27.3 C
Jakarta
Saturday, December 28, 2024

Krisis Komunikasi Legalisasi UU

AKANKAH wacana teks yang dibubuhkan dalam Undang-Undang (UU) Cipta
Kerja memiliki cacat struktur dalam bahasa? Mengingat perbedaan yang cukup jauh
terkait tafsiran butir-butir pasal yang diutarakan pemerintah dengan tafsiran
masyarakat sebagai objek UU tersebut. Jangan-jangan apa yang dibaca pemerintah
dan yang dibaca masyarakat berbeda walau judulnya sama.

”Memang belum ada draf final yang
beredar.” Begitulah cuitan lantang menteri komunikasi dan informatika untuk
meyakinkan publik bahwa draf RUU Cipta Kerja yang tersebar di masyarakat pasti
menyimpang. Alasannya, belum ada draf final yang disampaikan ke publik. Ini
terkait simpang siur draf RUU Cipta Kerja dengan berkas sejumlah 1.028 halaman
dan 905 halaman.

Bahkan, pertarungan isi poin-poin
draf RUU Cipta Kerja menjadi hiasan lini massa media sosial saat ini. Turunnya
aksi penolakan di berbagai daerah di Indonesia seolah gambaran masyarakat yang
terprovokasi oleh draf RUU yang salah. Bahkan, para menteri Kabinet Kerja II
beramai-ramai mengutarakan, jangan mudah termakan oleh hoaks RUU Cipta Kerja
tersebut.

Jika melihat peristiwa di atas,
tampaknya kita berhak untuk bertanya: bagaimana cara kita mengetahui draf RUU
yang valid tersebut? Lantas bagaimana mekanisme pengesahan UU itu? Adakah peran
masyarakat ketika perencanaan RUU tersebut?

Akomodasi keterlibatan masyarakat
dalam proses pembentukan UU sesungguhnya sudah tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun
2011. Dalam bab X pasal 88 terkait penyebarluasan RUU dijelaskan, proses
penyebarluasan harus dilakukan sejak penyusunan prolegnas. Hal tersebut untuk
memberikan informasi dan masukan dari masyarakat.

Bahkan, dalam Bab XI terkait
partisipasi masyarakat dijelaskan, masyarakat berhak memberikan masukan, baik
lisan maupun tulisan. Tidak cukup hanya itu, RUU semestinya dapat dengan mudah
diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, seharusnya tidak wajar perbedaan
persepsi terkait isi RUU tersebut jika mekanisme ini berjalan dengan baik.

Baca Juga :  Bank Syariah Mandiri Palangka Raya Gelar Program BSM Mengalirkan Berka

Keterlibatan masyarakat menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penciptaan UU. Sebab, seluruh hasil
dari ciptaan itu akan bermuara pada proses kesejahteraan masyarakat. Keberadaan
aspirasi masyarakat dalam pembentukan UU akan meningkatkan legitimasi,
transparansi, serta responsivitas sehingga UU yang dihasilkan akan melahirkan
kebijakan yang akomodatif.

Apabila suatu kebijakan tidak
aspiratif, dapat muncul kecurigaan mengenai kriteria dalam menentukan ”siapa
mendapatkan apa”. Keadaan sebaliknya, apabila proses pengambilan kebijakan
dilakukan dengan cara terbuka dan didukung informasi yang memadai, akan
memberikan kesan transparan. Dengan demikian, legitimasi dari kebijakan yang
diambil akan bertambah.

Tampaknya pemerintah dan DPR
harus mengatur bagaimana distribusi komunikasi publik yang akan dilakukan dalam
RUU Cipta Kerja tersebut sehingga publik tidak lagi dibingungkan dengan draf
isi narasi yang misterius.

Secara garis besar, akomodasi
terhadap literasi pembuatan kebijakan UU harus dilakukan pemerintah dan DPR.
Bahkan, jika usul tersebut berasal dari presiden, distribusi RUU itu harus
dilakukan pemerintah dengan menunjuk instansi pemrakarsa.

Dalam kasus RUU Cipta Kerja, hal
ini seperti menjadi bias. Pemerintah dan DPR sewajarnya memikirkan the goals
which the communicator sought to archive bagaimana draf RUU tersebut dapat
tersampaikan dengan mudah kepada masyarakat sebagai objeknya. Pemilihan
strategi komunikasi harus menjadi bagian dalam legalisasi UU untuk menjembatani
”cultural gap” terhadap produk UU
yang dianggap baik oleh pemerintah bagi masyarakat, tetapi masyarakat
menganggap sebaliknya.

Jika melihat narasi para pejabat
tinggi negeri ini yang mengutarakan diksi bahwa draf UU yang beredar di publik
adalah hoaks, hal tersebut menjadi tamparan bagi pemerintah sendiri dan DPR.
Itu menunjukkan betapa minimnya produk strategi komunikasi publik yang
dilakukan sesuai amanat UU dalam proses penyebarluasan pembentukan UU.
Pemerintah dan DPR seharusnya sudah siap dengan berbagai krisis komunikasi yang
muncul ketika pengesahan UU Cipta Kerja ini sehingga respons yang dimunculkan
dari gaduhnya UU Cipta Kerja ini tidak membuka aib baru dari proses pembentukan
UU tersebut.

Baca Juga :  Heboh Kotak Suara KPU Kota Dicuri, Ternyata Ini yang Sebenarnya Terjad

Communication-persuasion menjadi elemen penting mutakhir terhadap
pelibatan masyarakat dalam proses perancangan perundang-undangan. Proses ini
akan memberikan variabel komunikasi meliputi berbagai komponen komunikasi yang
akan dilakukan ke masyarakat. Komponen tersebut berupa sumber rancangan
kebijakan, prolegnas, pembicaraan tingkat I, pembicaraan tingkat II, dan
pengesahan.

Tidak cukup hanya itu, DPR dan
pemerintah semestinya juga memiliki message frames sebagai bentuk kerangka
kerja untuk mengemas pesan yang sedemikian rupa menarik dalam kerangka
memancing reaktansi masukan masyarakat. Sehingga kepekaan masyarakat terhadap
berbagai RUU yang dicanangkan pemerintah akan meningkat. Lebih penting lagi,
tidak akan ada dualisme isi tafsir UU yang sudah disahkan. Ataupun
kemisteriusan isi dari UU yang disahkan dengan berbagai problematikanya.

Hal ini dilakukan untuk strategi
peningkatan literasi publik terhadap RUU di negara kita. Tugas tersebut jelas
melekat terhadap DPR dan pemerintah untuk memfasilitasinya. Penunjukan strategi
komunikasi publik menjadi bukti kesungguhan dari upaya ini. Semoga berbagai
upaya pembentukan kebijakan yang akan dilakukan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. (*)

(Penulis adalah dosen Prodi
Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang)

AKANKAH wacana teks yang dibubuhkan dalam Undang-Undang (UU) Cipta
Kerja memiliki cacat struktur dalam bahasa? Mengingat perbedaan yang cukup jauh
terkait tafsiran butir-butir pasal yang diutarakan pemerintah dengan tafsiran
masyarakat sebagai objek UU tersebut. Jangan-jangan apa yang dibaca pemerintah
dan yang dibaca masyarakat berbeda walau judulnya sama.

”Memang belum ada draf final yang
beredar.” Begitulah cuitan lantang menteri komunikasi dan informatika untuk
meyakinkan publik bahwa draf RUU Cipta Kerja yang tersebar di masyarakat pasti
menyimpang. Alasannya, belum ada draf final yang disampaikan ke publik. Ini
terkait simpang siur draf RUU Cipta Kerja dengan berkas sejumlah 1.028 halaman
dan 905 halaman.

Bahkan, pertarungan isi poin-poin
draf RUU Cipta Kerja menjadi hiasan lini massa media sosial saat ini. Turunnya
aksi penolakan di berbagai daerah di Indonesia seolah gambaran masyarakat yang
terprovokasi oleh draf RUU yang salah. Bahkan, para menteri Kabinet Kerja II
beramai-ramai mengutarakan, jangan mudah termakan oleh hoaks RUU Cipta Kerja
tersebut.

Jika melihat peristiwa di atas,
tampaknya kita berhak untuk bertanya: bagaimana cara kita mengetahui draf RUU
yang valid tersebut? Lantas bagaimana mekanisme pengesahan UU itu? Adakah peran
masyarakat ketika perencanaan RUU tersebut?

Akomodasi keterlibatan masyarakat
dalam proses pembentukan UU sesungguhnya sudah tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun
2011. Dalam bab X pasal 88 terkait penyebarluasan RUU dijelaskan, proses
penyebarluasan harus dilakukan sejak penyusunan prolegnas. Hal tersebut untuk
memberikan informasi dan masukan dari masyarakat.

Bahkan, dalam Bab XI terkait
partisipasi masyarakat dijelaskan, masyarakat berhak memberikan masukan, baik
lisan maupun tulisan. Tidak cukup hanya itu, RUU semestinya dapat dengan mudah
diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, seharusnya tidak wajar perbedaan
persepsi terkait isi RUU tersebut jika mekanisme ini berjalan dengan baik.

Baca Juga :  Bank Syariah Mandiri Palangka Raya Gelar Program BSM Mengalirkan Berka

Keterlibatan masyarakat menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penciptaan UU. Sebab, seluruh hasil
dari ciptaan itu akan bermuara pada proses kesejahteraan masyarakat. Keberadaan
aspirasi masyarakat dalam pembentukan UU akan meningkatkan legitimasi,
transparansi, serta responsivitas sehingga UU yang dihasilkan akan melahirkan
kebijakan yang akomodatif.

Apabila suatu kebijakan tidak
aspiratif, dapat muncul kecurigaan mengenai kriteria dalam menentukan ”siapa
mendapatkan apa”. Keadaan sebaliknya, apabila proses pengambilan kebijakan
dilakukan dengan cara terbuka dan didukung informasi yang memadai, akan
memberikan kesan transparan. Dengan demikian, legitimasi dari kebijakan yang
diambil akan bertambah.

Tampaknya pemerintah dan DPR
harus mengatur bagaimana distribusi komunikasi publik yang akan dilakukan dalam
RUU Cipta Kerja tersebut sehingga publik tidak lagi dibingungkan dengan draf
isi narasi yang misterius.

Secara garis besar, akomodasi
terhadap literasi pembuatan kebijakan UU harus dilakukan pemerintah dan DPR.
Bahkan, jika usul tersebut berasal dari presiden, distribusi RUU itu harus
dilakukan pemerintah dengan menunjuk instansi pemrakarsa.

Dalam kasus RUU Cipta Kerja, hal
ini seperti menjadi bias. Pemerintah dan DPR sewajarnya memikirkan the goals
which the communicator sought to archive bagaimana draf RUU tersebut dapat
tersampaikan dengan mudah kepada masyarakat sebagai objeknya. Pemilihan
strategi komunikasi harus menjadi bagian dalam legalisasi UU untuk menjembatani
”cultural gap” terhadap produk UU
yang dianggap baik oleh pemerintah bagi masyarakat, tetapi masyarakat
menganggap sebaliknya.

Jika melihat narasi para pejabat
tinggi negeri ini yang mengutarakan diksi bahwa draf UU yang beredar di publik
adalah hoaks, hal tersebut menjadi tamparan bagi pemerintah sendiri dan DPR.
Itu menunjukkan betapa minimnya produk strategi komunikasi publik yang
dilakukan sesuai amanat UU dalam proses penyebarluasan pembentukan UU.
Pemerintah dan DPR seharusnya sudah siap dengan berbagai krisis komunikasi yang
muncul ketika pengesahan UU Cipta Kerja ini sehingga respons yang dimunculkan
dari gaduhnya UU Cipta Kerja ini tidak membuka aib baru dari proses pembentukan
UU tersebut.

Baca Juga :  Heboh Kotak Suara KPU Kota Dicuri, Ternyata Ini yang Sebenarnya Terjad

Communication-persuasion menjadi elemen penting mutakhir terhadap
pelibatan masyarakat dalam proses perancangan perundang-undangan. Proses ini
akan memberikan variabel komunikasi meliputi berbagai komponen komunikasi yang
akan dilakukan ke masyarakat. Komponen tersebut berupa sumber rancangan
kebijakan, prolegnas, pembicaraan tingkat I, pembicaraan tingkat II, dan
pengesahan.

Tidak cukup hanya itu, DPR dan
pemerintah semestinya juga memiliki message frames sebagai bentuk kerangka
kerja untuk mengemas pesan yang sedemikian rupa menarik dalam kerangka
memancing reaktansi masukan masyarakat. Sehingga kepekaan masyarakat terhadap
berbagai RUU yang dicanangkan pemerintah akan meningkat. Lebih penting lagi,
tidak akan ada dualisme isi tafsir UU yang sudah disahkan. Ataupun
kemisteriusan isi dari UU yang disahkan dengan berbagai problematikanya.

Hal ini dilakukan untuk strategi
peningkatan literasi publik terhadap RUU di negara kita. Tugas tersebut jelas
melekat terhadap DPR dan pemerintah untuk memfasilitasinya. Penunjukan strategi
komunikasi publik menjadi bukti kesungguhan dari upaya ini. Semoga berbagai
upaya pembentukan kebijakan yang akan dilakukan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. (*)

(Penulis adalah dosen Prodi
Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang)

Terpopuler

Artikel Terbaru