26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Surga Dunia

Sejak lama saya ingin bertemu
Prof. Yudian Wahyudi. Tapi tidak pernah ada kesempatan. Tapi keinginan itu
meningkat bulan lalu. Saya pun mengirim e-mail kepada beliau.

Tidak terjawab.

Mungkin alamat e-mail yang saya
dapat salah. Atau sudah ganti. Saya hanya mendapatkannya dari internet. Tapi
saya tidak terlalu ngotot harus segera bertemu. Saya yakin suatu saat pasti
bisa bertemu beliau.

Kalau saja e-mail itu terjawab
saya akan menemui beliau. Yang akan banyak saya tanyakan adalah soal tasawuf.
Yakni filsafat tarekat yang diajarkan beliau: Tarekat Sunan Anbiya.

Di akhir e-mail itu saya
menyertakan nomor ponsel saya. Siapa tahu hendak dijawab via WA.

Saya tertarik dengan aliran
tarekat yang beliau ajarkan itu. Kok saya belum pernah mendengarnya. Saya lihat
di daftar aliran tarekat muktabarah: tidak tercatat di situ.

Berarti pengetahuan saya tentang
aliran-aliran tarekat masih sangat terbatas. Karena itu saya ingin tahu banyak
tentang aliran itu.

Terutama tentang misi aliran ini:
ingin mempersatukan hati umat Islam. Kata ‘Sunan’ adalah bentuk jamak dari
‘sunnah’. Kata ‘Anbiya’ berarti para nabi.

Aliran Sunan Anbiya ingin
mengajarkan ajaran para nabi –bukan hanya Muhammad. Dengan demikian dunia bisa
lebih damai. “Saya ingin menghadirkan surga di dunia ini sebelum surga di
akhirat nanti,” ujar Prof. Yudian suatu saat.

Ingatan saya akan Prof. Yudian
memang timbul tenggelam. Terutama tenggelam oleh kesibukan –yang kadang-kadang
sia-sia.

Ingatan itu muncul lagi ketika
seorang teman mengirimkan kepada saya video pidato beliau. Yang lagi viral saat
itu. Yakni pidato yang ‘ngrasani’ Mendiknas
yang baru: Nadiem Makarim.

Gaya bicara beliau seperti bukan
orang Jawa: tunjuk langsung. Terasa juga nada ‘saya ini profesor lho’. Bahkan
profesor yang sudah melanglang buana. Termasuk pernah diminta mengajar di
Harvard University, Boston.

Nadiem? Itu anak kemarin sore.
Yang harus lebih banyak belajar tata krama. Terutama karena Nadiem adalah
menteri pendidikan.

Yang beliau persoalkan adalah
penampilan Nadiem yang seperti mahasiswa di Amerika yang lagi berangkat kuliah:
baju-celana santai dengan memanggul ransel di pundak.

Padahal, acara hari itu dirancang
sangat formal: pelantikan rektor Universitas Indonesia (UI) yang biasanya
sangat anggun.

Memang terlihat di video itu:
mereka yang sudah hadir di aula banyak mengenakan jas dan dasi. Maka saat
Nadiem masuk dengan penampilan seperti itu terasa sekali urakannya.

Saya hampir memberanikan diri
kirim WA ke Nadiem. Saya ingin mengatakan padanya: daripada heboh-heboh seperti
itu lebih baik tidak usah ada pelantikan rektor. Kenapa harus ada pelantikan?

Waktu saya menjadi sesuatu dulu,
saya hapus kebiasaan acara pelantikan dirut BUMN. Buang-buang waktu. Yang
penting kan surat pengangkatannya. Dengan surat pengangkatan itu seorang
direksi sudah bisa bekerja. Toh, di situ sudah disebutkan tanggal berapa harus
mulai bertugas.

Baca Juga :  Perkuat Sinergi Bersama

Maka selama tiga tahun itu tidak
pernah ada acara pelantikan direksi BUMN.

Tapi saya urungkan rencana kirim
WA ke Nadiem itu. Pekerjaan menteri itu –apalagi Mendiknas– luar biasa
banyak. Saya tidak mau menambah pekerjaan itu. Saya khawatir Nadiem langsung
memikirkannya dan menit itu juga membalas WA saya –seperti yang ia lakukan
sebelumnya.

Biarlah Nadiem memikirkannya
sendiri. Lalu mengambil langkah tentang penampilan barunya. Ia sudah dewasa.
Cerdas pula. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Ketika suatu saat saya melihat
video Nadiem dengan pakaian yang necis –saat me-launching program
Kampus Merdeka– saya tidak menyesal mengurungkan mengirim WA dulu itu.

Setelah melihat video Prof.
Yudian soal Nadiem itu, saya menjadi tidak mudah terkejut. Terutama ketika
medsos heboh lagi soal ucapan beliau mengenai agama dan Pancasila.

Saat itu saya baru tahu bahwa
beliau sudah punya jabatan baru: Kepala BPIP. Saya selalu lupa apa kepanjangan
singkatan itu –tapi saya tahu pokoknya itu tentang Pancasila. Yakni lembaga
yang paling tahu dan paling harus menegakkan Pancasila sebagai ideologi negara.

Beliau memang kelihatan harus
mati-matikan di jabatannya itu. Para koleganya di dunia pendidikan tahu: beliau
begitu ingin menjadi menteri agama. Beliau sangat siap untuk itu.

Apalagi teman-temannya juga tahu
beliau sangat dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Beliau juga pernah hadir dan memberi ceramah di forum kongres partai itu. Yang
isi ceramahnya juga soal Pancasila –menurut jalan pikiran beliau. Orang
seperti Megawati sangat tertarik dengan jalan pikiran Prof. Yudian.

Entah bagaimana Prof Yudian tidak
jadi diangkat jadi menteri agama. Tapi belakangan beliau tampak bahagia dengan
jabatan baru itu –yang derajatnya sudah setingkat menteri.

Akhirnya beliau menjadi agak
menteri juga.

Beliau memang pede di segala hal.
Termasuk dalam memasuki wilayah sensitif: agama. Khususnya dalam menghadapi
reaksi keras dari kalangan tertentu dalam Islam.

Mungkin karena beliau merasa
lebih ahli dari umumnya yang bereaksi itu. Beliau adalah profesor bidang kajian
Islam. Juga rektor universitas Islam terkemuka: UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Yang pernah melahirkan pemikir Islam sekelas Prof. Dr. Mukti Ali –menteri
agama zaman awal Presiden Soeharto. Yang kalau pidato –di pembukaan Musabaqah
Tilawatil Quran sekali pun– tidak mengawalinya dengan ‘Assalamualaikum’.

Sunan Kalijaga juga melahirkan
seniman teater sekelas Su’bah Asa –senior saya di TEMPO dulu. Dan terakhir
Sunan Kalijaga heboh soal disertasi doktor Abdul Aziz tahun lalu. Yang berisi
bahwa hubungan seks di luar nikah itu tidak melanggar syariat –yang penjelasan
detailnya tidak sesederhana itu.

Baca Juga :  Moda Dicek Kelayakannya

Sebenarnya apa yang diucapkan
Prof. Yudian soal agama dan Pancasila itu biasa saja –kalau beliau bukan
Kepala BPIP. Ilmuwan Islam sudah biasa memasuki bagian-bagian sensitif dalam
agama. Terutama di forum-forum terbatas. Atau di forum ngobrol santai.

Misalnya saat Rabu kemarin saya
diundang ke Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin di Serang,
Banten. Saya diminta ceramah di depan mahasantri Ma’had di universitas itu.

Usai acara saya berbincang santai
dengan rektornya: Prof Dr. Fauzul Iman. Kami pun membicarakan ucapan Prof.
Yudian –yang bagi Prof Fauzul juga tidak aneh. Ia sudah biasa mendengarkan
celetukan Prof. Yudian yang sering mengejutkan. Para guru besar UIN semua tahu
tentang kebiasaan kolega mereka itu.

Misalnya, suatu saat Prof. Yudian
bikin pernyataan bahwa ia tidak takut pada Tuhan.

Tentu nada ucapan seperti itu
terasa amat sombong. Tapi kalau kita renungkan dalam-dalam bisa saja manusia
tidak perlu takut Tuhan. Kenapa? Karena kita mencintai Tuhan. Hubungan dengan
Tuhan bisa lebih didasari rasa cinta dari pada rasa takut.

Atau ucapan seperti ini: saya itu
mencintai fitnah. Tentu aneh dan gempar. Ujung-ujungnya adalah ayat Quran yang
mengatakan bahwa anak-istri itu bisa menjadi fitnah.

Ia cinta fitnah karena mencintai
anak dan istri.

Di forum UIN Banten itu saya juga
keceplosan. Dalam praktek manajemen sehari-hari terlalu banyak bawahan yang
mengeluhkan atasan. Lalu menjadi tidak produktif.

Kondisi yang seperti itu harus
diatasi. Bawahan harus menemukan cara untuk bisa membuat atasan mengikuti
keinginan bawahan. Kalau keinginan itu baik.

Yang perlu ditemukan adalah
‘caranya seperti apa’. Cara itu pasti bisa ditemukan –asal bawahan mengetahui
kepribadian atasan.

“Kita itu lho bisa
memerintah Tuhan. Mengapa tidak berhasil memerintah atasan. Memangnya atasan
itu melebihi Tuhan,” kata saya.

Tentu mahasantri di situ kaget:
masak manusia bisa memerintah Tuhan.

Maka saya pun minta mereka memeriksa
semua kalimat dalam sebuah do’a. “Semua kalimat dalam do’a itu bentuknya
pasti fi’il amr, kata perintah,” kata saya.

Misalnya: Ya Tuhan, berilah saya
rezeki. Kata ‘berilah’ adalah tergolong ‘kata perintah’.

Berarti kita itu tiap hari
memerintah Tuhan. Hanya bentuk perintah itu dikemas dalam kemasan do’a.

Maka semua itu soal kemasan.
Untuk bisa memerintah atasan temukanlah kemasan seperti apa yang cocok.

Ini soal cara.

Adakah Prof. Yudian sudah tidak
bisa lagi menemukan cara lain dalam membela Pancasila? Seperti juga Nadiem yang
mungkin tidak menemukan cara selain urakan untuk mengubah kemerdekaan dalam
kampus? (dahlan iskan)

 

Sejak lama saya ingin bertemu
Prof. Yudian Wahyudi. Tapi tidak pernah ada kesempatan. Tapi keinginan itu
meningkat bulan lalu. Saya pun mengirim e-mail kepada beliau.

Tidak terjawab.

Mungkin alamat e-mail yang saya
dapat salah. Atau sudah ganti. Saya hanya mendapatkannya dari internet. Tapi
saya tidak terlalu ngotot harus segera bertemu. Saya yakin suatu saat pasti
bisa bertemu beliau.

Kalau saja e-mail itu terjawab
saya akan menemui beliau. Yang akan banyak saya tanyakan adalah soal tasawuf.
Yakni filsafat tarekat yang diajarkan beliau: Tarekat Sunan Anbiya.

Di akhir e-mail itu saya
menyertakan nomor ponsel saya. Siapa tahu hendak dijawab via WA.

Saya tertarik dengan aliran
tarekat yang beliau ajarkan itu. Kok saya belum pernah mendengarnya. Saya lihat
di daftar aliran tarekat muktabarah: tidak tercatat di situ.

Berarti pengetahuan saya tentang
aliran-aliran tarekat masih sangat terbatas. Karena itu saya ingin tahu banyak
tentang aliran itu.

Terutama tentang misi aliran ini:
ingin mempersatukan hati umat Islam. Kata ‘Sunan’ adalah bentuk jamak dari
‘sunnah’. Kata ‘Anbiya’ berarti para nabi.

Aliran Sunan Anbiya ingin
mengajarkan ajaran para nabi –bukan hanya Muhammad. Dengan demikian dunia bisa
lebih damai. “Saya ingin menghadirkan surga di dunia ini sebelum surga di
akhirat nanti,” ujar Prof. Yudian suatu saat.

Ingatan saya akan Prof. Yudian
memang timbul tenggelam. Terutama tenggelam oleh kesibukan –yang kadang-kadang
sia-sia.

Ingatan itu muncul lagi ketika
seorang teman mengirimkan kepada saya video pidato beliau. Yang lagi viral saat
itu. Yakni pidato yang ‘ngrasani’ Mendiknas
yang baru: Nadiem Makarim.

Gaya bicara beliau seperti bukan
orang Jawa: tunjuk langsung. Terasa juga nada ‘saya ini profesor lho’. Bahkan
profesor yang sudah melanglang buana. Termasuk pernah diminta mengajar di
Harvard University, Boston.

Nadiem? Itu anak kemarin sore.
Yang harus lebih banyak belajar tata krama. Terutama karena Nadiem adalah
menteri pendidikan.

Yang beliau persoalkan adalah
penampilan Nadiem yang seperti mahasiswa di Amerika yang lagi berangkat kuliah:
baju-celana santai dengan memanggul ransel di pundak.

Padahal, acara hari itu dirancang
sangat formal: pelantikan rektor Universitas Indonesia (UI) yang biasanya
sangat anggun.

Memang terlihat di video itu:
mereka yang sudah hadir di aula banyak mengenakan jas dan dasi. Maka saat
Nadiem masuk dengan penampilan seperti itu terasa sekali urakannya.

Saya hampir memberanikan diri
kirim WA ke Nadiem. Saya ingin mengatakan padanya: daripada heboh-heboh seperti
itu lebih baik tidak usah ada pelantikan rektor. Kenapa harus ada pelantikan?

Waktu saya menjadi sesuatu dulu,
saya hapus kebiasaan acara pelantikan dirut BUMN. Buang-buang waktu. Yang
penting kan surat pengangkatannya. Dengan surat pengangkatan itu seorang
direksi sudah bisa bekerja. Toh, di situ sudah disebutkan tanggal berapa harus
mulai bertugas.

Baca Juga :  Perkuat Sinergi Bersama

Maka selama tiga tahun itu tidak
pernah ada acara pelantikan direksi BUMN.

Tapi saya urungkan rencana kirim
WA ke Nadiem itu. Pekerjaan menteri itu –apalagi Mendiknas– luar biasa
banyak. Saya tidak mau menambah pekerjaan itu. Saya khawatir Nadiem langsung
memikirkannya dan menit itu juga membalas WA saya –seperti yang ia lakukan
sebelumnya.

Biarlah Nadiem memikirkannya
sendiri. Lalu mengambil langkah tentang penampilan barunya. Ia sudah dewasa.
Cerdas pula. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Ketika suatu saat saya melihat
video Nadiem dengan pakaian yang necis –saat me-launching program
Kampus Merdeka– saya tidak menyesal mengurungkan mengirim WA dulu itu.

Setelah melihat video Prof.
Yudian soal Nadiem itu, saya menjadi tidak mudah terkejut. Terutama ketika
medsos heboh lagi soal ucapan beliau mengenai agama dan Pancasila.

Saat itu saya baru tahu bahwa
beliau sudah punya jabatan baru: Kepala BPIP. Saya selalu lupa apa kepanjangan
singkatan itu –tapi saya tahu pokoknya itu tentang Pancasila. Yakni lembaga
yang paling tahu dan paling harus menegakkan Pancasila sebagai ideologi negara.

Beliau memang kelihatan harus
mati-matikan di jabatannya itu. Para koleganya di dunia pendidikan tahu: beliau
begitu ingin menjadi menteri agama. Beliau sangat siap untuk itu.

Apalagi teman-temannya juga tahu
beliau sangat dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Beliau juga pernah hadir dan memberi ceramah di forum kongres partai itu. Yang
isi ceramahnya juga soal Pancasila –menurut jalan pikiran beliau. Orang
seperti Megawati sangat tertarik dengan jalan pikiran Prof. Yudian.

Entah bagaimana Prof Yudian tidak
jadi diangkat jadi menteri agama. Tapi belakangan beliau tampak bahagia dengan
jabatan baru itu –yang derajatnya sudah setingkat menteri.

Akhirnya beliau menjadi agak
menteri juga.

Beliau memang pede di segala hal.
Termasuk dalam memasuki wilayah sensitif: agama. Khususnya dalam menghadapi
reaksi keras dari kalangan tertentu dalam Islam.

Mungkin karena beliau merasa
lebih ahli dari umumnya yang bereaksi itu. Beliau adalah profesor bidang kajian
Islam. Juga rektor universitas Islam terkemuka: UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Yang pernah melahirkan pemikir Islam sekelas Prof. Dr. Mukti Ali –menteri
agama zaman awal Presiden Soeharto. Yang kalau pidato –di pembukaan Musabaqah
Tilawatil Quran sekali pun– tidak mengawalinya dengan ‘Assalamualaikum’.

Sunan Kalijaga juga melahirkan
seniman teater sekelas Su’bah Asa –senior saya di TEMPO dulu. Dan terakhir
Sunan Kalijaga heboh soal disertasi doktor Abdul Aziz tahun lalu. Yang berisi
bahwa hubungan seks di luar nikah itu tidak melanggar syariat –yang penjelasan
detailnya tidak sesederhana itu.

Baca Juga :  Moda Dicek Kelayakannya

Sebenarnya apa yang diucapkan
Prof. Yudian soal agama dan Pancasila itu biasa saja –kalau beliau bukan
Kepala BPIP. Ilmuwan Islam sudah biasa memasuki bagian-bagian sensitif dalam
agama. Terutama di forum-forum terbatas. Atau di forum ngobrol santai.

Misalnya saat Rabu kemarin saya
diundang ke Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin di Serang,
Banten. Saya diminta ceramah di depan mahasantri Ma’had di universitas itu.

Usai acara saya berbincang santai
dengan rektornya: Prof Dr. Fauzul Iman. Kami pun membicarakan ucapan Prof.
Yudian –yang bagi Prof Fauzul juga tidak aneh. Ia sudah biasa mendengarkan
celetukan Prof. Yudian yang sering mengejutkan. Para guru besar UIN semua tahu
tentang kebiasaan kolega mereka itu.

Misalnya, suatu saat Prof. Yudian
bikin pernyataan bahwa ia tidak takut pada Tuhan.

Tentu nada ucapan seperti itu
terasa amat sombong. Tapi kalau kita renungkan dalam-dalam bisa saja manusia
tidak perlu takut Tuhan. Kenapa? Karena kita mencintai Tuhan. Hubungan dengan
Tuhan bisa lebih didasari rasa cinta dari pada rasa takut.

Atau ucapan seperti ini: saya itu
mencintai fitnah. Tentu aneh dan gempar. Ujung-ujungnya adalah ayat Quran yang
mengatakan bahwa anak-istri itu bisa menjadi fitnah.

Ia cinta fitnah karena mencintai
anak dan istri.

Di forum UIN Banten itu saya juga
keceplosan. Dalam praktek manajemen sehari-hari terlalu banyak bawahan yang
mengeluhkan atasan. Lalu menjadi tidak produktif.

Kondisi yang seperti itu harus
diatasi. Bawahan harus menemukan cara untuk bisa membuat atasan mengikuti
keinginan bawahan. Kalau keinginan itu baik.

Yang perlu ditemukan adalah
‘caranya seperti apa’. Cara itu pasti bisa ditemukan –asal bawahan mengetahui
kepribadian atasan.

“Kita itu lho bisa
memerintah Tuhan. Mengapa tidak berhasil memerintah atasan. Memangnya atasan
itu melebihi Tuhan,” kata saya.

Tentu mahasantri di situ kaget:
masak manusia bisa memerintah Tuhan.

Maka saya pun minta mereka memeriksa
semua kalimat dalam sebuah do’a. “Semua kalimat dalam do’a itu bentuknya
pasti fi’il amr, kata perintah,” kata saya.

Misalnya: Ya Tuhan, berilah saya
rezeki. Kata ‘berilah’ adalah tergolong ‘kata perintah’.

Berarti kita itu tiap hari
memerintah Tuhan. Hanya bentuk perintah itu dikemas dalam kemasan do’a.

Maka semua itu soal kemasan.
Untuk bisa memerintah atasan temukanlah kemasan seperti apa yang cocok.

Ini soal cara.

Adakah Prof. Yudian sudah tidak
bisa lagi menemukan cara lain dalam membela Pancasila? Seperti juga Nadiem yang
mungkin tidak menemukan cara selain urakan untuk mengubah kemerdekaan dalam
kampus? (dahlan iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru