32.1 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

‘Pesaing Baru’ Muhammadiyah

BERDASAR penanggalan Miladiyah atau Masehi, usia
Muhammadiyah sudah lebih dari seabad, tepatnya 107 tahun pada 18 November 2019.
Yang dipelopori Kiai Ahmad Dahlan pada lebih dari seratus tahun lalu (1912) itu
kini sudah menjadi tradisi sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini.

Aksi-aksi kemanusiaan berlandasan cinta kasih, yang membuat dr Soetomo
kepincut dan menjadi pengikut Muhammadiyah, sudah biasa dilakukan berbagai
komunitas muslim negeri ini. Pembagian daging kurban kepada fakir miskin serta
zakat fitrah dan zakat maal bukan hanya tradisi gerakan ini.

Apakah tujuan pemberantasan kemiskinan terpenuhi? Sebuah pertanyaan yang
belum terjawab ketika daging seberat 1–2 kg itu habis disate atau dijual untuk
membeli beras. Nilai daging hewan kurban secara nasional yang bisa Rp 20
triliun itu bisa lebih memberdayakan kaum duafa jika dikelola secara lebih
produktif. Tidak hanya dibagikan untuk habis dikunyah hanya dalam beberapa
menit.

Masihkah jiwa ijtihad supercerdas dan disruptif dalam diri elite gerakan
modernis terkemuka di dunia itu berani menawarkan tata kelola baru bekerja sama
dengan pengusaha restoran penampung daging kurban? Sementara aktivis gerakan
ini ’’merasa’’ terancam dan ’’disaingi’’ ketika warga negeri ini meniru apa
yang dilakukan Muhammadiyah, akibat aktivis gerakan ini terperangkap pada
bentuk AUM, bukan pada isi amal usaha tersebut.

Apa yang dipelopori Kiai Dahlan kini sudah berkembang menjadi tradisi
sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini (yang antara lain membuat dr Soetomo dan
Presiden Pertama Ir Soekarno kepincut). Sebut saja sistem pendidikan; tata
kelola kurban, haji, masjid, dan kedermawanan sosial; musala di tempat umum; santunan
kepada kaum duafa; hingga taklim di ruang publik (semula dakwah dan kegiatan
orang menuntut ilmu terbatas di pesantren atau masjid).

Di tiap daerah, Muhammadiyah memiliki sekolah favorit di semua tingkat,
mulai PAUD hingga perguruan tinggi, yang di mata publik dipandang unggul. Pada
saat yang sama, ketika sekolah modern sudah menjadi kebutuhan publik, muncul
sekolah model ’’baru’’ yang terlihat asal beda dengan sekolah Muhammadiyah.
Sekolah ’’baru’’ itu umumnya dikelola aktivis gerakan atau orang yang mempunyai
hubungan kultural dengan gerakan Muhammadiyah. Karena ’’baru’’, kemudian tampak
lebih menarik. Sementara praktik AUM cenderung statis tanpa perubahan yang
menjanjikan harapan.

Baca Juga :  Poltekkes Palangka Raya Resmikan Gedung Baru

Pada era milenial disruptif nanti berkembang sekolah tanpa gedung dengan
beberapa guru atau dosen. Banyak sekolah milik gerakan ini yang akan gulung
tikar seperti dulu dialami saat berkembang SD inpres, SMP, dan SMA negeri yang
bertebaran di berbagai kawasan. Bersama kosongnya gedung tanpa murid, sejumlah
guru atau dosen kehilangan murid, harus dihadapi Muhammadiyah.

Budaya Dakwah Luar Ruang

Dakwah sebenarnya merupakan kegiatan edukasi luar ruang, sedangkan praktik
pendidikan lebih bekerja dalam ruang. Secara keseluruhan merupakan kegiatan
budaya, yaitu suatu kegiatan yang berfokus pada pengembangan mental atau cara
pandang dan sikap hidup. Demikian pula halnya dengan Muhammadiyah.

Muhammadiyah merupakan gerakan budaya yang sering disalahpahami, bahkan
oleh aktivisnya sendiri. Seluruh kegiatan gerakan ini merupakan inovasi kreatif
yang sulit dicari padanannya pada masa lalu (lihat prasaran gerakan ini pada
Kongres Islam Cirebon 1921 dalam laporan tahun ke-9 tahun 1922).

Pendidikan atau dakwah adalah proses sosial-budaya untuk mengembangkan atau
mengubah tata pikir dan tata kelola kehidupan secara bertahap. Tahapan-tahapan
itu bagai spiral yang diwadahi atau dilembagakan dalam regulasi melalui syariah
(fiqh, dalam gerakan ini diperankan oleh tarjih). Salah satu orientasi
Muhammadiyah yang tidak banyak disadari aktivisnya adalah perubahan tata pikir
manusia (umat) dan tata kelola kehidupan berbasis ajaran Islam.

Kini secara kultural pemeluk Islam negeri ini adalah pengikut Muhammadiyah.
Lihat saja model dakwah luar ruang (taklim), musala di ruang publik (bandara,
stasiun, terminal, pasar), minat pendidikan, sikap sadar kesehatan, serta tata
kelola sosio-ritual seperti zakat, infak, sedekah, ibadah kurban, salat tarwih,
dan haji.

Baca Juga :  Breaking News: Satu Orang di Pangkalan Bun Positif Covid-19

Sayang, saat ini masih banyak aktivis gerakan Muhammadiyah yang
terperangkap pada aksi memberantas takhayul, bidah, dan churafat (TBC).
Sementara pada saat yang sama, TBC sudah menjadi tradisi untuk berbagai fungsi
sosial-ekonomi-budaya seperti wisata religi, media edukasi, bahkan komunikasi
politik dan ekonomi.

Pembelajar Alternatif
”Mletik”

Perlu pembelajaran model baru yang lebih bermutu, produktif, dan spiritual
yang memicu anak-anak muda agar ’’mletik’’ (loncatan kuantum) daya kreatifnya.
Suatu model milenialis, memanfaatkan model boarding school (BS) atau madrasah
boarding school (MBS) sebagai media percepatan atau akselerasi. Misalnya, SD
cukup 4 tahun, SMP 2 tahun, SMA/SMK 2 tahun.

Melalui apa yang disebut MBS Prambanan, kegiatan amal baksi sosial (ABS)
bisa dikembangkan dengan pelatihan kecakapan hidup mandiri, baik di bidang
sosial-ekonomi maupun bidang ubudiah, dengan memanfaatkan kemampuan pelatihan
kepanduan Hizbul Wathan.

Sintesis pembelajaran boarding school atau madrasah boarding school,
homeschooling, sekolah alam, kuttab, mengikuti jenjang KKNI bagi pembelajaran
lebih produktif, efektif, dan efisien. Sistematisasi majelis taklim
distandardisasi seperti kejar paket hingga model universitas terbuka.

Basis epistemologinya ialah kecerdasan spiritual (makrifat) menemukan clue
kekuatan inti pembelajar berupa god spot sehingga seperti hikmah Jawa dalam
melukiskan wong linuwih “jalmo limpat
seprapat prasasat tamat”. Artinya, orang arif diberi 25 persen sama dengan 100
persen sehingga membuat seseorang “mletik”.

Kesuksesan pembelajaran bukan ditentukan kuantitas jam, fasilitas, dan
bahan ajar lebih. Melainkan menghasilkan kualitas prima melalui jam, fasilitas,
dan bahan ajar terbatas serta input siswa kualitas rendah.

Dalam milad ke-107, sudah waktunya Muhammadiyah membangkitkan kembali
ijtihad supercerdas (kecerdasan spiritual) yang ’’disruptif’’, mengembangkan
kesalehan lebih humanis berbasis Asas PKOe yang bebas perangkap konversi
keagamaan. Dari situ, Muhammadiyah diharapkan bisa memandu warga dan umat
meniti jalan renaisans bagi kesejahteraan bangsa dan kemanusiaan global yang
lebih saleh. (*)

(Penulis adalah Guru besar
emeritus Universitas Muhammadiyah Surakarta)

BERDASAR penanggalan Miladiyah atau Masehi, usia
Muhammadiyah sudah lebih dari seabad, tepatnya 107 tahun pada 18 November 2019.
Yang dipelopori Kiai Ahmad Dahlan pada lebih dari seratus tahun lalu (1912) itu
kini sudah menjadi tradisi sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini.

Aksi-aksi kemanusiaan berlandasan cinta kasih, yang membuat dr Soetomo
kepincut dan menjadi pengikut Muhammadiyah, sudah biasa dilakukan berbagai
komunitas muslim negeri ini. Pembagian daging kurban kepada fakir miskin serta
zakat fitrah dan zakat maal bukan hanya tradisi gerakan ini.

Apakah tujuan pemberantasan kemiskinan terpenuhi? Sebuah pertanyaan yang
belum terjawab ketika daging seberat 1–2 kg itu habis disate atau dijual untuk
membeli beras. Nilai daging hewan kurban secara nasional yang bisa Rp 20
triliun itu bisa lebih memberdayakan kaum duafa jika dikelola secara lebih
produktif. Tidak hanya dibagikan untuk habis dikunyah hanya dalam beberapa
menit.

Masihkah jiwa ijtihad supercerdas dan disruptif dalam diri elite gerakan
modernis terkemuka di dunia itu berani menawarkan tata kelola baru bekerja sama
dengan pengusaha restoran penampung daging kurban? Sementara aktivis gerakan
ini ’’merasa’’ terancam dan ’’disaingi’’ ketika warga negeri ini meniru apa
yang dilakukan Muhammadiyah, akibat aktivis gerakan ini terperangkap pada
bentuk AUM, bukan pada isi amal usaha tersebut.

Apa yang dipelopori Kiai Dahlan kini sudah berkembang menjadi tradisi
sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini (yang antara lain membuat dr Soetomo dan
Presiden Pertama Ir Soekarno kepincut). Sebut saja sistem pendidikan; tata
kelola kurban, haji, masjid, dan kedermawanan sosial; musala di tempat umum; santunan
kepada kaum duafa; hingga taklim di ruang publik (semula dakwah dan kegiatan
orang menuntut ilmu terbatas di pesantren atau masjid).

Di tiap daerah, Muhammadiyah memiliki sekolah favorit di semua tingkat,
mulai PAUD hingga perguruan tinggi, yang di mata publik dipandang unggul. Pada
saat yang sama, ketika sekolah modern sudah menjadi kebutuhan publik, muncul
sekolah model ’’baru’’ yang terlihat asal beda dengan sekolah Muhammadiyah.
Sekolah ’’baru’’ itu umumnya dikelola aktivis gerakan atau orang yang mempunyai
hubungan kultural dengan gerakan Muhammadiyah. Karena ’’baru’’, kemudian tampak
lebih menarik. Sementara praktik AUM cenderung statis tanpa perubahan yang
menjanjikan harapan.

Baca Juga :  Poltekkes Palangka Raya Resmikan Gedung Baru

Pada era milenial disruptif nanti berkembang sekolah tanpa gedung dengan
beberapa guru atau dosen. Banyak sekolah milik gerakan ini yang akan gulung
tikar seperti dulu dialami saat berkembang SD inpres, SMP, dan SMA negeri yang
bertebaran di berbagai kawasan. Bersama kosongnya gedung tanpa murid, sejumlah
guru atau dosen kehilangan murid, harus dihadapi Muhammadiyah.

Budaya Dakwah Luar Ruang

Dakwah sebenarnya merupakan kegiatan edukasi luar ruang, sedangkan praktik
pendidikan lebih bekerja dalam ruang. Secara keseluruhan merupakan kegiatan
budaya, yaitu suatu kegiatan yang berfokus pada pengembangan mental atau cara
pandang dan sikap hidup. Demikian pula halnya dengan Muhammadiyah.

Muhammadiyah merupakan gerakan budaya yang sering disalahpahami, bahkan
oleh aktivisnya sendiri. Seluruh kegiatan gerakan ini merupakan inovasi kreatif
yang sulit dicari padanannya pada masa lalu (lihat prasaran gerakan ini pada
Kongres Islam Cirebon 1921 dalam laporan tahun ke-9 tahun 1922).

Pendidikan atau dakwah adalah proses sosial-budaya untuk mengembangkan atau
mengubah tata pikir dan tata kelola kehidupan secara bertahap. Tahapan-tahapan
itu bagai spiral yang diwadahi atau dilembagakan dalam regulasi melalui syariah
(fiqh, dalam gerakan ini diperankan oleh tarjih). Salah satu orientasi
Muhammadiyah yang tidak banyak disadari aktivisnya adalah perubahan tata pikir
manusia (umat) dan tata kelola kehidupan berbasis ajaran Islam.

Kini secara kultural pemeluk Islam negeri ini adalah pengikut Muhammadiyah.
Lihat saja model dakwah luar ruang (taklim), musala di ruang publik (bandara,
stasiun, terminal, pasar), minat pendidikan, sikap sadar kesehatan, serta tata
kelola sosio-ritual seperti zakat, infak, sedekah, ibadah kurban, salat tarwih,
dan haji.

Baca Juga :  Breaking News: Satu Orang di Pangkalan Bun Positif Covid-19

Sayang, saat ini masih banyak aktivis gerakan Muhammadiyah yang
terperangkap pada aksi memberantas takhayul, bidah, dan churafat (TBC).
Sementara pada saat yang sama, TBC sudah menjadi tradisi untuk berbagai fungsi
sosial-ekonomi-budaya seperti wisata religi, media edukasi, bahkan komunikasi
politik dan ekonomi.

Pembelajar Alternatif
”Mletik”

Perlu pembelajaran model baru yang lebih bermutu, produktif, dan spiritual
yang memicu anak-anak muda agar ’’mletik’’ (loncatan kuantum) daya kreatifnya.
Suatu model milenialis, memanfaatkan model boarding school (BS) atau madrasah
boarding school (MBS) sebagai media percepatan atau akselerasi. Misalnya, SD
cukup 4 tahun, SMP 2 tahun, SMA/SMK 2 tahun.

Melalui apa yang disebut MBS Prambanan, kegiatan amal baksi sosial (ABS)
bisa dikembangkan dengan pelatihan kecakapan hidup mandiri, baik di bidang
sosial-ekonomi maupun bidang ubudiah, dengan memanfaatkan kemampuan pelatihan
kepanduan Hizbul Wathan.

Sintesis pembelajaran boarding school atau madrasah boarding school,
homeschooling, sekolah alam, kuttab, mengikuti jenjang KKNI bagi pembelajaran
lebih produktif, efektif, dan efisien. Sistematisasi majelis taklim
distandardisasi seperti kejar paket hingga model universitas terbuka.

Basis epistemologinya ialah kecerdasan spiritual (makrifat) menemukan clue
kekuatan inti pembelajar berupa god spot sehingga seperti hikmah Jawa dalam
melukiskan wong linuwih “jalmo limpat
seprapat prasasat tamat”. Artinya, orang arif diberi 25 persen sama dengan 100
persen sehingga membuat seseorang “mletik”.

Kesuksesan pembelajaran bukan ditentukan kuantitas jam, fasilitas, dan
bahan ajar lebih. Melainkan menghasilkan kualitas prima melalui jam, fasilitas,
dan bahan ajar terbatas serta input siswa kualitas rendah.

Dalam milad ke-107, sudah waktunya Muhammadiyah membangkitkan kembali
ijtihad supercerdas (kecerdasan spiritual) yang ’’disruptif’’, mengembangkan
kesalehan lebih humanis berbasis Asas PKOe yang bebas perangkap konversi
keagamaan. Dari situ, Muhammadiyah diharapkan bisa memandu warga dan umat
meniti jalan renaisans bagi kesejahteraan bangsa dan kemanusiaan global yang
lebih saleh. (*)

(Penulis adalah Guru besar
emeritus Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Terpopuler

Artikel Terbaru