Site icon Prokalteng

Hidup Baru

hidup-baru

Saya selalu ingat petuah ini
–agar hubungan suami istri selalu harmonis.

”Jangan semua keputusan diambil
oleh suami. Istri juga harus diberi wewenang untuk membuat keputusannya
sendiri.” 

”Bukankah sebaiknya semua
keputusan diambil bersama-sama?”

”Bukan. Yang seperti itu tidak
akan memuaskan istri. Itu hanya seolah-olah keputusan bersama. Itu hanya
demonstrasi kecerdikan suami seolah-olah sudah melibatkan istri. Padahal suami
juga yang mendominasi. Berikanlah wewenang pada istri untuk memutuskan beberapa
hal yang kecil-kecil.”               
                   
  

”Yang kecil-kecil itu misalnya
seperti apa?”

”Banyak. Misalnya keputusan
membeli rumah, termasuk memilih lokasi. Juga keputusan membeli mobil, termasuk
memilih merk. Biarlah istri yang memutuskan. Juga keputusan di mana harus
menyimpan uang.”

”Lha yang keputusan besar
seperti apa?”

”Banyak. Misalnya mengurus
tegaknya demokrasi, tegaknya hukum dan bagaimana agar Covid-19
teratasi….” 

Itulah cara hidup baru setelah lockdown –apa
pun istilahnya dalam bahasa lokal.

”Lho, apakah lockdown itu
perlu?”

”Pertanyaan basi. Kenapa tidak
ditanyakan 1 bulan lalu? Perlu.”

”Mengapa perlu?”

”Karena tidak semua orang
disiplin.”

”Kalau semua orang bisa
disiplin tidak perlu lockdown?”

”Tidak perlu.”

”Boleh ke mana-mana?”

”Boleh.”

”Boleh kerja?”

”Boleh.”

”Boleh jualan?”

”Boleh.”

”Boleh ke cafe?”

”Boleh.”

”Boleh ke pasar?”

”Boleh.”

Serba boleh. Asal kita bisa
memulai ”hidup baru”. Yakni kalau semua orang sudah bisa disiplin.

Nama hidup gaya baru itu
disebut ”disiplin”.

Termasuk disiplin jaga jarak.

Mudik pun boleh. Asal disiplin.
Misalnya: jalan kaki.

Murah.

Dengan jaga jarak.

Jalan kaki dari Jakarta ke
Ponorogo 14 hari. Tiba di Ponorogo tidak perlu isolasi lagi.

Jadi hidup di tengah Covid-19
ini sebenarnya biasa saja. Yang diperlukan hanya perlu hidup cara baru.

Setidaknya sampai obat yang
ditemukan itu bisa kita dapat.

Sampai vaksin yang ditemukan
itu bisa memvaksinasi kita.

Setelah itu terserahlah. Mau
hidup kembali ke gaya yang lama apa boleh buat.

Mau tetap dengan gaya baru Alhamdulillah.
Bisa menjadi seperti orang Jepang? Bisa 75 persennya pun jadi.

Tapi bagaimana memulainya agar
bisa membuat kita semua disiplin?

Memang sulit. Apalagi secara
nasional.

Tapi bisa. Kan ada ilmu
manajemen. Ada teknologi. TINGGAL menambah leadership.

Mungkin bisa kita mulai dari tingkat
provinsi.

Mungkin juga masih sulit. Masih
terlalu besar.

Maka mulailah per
kota/kabupaten.

Masih sulit?

Mulailah per desa.

Masih sulit?

Mulailah per RT. Dan inilah
yang kelihatannya mulai tampak. Banyak komplek perumahan sudah setengah ditutup
untuk pendatang.

Sudah ada RT yang menerapkan
prosedur baru.

Hidup RT! 加油!

Dan bagi kalangan bisnis hidup
baru itu sebenarnya lebih mudah. Mulailah di masing-masing perusahaan.

Ciptakan sistem baru. Yang
harus dipatuhi semua karyawan dan keluarganya. Mungkin ada karyawan yang tidak
mau terikat sistem baru itu. Carilah karyawan lain yang mau. Masih banyak yang
perlu pekerjaan. 

Departemen HRD di perusahaan
itu harus mendapat beban tambahan. Sebagai panglima garis depan hidup baru.

Tahapannya dimulai dari
pembuatan peraturan perusahaan: karyawan harus lockdown dulu di
rumah masing-masing. Bersama keluarga.

Ciptakan sistem pelaporan
–menggunakan teknologi masa kini yang murah itu– ke HRD. Isinya tentang
pelaksanaan lockdown itu.

Harus ada laporan setiap hari.
Misalnya ada berapa orang di rumah itu. Punya pembantu atau tidak. Pembantu
tinggal di rumah itu atau tidak. Punya sopir atau tidak. Sopirnya tinggal di
rumah itu atau tidak.

Dalam laporan harian ke HRD itu
termasuk: siapa yang hari itu ke luar rumah. Bahkan HRD perlu menerapkan
aturan: untuk keluar rumah harus minta izin perusahaan. Lewat sistem. Semacam apps internal
perusahaan.

Kalau perlu setiap karyawan dan
keluarganya dipasangi gelang elektronik. Biar keren. Seperti yang dipakai
dengan cantiknya oleh Sabrina Meng, bos Huawei, di Kanada itu.

Atau bisa berbentuk gelang kaki
seperti Marlena –primadona dalam ludruk yang gayanya kidas itu.

Juga harus ada aturan soal
tamu. Maksud saya ada larangan terima tamu. Atau ada prosedur baru ketika ada
tamu: tamu harus di luar pagar. Tuan rumah di dalam pagar.

HRD bisa melengkapi aturan yang
lebih ketat.

Evaluasilah pelaksanaan aturan
itu: apakah masih ada yang bolongnya.

Setelah 14 hari aman, semua
karyawan boleh bekerja lagi. Berarti satu kantor/perusahaan sudah aman untuk
bekerja kembali.

Tentu dengan bekerja gaya baru.

Hanya saja yang tugas ke luar
kantor harus ada sistem pelaporan disiplin jaga jarak dan disiplin masker.

Manajer HRD pasti mampu
mendapat beban tugas baru itu. Termasuk mengevaluasi di mana saja ”bolong”
–nya sistem baru itu.

Misalnya teman saya di Jakarta
ini.

Dia dengan bangga merasa aman.
Sudah 100 persen lockdown di rumah.
Bersama suami dan anak-anaknya. Pembantu juga tinggal di situ. Demikian juga
sopirnya.

Aman.

”Apakah tidak ada orang lain
lagi yang tinggal di rumah Anda?” tanya saya.

”Ada dua orang. Masih keluarga.
Tapi di kamar terpisah. Di bagian belakang rumah,” jawabnya.

”Pintu masuk keduanya terpisah?
Tidak lewat pintu rumah?” tanya saya lagi.

”Tidak. Mereka lewat samping,”
jawabnya.

”Apakah dari kamar mereka itu
ada pintu tembus ke rumah Anda?”

”Ada.”

”Pintunya bisa dibuka?”

”Bisa. Kan mereka harus ke
dapur untuk masak atau ambil makanan.”

”Mereka tiap hari keluar
rumah?”

”Iya. Mereka kan kerja.”

Itulah yang saya maksud
”lubang” itu. Yang harus diatasi oleh HRD tadi.

Lockdown lokal
per perusahaan itu lebih mudah dilaksanakan. Itu karena bisa dilewatkan
mekanisme peraturan perusahaan. Dengan sanksi yang biasanya ditakuti karyawan.

Keraslah dalam penegakkan
disiplin ini. Tapi lembutlah dalam meningkatkan kesejahteraan.

Untuk masyarakat umum sulit
melakukan itu.

Tapi apakah tidak bisa?

Bisa.

Lewat apa?

Paguyuban warga.

Dasarnya bukan peraturan. Tapi
kesepakatan warga. Yang dipimpin oleh pak/bu RT. Dibantu tokoh informal di RT
itu.

Saya tidak pernah menduga kalau
jabatan RT menjadi sepenting ini. Lebih penting dari dirut perusahaan.

Sang dirut bisa mendisiplinkan
karyawannya lewat peraturan direksi. Atau lewat plerokan mata pimpinan.

Tapi pak/bu RT harus lewat
kearifan, keramahan, keteladanan, bimbingan, humor, dan leadership.
Siapa bilang jadi RT lebih mudah dari menjadi dirut BUMN. Dalam situasi seperti
ini.

Jadi restoran bisa buka. Kalau
disiplin.

Gym bisa dibuka kalau ada
pengaturan baru.

Kuncinya di disiplin.

Jepang bisa disiplin sendiri.
Kita perlu didisiplinkan.

Ilmu manajemen –plus
teknologi, plus leadership— kini berada di garis depan.
(Dahlan Iskan)

 

Exit mobile version