28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Nasib Penumpang

Semula publik internasional marah kepada
Kamboja. Negara yang kini lagi mengejar kemajuan tetangganya, Vietnam, itu
dianggap ceroboh. 

Dan membahayakan dunia. Gara-gara Kamboja-lah
virus Corona bisa menyebar ke seluruh dunia. Begitu tuduhan mereka.

Itu karena Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen,
mengizinkan kapal pesiar Westerdam berlabuh di negaranya. Lalu mengizinkan
sebagian penumpangnya pulang ke negara masing-masing.

Padahal salah satu penumpang Westerdam
terjangkit virus Corona. Itu diketahui setelah si penumpang transit di Kuala
Lumpur –dalam perjalanan bersama suaminyi pulang ke Amerika.

Kepanikan pun melanda banyak negara. ”Ini bisa
lebih dahsyat dari Diamond Princess,” sangka mereka.

Tapi sejak dua hari lalu kemarahan
internasional itu pindah ke Malaysia. Ternyata wanita berumur 83 tahun itu
tidak terkena virus Corona. Dia memang sakit tapi bukan Corona.

Padahal tiga hari sebelumnya Malaysia begitu
yakin. Malaysia mengumumkan wanita itu benar-benar terkena virus Corona.

Sampai-sampai Kamboja –yang lagi dipelototi
dunia– tidak bisa menerima hasil pemeriksaan di Malaysia itu.

Padahal Kamboja telanjur menjamin tidak ada
penumpang Westerdam yang positif virus Corona.

Kamboja pula yang membekali setiap penumpang
Westerdam sertifikat bebas Corona.

Maka itu Kamboja sewot ketika penumpang itu
tiba di bandara Kuala Lumpur dinyatakan positif Corona.

Kamboja pun secepat kilat mengirim surat resmi
ke Malaysia. Kamboja minta ada dilakukan tes sekali lagi. Hubungan
Kamboja-Malaysia sempat panas di balik selimut.

Malaysia pun melakukan tes ulang. Hasilnya
sama: wanita 83 tahun itu positif terkena virus Corona. Hanya suaminya, yang 85
tahun, tidak tertular. Mungkin sang suami sudah memiliki kekebalan di tubuhnya.

Kamboja sendiri juga melakukan tes ulang kepada
seluruh penumpang kapal. Yakni mereka yang masih menunggu nasib di dalam kapal
yang sandar di pelabuhan Kamboja. 

Hasilnya: tetap. Tidak ada yang terkena virus
Corona. 

Penumpang Westerdam yang sudah telanjur pulang
ke negara masing-masing ikut susah. Terutama sebelum ada berita baru dari
Malaysia.

Misalnya suami istri asal Wisconsin ini. Semula
sudah senang-ria. Mereka bisa naik pesawat dari Kamboja ke Wisconsin lewat
Dallas. Pesawat jurusan Phnom Penh-Dallas itu harus transit di Tokyo.

Setiba di Tokyo mereka dikejutkan
pemberitahuan: tiketnya ke Amerika tidak bisa dipakai. Itu karena mereka
penumpang Westerdam.

Mereka pun tertahan di bandara Tokyo. Dengan
pengawasan khusus. Setelah ada kabar baru dari Malaysia barulah mereka boleh
meneruskan perjalanan ke Dallas.

Baca Juga :  Infrastruktur Merata jadi Prioritas Kotim Bercahaya

Ups… Tidak bisa.

Tiket pesawatnya sudah hangus. Pesawat aslinya
sudah lama meninggalkan Tokyo.

Mereka harus cari pesawat lain. Itu berarti
harus membeli tiket baru. Menurut USA Today, suami-isteri itu harus keluar uang
sendiri. Sekitar Rp 70 juta.

Suami-isteri ini ikut menyalahkan Malaysia.

Demikian juga ratusan penumpang yang pilih
carter pesawat besar jarak jauh.

Dari Phnom Penh mereka ingin ke Amsterdam dulu
sama-sama. Dari Amsterdam baru cari pesawat sendiri-sendiri ke tujuan
masing-masing.

Manajemen Westerdam-lah yang mengusahakan
pesawat carteran itu: Turkish Airlines.

Westerdam juga menyertakan empat orang petugas.
Untuk ikut di dalam pesawat carteran itu. Mereka ditugaskan membantu
orang-orang tua di rombongan itu. Yang baru 17 hari terkatung-katung di atas
laut.

Pesawat pun diberangkatkan dari Phnom Penh.
Dari 268 penumpang, yang 250 orang warga Amerika dan Kanada.

Ketika pesawat carteran itu sampai di atas
udara Iran datanglah halilintar: Turki menolak didarati pesawat itu. Alasannya:
karena berisi penumpang eks kapal pesiar Westerdam –yang terjangkit virus
Corona. 

Rupanya berita baru dari Malaysia belum cukup
tersiar luas. Atau, berita pertamanya telanjur begitu meyakinkannya. 

Begitu ditolak mendarat di Istanbul ke mana
akan terbang?

Pesawat itu tidak mungkin langsung ke
Amsterdam. Bahan bakarnya tidak cukup.

Pilot pesawat itu pun membelokkan arah. Balik
kembali ke timur. Sambil sang pilot mencari akal: akan mendarat di mana dan
dengan alasan apa. 

Sang pilot lantas mengontak bandara Karachi,
Pakistan. Minta izin untuk bisa turun darurat di kota terbesar di Pakistan itu.

Alasannya: ada masalah teknik.

Pihak bandara pun mengizinkan.

Begitulah peraturan internasional.

Seperti Bandara Halim dulu. Yang juga
mengizinkan pesawat Boeing 747 British Airways mendarat darurat. Tengah malam
itu empat mesin pesawat jurusan London-Sydney itu mati semua. Yakni saat Gunung
Galunggung meletus. Abunya terbang begitu tinggi masuk ke semua mesin pesawat
itu.

Tapi petugas menara bandara Karachi menegaskan
satu hal: pesawat itu hanya bisa mengisi bahan bakar di Karachi. Tidak ada
fasilitas layanan lain apa pun.

Artinya: pesawat tidak akan bisa mendapat gate. Dan penumpang tidak bisa turun dari pesawat.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Itu saja sudah sangat baik. Daripada penumpang
harus terkatung-katung di udara –setelah 17 hari terkatung-katung di laut.

Pukul 9 malam pesawat pun mendarat di Karachi.

Persoalan menjadi rumit ketika diketahui para
penumpang itu adalah eks Westerdam.

Mulailah muncul tanda tanya. 

Ketika isi bahan bakar selesai pesawat tidak
boleh langsung terbang. Dan lagi juga belum jelas akan terbang ke mana.

Penumpang terus menunggu di dalam pesawat. Setelah
tertahan lebih 7 jam akhirnya happy ending:
Amsterdam bisa menerima mereka.

Bahan bakar pun sudah cukup. Tidak perlu
transit lagi di Istanbul.

Dari Amsterdam mereka menyebar ke negara
masing-masing.

Tiba di rumah mereka sudah tahu apa yang harus
dilakukan: secara suka rela mengarantina diri. Hanya tinggal di rumah. Selama
14 hari.

Mereka tahu diri. Masyarakat sekitar mencurigai
mereka habis-habisan –sebagai pembawa virus Corona.

Untuk keperluan makan pun anak atau keluarga
yang memasok. Tiap hari sang anak menaruh rantang di depan rumah. Lalu pergi.

Setelah si pengantar menjauh barulah tuan rumah
mengambil ransum itu untuk dimakan. 

Semua kesulitan itu gara-gara satu rumah sakit.
Namanya RS Sungai Buloh. Di Kuala Lumpur itu.

Rumah sakit itulah yang mengatakan wanita 83
tahun itu terkena virus Corona. Pun setelah dites ulang.

Padahal ternyata tidak.

Dua hari lalu Wakil Perdana Menteri Malaysia
Wan Azizah sendiri yang akhirnya mengumunkan: hasil tes di RS Sungai Buloh itu
salah.

Wanita 83 tahun itu memang sakit tapi bukan
terjangkit virus Corona.

Sampai kemarin keadaan pasien sudah kian baik.
Tapi masih belum keluar dari Sungai Buloh.

Yang ikut gembira adalah lebih 1.500 orang yang
masih berada di Westerdam. Yakni 747 awak kapal dan 781 penumpang.

Sebagian awak kapal itu dari Indonesia.
Sebagian sudah pulang. Bukan karena virus. Tapi kontrak kerja mereka memang
sudah habis.

Yang paling gembira tentunya Hun Sen. Yang
sempat dihujat dunia internasional. Terutama akibat perlawanannya terhadap
masker. ”Masker itu lebih menyebarkan ketakutan daripada virusnya sendiri,”
katanya (Disway: Gila Masker).

”Akhirnya keadilan tiba,” ujar siaran pers
pemerintah Kamboja –saking senangnya atas pengakuan terbaru dari Malaysia
itu. 

Tapi masih tetap belum tahu: ke mana kau hendak
pergi, Westerdam.(dahlan iskan)

 

Semula publik internasional marah kepada
Kamboja. Negara yang kini lagi mengejar kemajuan tetangganya, Vietnam, itu
dianggap ceroboh. 

Dan membahayakan dunia. Gara-gara Kamboja-lah
virus Corona bisa menyebar ke seluruh dunia. Begitu tuduhan mereka.

Itu karena Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen,
mengizinkan kapal pesiar Westerdam berlabuh di negaranya. Lalu mengizinkan
sebagian penumpangnya pulang ke negara masing-masing.

Padahal salah satu penumpang Westerdam
terjangkit virus Corona. Itu diketahui setelah si penumpang transit di Kuala
Lumpur –dalam perjalanan bersama suaminyi pulang ke Amerika.

Kepanikan pun melanda banyak negara. ”Ini bisa
lebih dahsyat dari Diamond Princess,” sangka mereka.

Tapi sejak dua hari lalu kemarahan
internasional itu pindah ke Malaysia. Ternyata wanita berumur 83 tahun itu
tidak terkena virus Corona. Dia memang sakit tapi bukan Corona.

Padahal tiga hari sebelumnya Malaysia begitu
yakin. Malaysia mengumumkan wanita itu benar-benar terkena virus Corona.

Sampai-sampai Kamboja –yang lagi dipelototi
dunia– tidak bisa menerima hasil pemeriksaan di Malaysia itu.

Padahal Kamboja telanjur menjamin tidak ada
penumpang Westerdam yang positif virus Corona.

Kamboja pula yang membekali setiap penumpang
Westerdam sertifikat bebas Corona.

Maka itu Kamboja sewot ketika penumpang itu
tiba di bandara Kuala Lumpur dinyatakan positif Corona.

Kamboja pun secepat kilat mengirim surat resmi
ke Malaysia. Kamboja minta ada dilakukan tes sekali lagi. Hubungan
Kamboja-Malaysia sempat panas di balik selimut.

Malaysia pun melakukan tes ulang. Hasilnya
sama: wanita 83 tahun itu positif terkena virus Corona. Hanya suaminya, yang 85
tahun, tidak tertular. Mungkin sang suami sudah memiliki kekebalan di tubuhnya.

Kamboja sendiri juga melakukan tes ulang kepada
seluruh penumpang kapal. Yakni mereka yang masih menunggu nasib di dalam kapal
yang sandar di pelabuhan Kamboja. 

Hasilnya: tetap. Tidak ada yang terkena virus
Corona. 

Penumpang Westerdam yang sudah telanjur pulang
ke negara masing-masing ikut susah. Terutama sebelum ada berita baru dari
Malaysia.

Misalnya suami istri asal Wisconsin ini. Semula
sudah senang-ria. Mereka bisa naik pesawat dari Kamboja ke Wisconsin lewat
Dallas. Pesawat jurusan Phnom Penh-Dallas itu harus transit di Tokyo.

Setiba di Tokyo mereka dikejutkan
pemberitahuan: tiketnya ke Amerika tidak bisa dipakai. Itu karena mereka
penumpang Westerdam.

Mereka pun tertahan di bandara Tokyo. Dengan
pengawasan khusus. Setelah ada kabar baru dari Malaysia barulah mereka boleh
meneruskan perjalanan ke Dallas.

Baca Juga :  Infrastruktur Merata jadi Prioritas Kotim Bercahaya

Ups… Tidak bisa.

Tiket pesawatnya sudah hangus. Pesawat aslinya
sudah lama meninggalkan Tokyo.

Mereka harus cari pesawat lain. Itu berarti
harus membeli tiket baru. Menurut USA Today, suami-isteri itu harus keluar uang
sendiri. Sekitar Rp 70 juta.

Suami-isteri ini ikut menyalahkan Malaysia.

Demikian juga ratusan penumpang yang pilih
carter pesawat besar jarak jauh.

Dari Phnom Penh mereka ingin ke Amsterdam dulu
sama-sama. Dari Amsterdam baru cari pesawat sendiri-sendiri ke tujuan
masing-masing.

Manajemen Westerdam-lah yang mengusahakan
pesawat carteran itu: Turkish Airlines.

Westerdam juga menyertakan empat orang petugas.
Untuk ikut di dalam pesawat carteran itu. Mereka ditugaskan membantu
orang-orang tua di rombongan itu. Yang baru 17 hari terkatung-katung di atas
laut.

Pesawat pun diberangkatkan dari Phnom Penh.
Dari 268 penumpang, yang 250 orang warga Amerika dan Kanada.

Ketika pesawat carteran itu sampai di atas
udara Iran datanglah halilintar: Turki menolak didarati pesawat itu. Alasannya:
karena berisi penumpang eks kapal pesiar Westerdam –yang terjangkit virus
Corona. 

Rupanya berita baru dari Malaysia belum cukup
tersiar luas. Atau, berita pertamanya telanjur begitu meyakinkannya. 

Begitu ditolak mendarat di Istanbul ke mana
akan terbang?

Pesawat itu tidak mungkin langsung ke
Amsterdam. Bahan bakarnya tidak cukup.

Pilot pesawat itu pun membelokkan arah. Balik
kembali ke timur. Sambil sang pilot mencari akal: akan mendarat di mana dan
dengan alasan apa. 

Sang pilot lantas mengontak bandara Karachi,
Pakistan. Minta izin untuk bisa turun darurat di kota terbesar di Pakistan itu.

Alasannya: ada masalah teknik.

Pihak bandara pun mengizinkan.

Begitulah peraturan internasional.

Seperti Bandara Halim dulu. Yang juga
mengizinkan pesawat Boeing 747 British Airways mendarat darurat. Tengah malam
itu empat mesin pesawat jurusan London-Sydney itu mati semua. Yakni saat Gunung
Galunggung meletus. Abunya terbang begitu tinggi masuk ke semua mesin pesawat
itu.

Tapi petugas menara bandara Karachi menegaskan
satu hal: pesawat itu hanya bisa mengisi bahan bakar di Karachi. Tidak ada
fasilitas layanan lain apa pun.

Artinya: pesawat tidak akan bisa mendapat gate. Dan penumpang tidak bisa turun dari pesawat.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Itu saja sudah sangat baik. Daripada penumpang
harus terkatung-katung di udara –setelah 17 hari terkatung-katung di laut.

Pukul 9 malam pesawat pun mendarat di Karachi.

Persoalan menjadi rumit ketika diketahui para
penumpang itu adalah eks Westerdam.

Mulailah muncul tanda tanya. 

Ketika isi bahan bakar selesai pesawat tidak
boleh langsung terbang. Dan lagi juga belum jelas akan terbang ke mana.

Penumpang terus menunggu di dalam pesawat. Setelah
tertahan lebih 7 jam akhirnya happy ending:
Amsterdam bisa menerima mereka.

Bahan bakar pun sudah cukup. Tidak perlu
transit lagi di Istanbul.

Dari Amsterdam mereka menyebar ke negara
masing-masing.

Tiba di rumah mereka sudah tahu apa yang harus
dilakukan: secara suka rela mengarantina diri. Hanya tinggal di rumah. Selama
14 hari.

Mereka tahu diri. Masyarakat sekitar mencurigai
mereka habis-habisan –sebagai pembawa virus Corona.

Untuk keperluan makan pun anak atau keluarga
yang memasok. Tiap hari sang anak menaruh rantang di depan rumah. Lalu pergi.

Setelah si pengantar menjauh barulah tuan rumah
mengambil ransum itu untuk dimakan. 

Semua kesulitan itu gara-gara satu rumah sakit.
Namanya RS Sungai Buloh. Di Kuala Lumpur itu.

Rumah sakit itulah yang mengatakan wanita 83
tahun itu terkena virus Corona. Pun setelah dites ulang.

Padahal ternyata tidak.

Dua hari lalu Wakil Perdana Menteri Malaysia
Wan Azizah sendiri yang akhirnya mengumunkan: hasil tes di RS Sungai Buloh itu
salah.

Wanita 83 tahun itu memang sakit tapi bukan
terjangkit virus Corona.

Sampai kemarin keadaan pasien sudah kian baik.
Tapi masih belum keluar dari Sungai Buloh.

Yang ikut gembira adalah lebih 1.500 orang yang
masih berada di Westerdam. Yakni 747 awak kapal dan 781 penumpang.

Sebagian awak kapal itu dari Indonesia.
Sebagian sudah pulang. Bukan karena virus. Tapi kontrak kerja mereka memang
sudah habis.

Yang paling gembira tentunya Hun Sen. Yang
sempat dihujat dunia internasional. Terutama akibat perlawanannya terhadap
masker. ”Masker itu lebih menyebarkan ketakutan daripada virusnya sendiri,”
katanya (Disway: Gila Masker).

”Akhirnya keadilan tiba,” ujar siaran pers
pemerintah Kamboja –saking senangnya atas pengakuan terbaru dari Malaysia
itu. 

Tapi masih tetap belum tahu: ke mana kau hendak
pergi, Westerdam.(dahlan iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru