28.8 C
Jakarta
Monday, April 7, 2025

Dirikan Koperasi dan UMKM untuk Membanttu Ekonomi Keluarga, Ini Jenis

PALANGKA RAYA- Sekelompok
ibu-ibu ngerumpi. Membahas sana-sini. Dirasa obrolan tak berisi, timbul niat
mendirikan koperasi. Lalu membuka usaha yang membantu ekonomi.

Hijau daun
tanaman rosella menghiasi pelataran rumah Maryatmi. Tertanam rapi di gundukan
tanah yang memanjang, membentuk lima barisan. Usianya baru berjalan satu bulan.
Belum berbunga.

Penulis pagi itu
mendatangi rumahnya, di Jalan Kenanga, Kelurahan Kalampangan, Palangka Raya.
Rumah beton itu dikelilingi daun-daun hijau. Bermacam-macam tanaman. Sekilas tanaman
jenis bunga dan buah. Udara begitu sejuk, di tengah kabut asap pekat saat itu.

Maryatmi menyambut
kedatangan saya dengan senang hati. Dipersilahkan duduk di kursi empuk di ruang
tamu. Duduk saya menghadap foto keluarga yang terpampang jelas. Aroma harum sesekali
tercium.

“Sebentar ya mas,
menyelesaikan kerjaan sebentar,” ucap Maryatmi, dari balik tirai yang menyekat
ruang tamu dan ruang keluarga.

Sesaat kemudian,
perempuan berusia 51 tahun ini menemui saya. Bercerita terkait sepak terjang
ketika memulai bergelut dalam di koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM)
yang mem
bantu perekonomian keluarga dan warga sekitar.

Di rumahnya saat ini,
Emi, sapaan akrab Maryatmi membuat olahan teh herbal. Usahanya dinamakan Teh
Herbal Rossemi. Kependekan dari Rossela Bu Emi.

“Nama itu yang ngasih
bu wali (istri dari Riban Satia, wali kota dua periode 2008–2013 dan
2013–2018),” katanya.

Bunga rossela memang
menjadi primadona. Diolah menjadi olahan teh. Dikemas rapi. Biar menarik minat
pembeli. Memiliki khasiat membantu proses penyembuhan berbagai macam penyakit.

Selain bunga rossela,
ada olahan teh berbahan dasar jahe, kelakai, daun katuk, daun kelor. Bahan di
atas, di tanam di atas tanah gambut.

“Pantas, rumah itu
terasa harum terus, tanpa adanya pewangi ruangan,” ucap saya dalam hati.

Baca Juga :  Papa Zhang

Produknya sudah
menyebar ke beberapa toko di Palangka Raya. Sebagian tersebar ke pulau Jawa. Di
Tanggerang. Kemajuan teknologi memudahkan untuk memasarkan. Meski belum
maksimal. Per kemasan dijual Rp17 ribu. 100 kemasan habis dalam setiap bulan.

“Kalau yang di
Tanggerang, banyak meminati teh kelakai,” sebutnya.

Satu menit kemudian,
salah satu pekerja membawakan teh kelakai yang diseduh dalam gelas bening.
“Tahu aja ibu Emi, saya pengen nyobain rasanya,” gumam saya.

Gelas bening itu
diletakkan di meja bulat dekat tembok. Persis di depan 17 buah piagam
penghargaan tanpa bingkai yang saling menyangga.

Piagam yang banyak
berhubungan dengan industri kreatif.

“Monggo dicoba,” tawar
Emi. Lalu saya menggeser penutup gelas berbahan plastik biar uap panas keluar.

Mengembangkan produk
teh herbal mulai dilakukan sejak tahun 2015. Berawal dari melihat tayangan
televisi soal usaha kreatif, lalu coba-coba membuat. Dimatangkan dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan yang digelar pemerintah melalui dinas terkait dan masukan
dari sejumlah pakar.

Untuk bahan sendiri
tidak sulit untuk mencari. Petani yang ada di Kelurahan Kalampangan sudah
banyak yang menanam. Sesekali dikirim dari luar kota. Itu jika terdesak pesanan.
Bahan-bahan yang diolah menjadi teh memiliki khasiat masing-masing. Contoh,
daun katuk, yang bagus untuk ibu menyusui. Kandungan dalam daun katuk
meningkatkan produksi susu.

Istri dari Eka Imanuel
itu pun mengajak saya melihat langsung proses pembuatan. Saya pun mengiyakan.
Sebelum beranjak dari tempat duduk, saya menyempatkan menyeruput teh kelakai
yang sudah berkurang panasnya.

Di ruang tengah,
berjejer kemasan teh di dalam lemari kaca. Tumpukan kemasan di atas meja. Papan
putih menggantung di tembok berisi tulisan terkait panduan takaran. Untuk
memudahkan pekerja. Serbuk jahe di dalam wadah siap dikemas. Lalu ada juga enam
karung berisikan bermacam-macam daun kering bahan dasar teh.

Baca Juga :  Harus Diakui, Banyak Pencapaian Diraih Sugianto Sabran dan Memberikan

Di dapur, beberapa
pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing. Salah satunya mengaduk sari
berwarna cokelat kemerah-merahan di penggorengan.

“Itu (sari jahe, Red)
diaduk sampai menjadi serbuk,” ucap Emi.

Ibu dari Indah
Cahyaningsih dan Yulia itu menjabarkan, berkembangnya usaha itu tak luput dari
adanya koperasi yang turut ia kelola. Namanya Koperasi Anyelir Bahalap. Baru berbadan
hukum tahun 2015. Sebelumnya, atau dari tahun 2006, kumpulan ibu-ibu di
lingkungan tempat tinggalnya sudah mempratikkan sistem koperasi. Kala itu,
sekelompok ibu-ibu saban hari ngerumpi. Ngobrol sana-sini. Dirasa obrolan
kosong, muncul niat untuk membetuk koperasi simpan pinjam. Dengan simpanan
pokok Rp50 ribu. Simpanan wajib Rp1.000 per bulan.

“Seribu bagi orang saat
itu enggak berarti, tapi bagi kita saat itu, dampaknya luar biasa. Saya tidak
ingat betul tepatnya, yang pasti sampai tahun 2010, lalu menjadi naik menjadi
Rp5.000 per bulannya,” katanya.

Emi pun mengambil
celemek. Meminta izin pada saya untuk sambil mengemas serbuk teh jahe dalam
kemasan. Celemek warna biru itu dipakai. Tangan kanan disarungi plastik.
Ngobrol sambil sambil kerja.

Di tahun 2013, ada 23 orang
anggota yang nimbrung di koperasi. Rata-rata memiliki usaha atau kelompok tani.
Dirinya sendiri sudah bergerak membuat segala jenis makanan olahan dari bunga
rossela. Mulai dari manisan, sirup, dan selai. Perekonomian anggota mengalami
kemajuan. Berkembang. Sampai sekarang.

Seiring berjalannya
waktu, koperasi tumbuh dengan baik. Bersamaan dengan usaha yang dijalankan oleh
masing-masing anggota.

“Kini, simpanan pokok Rp200
ribu, simpanan wajib Rp30 ribu per bulan. Jika ada anggota yang pinjam,
bunganya 5 persen,” ungkapnya.(ram)

PALANGKA RAYA- Sekelompok
ibu-ibu ngerumpi. Membahas sana-sini. Dirasa obrolan tak berisi, timbul niat
mendirikan koperasi. Lalu membuka usaha yang membantu ekonomi.

Hijau daun
tanaman rosella menghiasi pelataran rumah Maryatmi. Tertanam rapi di gundukan
tanah yang memanjang, membentuk lima barisan. Usianya baru berjalan satu bulan.
Belum berbunga.

Penulis pagi itu
mendatangi rumahnya, di Jalan Kenanga, Kelurahan Kalampangan, Palangka Raya.
Rumah beton itu dikelilingi daun-daun hijau. Bermacam-macam tanaman. Sekilas tanaman
jenis bunga dan buah. Udara begitu sejuk, di tengah kabut asap pekat saat itu.

Maryatmi menyambut
kedatangan saya dengan senang hati. Dipersilahkan duduk di kursi empuk di ruang
tamu. Duduk saya menghadap foto keluarga yang terpampang jelas. Aroma harum sesekali
tercium.

“Sebentar ya mas,
menyelesaikan kerjaan sebentar,” ucap Maryatmi, dari balik tirai yang menyekat
ruang tamu dan ruang keluarga.

Sesaat kemudian,
perempuan berusia 51 tahun ini menemui saya. Bercerita terkait sepak terjang
ketika memulai bergelut dalam di koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM)
yang mem
bantu perekonomian keluarga dan warga sekitar.

Di rumahnya saat ini,
Emi, sapaan akrab Maryatmi membuat olahan teh herbal. Usahanya dinamakan Teh
Herbal Rossemi. Kependekan dari Rossela Bu Emi.

“Nama itu yang ngasih
bu wali (istri dari Riban Satia, wali kota dua periode 2008–2013 dan
2013–2018),” katanya.

Bunga rossela memang
menjadi primadona. Diolah menjadi olahan teh. Dikemas rapi. Biar menarik minat
pembeli. Memiliki khasiat membantu proses penyembuhan berbagai macam penyakit.

Selain bunga rossela,
ada olahan teh berbahan dasar jahe, kelakai, daun katuk, daun kelor. Bahan di
atas, di tanam di atas tanah gambut.

“Pantas, rumah itu
terasa harum terus, tanpa adanya pewangi ruangan,” ucap saya dalam hati.

Baca Juga :  Papa Zhang

Produknya sudah
menyebar ke beberapa toko di Palangka Raya. Sebagian tersebar ke pulau Jawa. Di
Tanggerang. Kemajuan teknologi memudahkan untuk memasarkan. Meski belum
maksimal. Per kemasan dijual Rp17 ribu. 100 kemasan habis dalam setiap bulan.

“Kalau yang di
Tanggerang, banyak meminati teh kelakai,” sebutnya.

Satu menit kemudian,
salah satu pekerja membawakan teh kelakai yang diseduh dalam gelas bening.
“Tahu aja ibu Emi, saya pengen nyobain rasanya,” gumam saya.

Gelas bening itu
diletakkan di meja bulat dekat tembok. Persis di depan 17 buah piagam
penghargaan tanpa bingkai yang saling menyangga.

Piagam yang banyak
berhubungan dengan industri kreatif.

“Monggo dicoba,” tawar
Emi. Lalu saya menggeser penutup gelas berbahan plastik biar uap panas keluar.

Mengembangkan produk
teh herbal mulai dilakukan sejak tahun 2015. Berawal dari melihat tayangan
televisi soal usaha kreatif, lalu coba-coba membuat. Dimatangkan dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan yang digelar pemerintah melalui dinas terkait dan masukan
dari sejumlah pakar.

Untuk bahan sendiri
tidak sulit untuk mencari. Petani yang ada di Kelurahan Kalampangan sudah
banyak yang menanam. Sesekali dikirim dari luar kota. Itu jika terdesak pesanan.
Bahan-bahan yang diolah menjadi teh memiliki khasiat masing-masing. Contoh,
daun katuk, yang bagus untuk ibu menyusui. Kandungan dalam daun katuk
meningkatkan produksi susu.

Istri dari Eka Imanuel
itu pun mengajak saya melihat langsung proses pembuatan. Saya pun mengiyakan.
Sebelum beranjak dari tempat duduk, saya menyempatkan menyeruput teh kelakai
yang sudah berkurang panasnya.

Di ruang tengah,
berjejer kemasan teh di dalam lemari kaca. Tumpukan kemasan di atas meja. Papan
putih menggantung di tembok berisi tulisan terkait panduan takaran. Untuk
memudahkan pekerja. Serbuk jahe di dalam wadah siap dikemas. Lalu ada juga enam
karung berisikan bermacam-macam daun kering bahan dasar teh.

Baca Juga :  Harus Diakui, Banyak Pencapaian Diraih Sugianto Sabran dan Memberikan

Di dapur, beberapa
pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing. Salah satunya mengaduk sari
berwarna cokelat kemerah-merahan di penggorengan.

“Itu (sari jahe, Red)
diaduk sampai menjadi serbuk,” ucap Emi.

Ibu dari Indah
Cahyaningsih dan Yulia itu menjabarkan, berkembangnya usaha itu tak luput dari
adanya koperasi yang turut ia kelola. Namanya Koperasi Anyelir Bahalap. Baru berbadan
hukum tahun 2015. Sebelumnya, atau dari tahun 2006, kumpulan ibu-ibu di
lingkungan tempat tinggalnya sudah mempratikkan sistem koperasi. Kala itu,
sekelompok ibu-ibu saban hari ngerumpi. Ngobrol sana-sini. Dirasa obrolan
kosong, muncul niat untuk membetuk koperasi simpan pinjam. Dengan simpanan
pokok Rp50 ribu. Simpanan wajib Rp1.000 per bulan.

“Seribu bagi orang saat
itu enggak berarti, tapi bagi kita saat itu, dampaknya luar biasa. Saya tidak
ingat betul tepatnya, yang pasti sampai tahun 2010, lalu menjadi naik menjadi
Rp5.000 per bulannya,” katanya.

Emi pun mengambil
celemek. Meminta izin pada saya untuk sambil mengemas serbuk teh jahe dalam
kemasan. Celemek warna biru itu dipakai. Tangan kanan disarungi plastik.
Ngobrol sambil sambil kerja.

Di tahun 2013, ada 23 orang
anggota yang nimbrung di koperasi. Rata-rata memiliki usaha atau kelompok tani.
Dirinya sendiri sudah bergerak membuat segala jenis makanan olahan dari bunga
rossela. Mulai dari manisan, sirup, dan selai. Perekonomian anggota mengalami
kemajuan. Berkembang. Sampai sekarang.

Seiring berjalannya
waktu, koperasi tumbuh dengan baik. Bersamaan dengan usaha yang dijalankan oleh
masing-masing anggota.

“Kini, simpanan pokok Rp200
ribu, simpanan wajib Rp30 ribu per bulan. Jika ada anggota yang pinjam,
bunganya 5 persen,” ungkapnya.(ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru