32 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Benahi Protap Pengamanan Demo Mahasiswa

ONTRAN-ontran politik pengesahan RUU Cipta Kerja (CK) menjadi UUCK
benar-benar sangat gaduh. Beberapa hari ini sejak awal Oktober 2020, mahasiswa
kota-kota besar di Indonesia, mulai Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, Malang,
Makassar, Surabaya, Medan, hingga kota-kota lain, bergerak mendekati
kantor-kantor DPR, DPRD setempat, dan simbol-simbol pemerintahan.

Demonstrasi publik setahun lalu mengusung
isu menolak banyak RUU. Yakni, RUU Pemasyarakatan; RUU Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan; RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, RUU Pesantren, RUU
Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2020 Beserta Nota
Keuangannya, RUU KPK, dan RUU KUHP. Tahun ini, tema sentralnya adalah penolakan
UUCK.

Banyak yang harus dievaluasi dari
gaduh politik September 2019 dan Oktober 2020 ini. Di antaranya, protap polisi
dalam merespons demonstrasi harus segera dibenahi. Harus dipahami bahwa
mahasiswa adalah generasi bangsa yang harus dipelihara dan dilindungi. Kendati
jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta orang atau sudah terlalu berlebih,
tetap tidak membolehkan satu mahasiswa pun terluka.

Korban demonstrasi di seluruh
Indonesia menjelang rapat paripurna DPR (24/9/2019) dan Oktober 2020 ini adalah
bukti betapa protap polisi masih mengutamakan represif dan kekuatan senjata. Di
Makassar, korban berjatuhan terutama dari mahasiswa, baik karena terkena
lemparan benda keras, dipukul pentungan polisi, ditendang, terpapar bom gas air
mata, diterjang water cannon, dan bahkan terkena peluru karet. Di Jakarta,
Malang, Bandung, Jogjakarta juga sama. Penyampaian pendapat mahasiswa direspons
keras untuk ukuran anak-anak sekolahan.

Di atas kertas, dalam setiap aksi
demonstrasi yang tersulut sampai anarkistis, dapat dipastikan demonstran akan
berdarah-darah. Kendati demikian, mereka patut mendapat apresiasi karena sudah
menempuh risiko membahayakan diri untuk kepentingan masyarakat banyak. Paling
tidak, wakil masyarakat sudah memberikan ekspresi dari sebuah keputusan politik
dan dalam atmosfer politik demokrasi sekarang ini, aspirasi itu mendapat
perlindungan hukum dan dihormati.

Baca Juga :  Satu Nyawa

Memang yang paling tepat
seharusnya mahasiswa juga menahan diri untuk tidak turun ke jalanan,
berargumentasi secara akademik lebih terpuji dan sangat aman, baik jiwa maupun
harta. Kelemahan utama elite bangsa ini, diakui atau tidak, gerakan intelektual
yang bukan fisik kadang tidak direspons dengan serius. Pemerintah baru
tergopoh-gopoh memberikan reaksi apabila sudah jatuh korban atau kerusakan.

Prosedur

Namun, yang harus digarisbawahi
bahwa kerap kali tindakan polisi sangat berlebihan dalam merespons aksi
demonstrasi. Ada saja cara untuk memprovokasi massa. Akhirnya massa sukar
dikendalikan. Kemudian polisi menyeruak untuk membubarkan kerumunan. Mahasiswa
mencurigai bahwa polisi selalu menggunakan taktik dan strategi kontra-intelijen
untuk memecah konsentrasi massa. Termasuk di antaranya, memasang informan yang
sebetulnya intelijen terlatih untuk melakukan tindakan anarkistis kali pertama.

Dalam setiap aksi demonstrasi,
koordinator mahasiswa sebetulnya melakukan simulasi gerakan malam H-1 di
kampus-kampusnya. Penulis yang pernah menjadi Korlap juga melakukan demikian,
merencanakan dengan detail, datang dari arah mana, berapa orang, apa
tuntutannya, siapa oratornya, sampai tanda khusus tertentu peserta demonstrasi.
Jadi, segera diketahui siapa orang asing yang masuk dalam kerumunan, apakah
peserta terdaftar atau orang luar.

Aksi tidak simpatik memang pernah
dipertontonkan media sosial ketika demonstran mahasiswa di Makassar (24/9/2019)
bersikap anarkistis dengan merusak dan menghancurkan mobil polisi. Namun, oknum
berseragam polisi juga tidak mendapatkan simpati masyarakat karena memasuki
masjid tanpa melepas sepatu larsnya. Pada demonstrasi di Malang Oktober 2020,
masyarakat juga menyayangkan ketika demonstran merusak mobil polisi.

Meski sikap mahasiswa tidak
terpuji, polisi sebagai kekuatan pelindung rakyat tidak boleh berlaku sama
anarkistisnya dengan demonstran. Polisi harus memperbaiki prosedur tetapnya
(protap), yakni disiplin di dalam garis pertahanannya. Polisi tidak perlu
berlari-lari mengejar mahasiswa karena akan terlihat seperti aksi kucing-kucingan
atau kejar-kejaran.

Baca Juga :  Dianggap Kader Terbaik NU, PKB Berharap Cak Imin Bisa jadi Ketua MPR

Aksi antidemonstrasi oleh polisi
yang elegan dapat diteladani, misalnya, dari polisi Inggris. Berseragam rapi,
memakai pelindung, dengan hanya bersenjata pentungan, polisi antihuru-hara
Inggris menekankan tameng mereka ke kerumunan massa agar mundur sampai bubar.
Mereka bergerak seirama dalam langkah-langkah terlatih, tameng barisan belakang
digunakan untuk menutup kepala. Praktis tubuh seluruh pasukan terlindung dari
depan, atas, dan samping.

Tentu saja demonstran tidak
tinggal diam, mereka menendang tameng polisi, memukul, sampai melemparkan bom
molotov. Namun, polisi terlatih itu sama sekali tidak terpancing meninggalkan
barisan kukuhnya. Lemparan dan tendangan demonstran itu bagai menghantam
karang. Ada polisi khusus yang bertugas memadamkan bom molotov, tapi ada pula
yang terpaksa menembakkan gas air mata jika demonstran sudah sangat
keterlaluan.

Para elite polisi Indonesia harus
segera mengevaluasi aksi antidemonstrasi selama ini karena di samping mengancam
keselamatan demonstran yang notabene mahasiswa generasi bangsa, hal itu juga
membahayakan diri dan kelompoknya. Tidak terbilang polisi sendiri menjadi
korban luka-luka atau tewas dalam aksi demonstrasi massa sepanjang 2019. Hal
itu terjadi karena polisi keluar barisan dan mengejar demonstran sehingga lepas
dari kelompoknya.

Betapa pun, etika mahasiswa dalam
melakukan aksi unjuk rasa itu juga harus ditegakkan kembali. Ketika mahasiswa
sudah berada di luar pagar kampusnya, norma sosial dan etika masyarakat harus
diperhatikan. Hak-hak masyarakat harus dihormati. Antara lain, hak untuk lewat
di atas jalan publik, hak tertentu karena berkaitan dengan kepentingan darurat
atau emergency, hak memperoleh ketenangan dan terhindar dari kegaduhan, bahkan
hak bersuara berbeda dengan agenda demonstrasi itu.

Aksi jalanan adalah kegagalan
pada sistem demokrasi, polisi dalam hal ini harus bersikap proporsional, bukan
saling pukul di jalan. (*)

(Penulis adalah dosen dan
peneliti UKWM Surabaya)

ONTRAN-ontran politik pengesahan RUU Cipta Kerja (CK) menjadi UUCK
benar-benar sangat gaduh. Beberapa hari ini sejak awal Oktober 2020, mahasiswa
kota-kota besar di Indonesia, mulai Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, Malang,
Makassar, Surabaya, Medan, hingga kota-kota lain, bergerak mendekati
kantor-kantor DPR, DPRD setempat, dan simbol-simbol pemerintahan.

Demonstrasi publik setahun lalu mengusung
isu menolak banyak RUU. Yakni, RUU Pemasyarakatan; RUU Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan; RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, RUU Pesantren, RUU
Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2020 Beserta Nota
Keuangannya, RUU KPK, dan RUU KUHP. Tahun ini, tema sentralnya adalah penolakan
UUCK.

Banyak yang harus dievaluasi dari
gaduh politik September 2019 dan Oktober 2020 ini. Di antaranya, protap polisi
dalam merespons demonstrasi harus segera dibenahi. Harus dipahami bahwa
mahasiswa adalah generasi bangsa yang harus dipelihara dan dilindungi. Kendati
jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta orang atau sudah terlalu berlebih,
tetap tidak membolehkan satu mahasiswa pun terluka.

Korban demonstrasi di seluruh
Indonesia menjelang rapat paripurna DPR (24/9/2019) dan Oktober 2020 ini adalah
bukti betapa protap polisi masih mengutamakan represif dan kekuatan senjata. Di
Makassar, korban berjatuhan terutama dari mahasiswa, baik karena terkena
lemparan benda keras, dipukul pentungan polisi, ditendang, terpapar bom gas air
mata, diterjang water cannon, dan bahkan terkena peluru karet. Di Jakarta,
Malang, Bandung, Jogjakarta juga sama. Penyampaian pendapat mahasiswa direspons
keras untuk ukuran anak-anak sekolahan.

Di atas kertas, dalam setiap aksi
demonstrasi yang tersulut sampai anarkistis, dapat dipastikan demonstran akan
berdarah-darah. Kendati demikian, mereka patut mendapat apresiasi karena sudah
menempuh risiko membahayakan diri untuk kepentingan masyarakat banyak. Paling
tidak, wakil masyarakat sudah memberikan ekspresi dari sebuah keputusan politik
dan dalam atmosfer politik demokrasi sekarang ini, aspirasi itu mendapat
perlindungan hukum dan dihormati.

Baca Juga :  Satu Nyawa

Memang yang paling tepat
seharusnya mahasiswa juga menahan diri untuk tidak turun ke jalanan,
berargumentasi secara akademik lebih terpuji dan sangat aman, baik jiwa maupun
harta. Kelemahan utama elite bangsa ini, diakui atau tidak, gerakan intelektual
yang bukan fisik kadang tidak direspons dengan serius. Pemerintah baru
tergopoh-gopoh memberikan reaksi apabila sudah jatuh korban atau kerusakan.

Prosedur

Namun, yang harus digarisbawahi
bahwa kerap kali tindakan polisi sangat berlebihan dalam merespons aksi
demonstrasi. Ada saja cara untuk memprovokasi massa. Akhirnya massa sukar
dikendalikan. Kemudian polisi menyeruak untuk membubarkan kerumunan. Mahasiswa
mencurigai bahwa polisi selalu menggunakan taktik dan strategi kontra-intelijen
untuk memecah konsentrasi massa. Termasuk di antaranya, memasang informan yang
sebetulnya intelijen terlatih untuk melakukan tindakan anarkistis kali pertama.

Dalam setiap aksi demonstrasi,
koordinator mahasiswa sebetulnya melakukan simulasi gerakan malam H-1 di
kampus-kampusnya. Penulis yang pernah menjadi Korlap juga melakukan demikian,
merencanakan dengan detail, datang dari arah mana, berapa orang, apa
tuntutannya, siapa oratornya, sampai tanda khusus tertentu peserta demonstrasi.
Jadi, segera diketahui siapa orang asing yang masuk dalam kerumunan, apakah
peserta terdaftar atau orang luar.

Aksi tidak simpatik memang pernah
dipertontonkan media sosial ketika demonstran mahasiswa di Makassar (24/9/2019)
bersikap anarkistis dengan merusak dan menghancurkan mobil polisi. Namun, oknum
berseragam polisi juga tidak mendapatkan simpati masyarakat karena memasuki
masjid tanpa melepas sepatu larsnya. Pada demonstrasi di Malang Oktober 2020,
masyarakat juga menyayangkan ketika demonstran merusak mobil polisi.

Meski sikap mahasiswa tidak
terpuji, polisi sebagai kekuatan pelindung rakyat tidak boleh berlaku sama
anarkistisnya dengan demonstran. Polisi harus memperbaiki prosedur tetapnya
(protap), yakni disiplin di dalam garis pertahanannya. Polisi tidak perlu
berlari-lari mengejar mahasiswa karena akan terlihat seperti aksi kucing-kucingan
atau kejar-kejaran.

Baca Juga :  Dianggap Kader Terbaik NU, PKB Berharap Cak Imin Bisa jadi Ketua MPR

Aksi antidemonstrasi oleh polisi
yang elegan dapat diteladani, misalnya, dari polisi Inggris. Berseragam rapi,
memakai pelindung, dengan hanya bersenjata pentungan, polisi antihuru-hara
Inggris menekankan tameng mereka ke kerumunan massa agar mundur sampai bubar.
Mereka bergerak seirama dalam langkah-langkah terlatih, tameng barisan belakang
digunakan untuk menutup kepala. Praktis tubuh seluruh pasukan terlindung dari
depan, atas, dan samping.

Tentu saja demonstran tidak
tinggal diam, mereka menendang tameng polisi, memukul, sampai melemparkan bom
molotov. Namun, polisi terlatih itu sama sekali tidak terpancing meninggalkan
barisan kukuhnya. Lemparan dan tendangan demonstran itu bagai menghantam
karang. Ada polisi khusus yang bertugas memadamkan bom molotov, tapi ada pula
yang terpaksa menembakkan gas air mata jika demonstran sudah sangat
keterlaluan.

Para elite polisi Indonesia harus
segera mengevaluasi aksi antidemonstrasi selama ini karena di samping mengancam
keselamatan demonstran yang notabene mahasiswa generasi bangsa, hal itu juga
membahayakan diri dan kelompoknya. Tidak terbilang polisi sendiri menjadi
korban luka-luka atau tewas dalam aksi demonstrasi massa sepanjang 2019. Hal
itu terjadi karena polisi keluar barisan dan mengejar demonstran sehingga lepas
dari kelompoknya.

Betapa pun, etika mahasiswa dalam
melakukan aksi unjuk rasa itu juga harus ditegakkan kembali. Ketika mahasiswa
sudah berada di luar pagar kampusnya, norma sosial dan etika masyarakat harus
diperhatikan. Hak-hak masyarakat harus dihormati. Antara lain, hak untuk lewat
di atas jalan publik, hak tertentu karena berkaitan dengan kepentingan darurat
atau emergency, hak memperoleh ketenangan dan terhindar dari kegaduhan, bahkan
hak bersuara berbeda dengan agenda demonstrasi itu.

Aksi jalanan adalah kegagalan
pada sistem demokrasi, polisi dalam hal ini harus bersikap proporsional, bukan
saling pukul di jalan. (*)

(Penulis adalah dosen dan
peneliti UKWM Surabaya)

Terpopuler

Artikel Terbaru