjawab persoalan
ini perlu dibuatkan visi jangka pendek dan menengah berorentasi kuat
mementingkan investasi infrastruktur Iptek yang terkoneksi dari jenjang
pendidikan hingga perguruan tinggi yang saling terkait dengan semua lembaga
memproduk barang dan jasa yang memiliki nilai inovasi.
Sudah saatnya negara meninggalkan orientasi narasi keungulan sumber daya
alam yang selalu muncul mewarnai buku pelajaran dan pola ajar di sekolah.
Penyederhaan narasi ini sangat perlu dilakukan agar kita tidak larut dalam
kesulitan permanen untuk memperbaiki posisi daya saing bangsa. Sudah saatnya
Indonesia maju dalam mengembangkan pabrik cerdas melalui brain gain policy satu
kesatuan SDM Unggul agar dapat menghimpun potensi anak bangsa dalam hal sains,
teknologi dan inovasi di era revolusi industri 4.0. (*)
(Peneliti Studi Ekonomi Politik Pembangunan Wilayah)