30.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Opo Tumon

Begitu banyak yang bertanya ke Korea Selatan: bagaimana tanpa lockdown jumlah penderita Covid-19 terus menurun di sana.

Yang bertanya itu termasuk Presiden Amerika
Serikat Donald Trump. Juga Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Begitulah pengakuan Presiden Korsel Moon
Jae-in, Selasa lalu.

Saya tidak berani ikut bertanya. Takut balik ditanya: memangnya Anda
mampu membeli berapa juta set alat test Covid-19? Atau pertanyaan lebih rendah
dari itu: memangnya Anda mampu melakukan test 320.000 penduduk hanya dalam
waktu sebulan?

Atau: memangnya penduduk di Indonesia bisa
sedisiplin Korea Selatan? Bukankah saat di negeri Anda diliburkan justru
berbondong-bondong rekreasi?

Amerika memang ikut tersengat Korea Selatan.
Saat Korsel sudah mengetes 320.000 penduduknya, Amerika baru bisa 5.000. Angka
itu begitu njomplang –belum
lagi diukur dari jumlah penduduk Amerika yang lima kali lebih besar.

Sebagai bandingan media di Singapura kemarin
menyebut Indonesia sudah mengetes 1.200 orang penduduknya. Namun Amerika lagi
mengejar angka itu.

Trump lagi terpojok. Semua yang ia nafikan
akhirnya ia lakukan: ia sendiri melakukan tes Covid-19 –yang awalnya berkeras
menolak. Padahal Trump baru menemui Presiden Brasil Jail Bolsonaro –yang
seminggu kemudian dinyatakan menderita Covid-19.

Trump bisa menepuk dada. Hasil tesnya: negatif. Trump juga sudah mau
membatalkan kampanye-kampanye politiknya. Ia juga sudah menjanjikan
menggratiskan biaya tes untuk seluruh rakyat Amerika.

Bahkan Trump sudah mau mengurangi bicara. Ia
sudah meminta wakil presidennya, Mike Pence, yang lebih banyak bicara soal
Covid-19.

Itu setelah Capres Partai Demokrat Joe Biden
menjawab pertanyaan wartawan: apa program besarnya untuk menanggulangi
Covid-19?

Jawab Biden: menutup mulut Trump.

Langkah Trump lainnya: mencari penemu obat baru
untuk melawan Covid-19.

Baca Juga :  Ramah, Ujang Iskandar Disukai Masyarakat Kalteng

Ia bermaksud membayar sebuah lembaga riset
swasta di Jerman Rp 15 triliun. Agar memproduksi anti-Covid-19 khusus untuk
Amerika –jangan dijual ke pihak lain.

Perusahaan riset tersebut, CureVac, belum tentu
bisa segera memproduksinya — tetapi diperkirakan punya kemampuan untuk itu.

Hanya saja Jerman langsung mengadangnya: Jerman
tidak untuk dijual. Itulah kata pemimpin Jerman, Angela Merkel menanggapi
langkah Trump.

Di Amerika sendiri diberitakan sudah mampu
melakukan uji coba obat sejenis. Sudah disuntikkan ke 45 orang sehat –yang mau
jadi relawan uji coba.

Obat baru itu disuntikkan di lengan atas
mereka. Itu untuk mengetahui efek samping obat tersebut.

Namun tes seperti itu masih panjang.
Prosedurnya banyak. Paling cepat setahun. Bahkan bisa 18 bulan –barulah bisa
diproduksi. Itu pun kalau hasil tesnya berhasil.

Atau meniru Korsel. Izin memproduksi penemuan
baru untuk alat test Covid-19 keluar dalam satu minggu.

Soal penemuan obat anti-Covid-19 Tiongkok sudah
lebih dulu mengumumkan. Februari lalu. Yakni ketika militer diperintahkan
terjun ikut mengatasi Covid-19 –di pusat wabah itu: Wuhan.

Militer membangun rumah sakit darurat di gedung
olahraga yang besar di Wuhan. Semua dokter dan perawatnya militer.

Sebelum mulai bertugas mereka disuntik
anti-Covid-19. Juga di lengan atas mereka. Agar tidak tertular. Video
penyuntikan ini dipublikasikan secara luas.

Dua minggu lalu rumah sakit darurat tersebut
ditutup. Jumlah penderita baru di Wuhan sudah menurun drastis.

Waktu penutupan itu dilakukan tinggal 46 pasien
baru Covid-19 di Wuhan. Itu cukup ditangani rumah sakit reguler. Seminggu
setelah penutupan itu hanya ada 1 pasien baru Covid-19 di Wuhan.

Kegembiraan hari itu bukan hanya misi militer
sudah berhasil, tapi juga ini: tidak satu pun dokter dan perawatnya yang
tertular Covid-19.

Baca Juga :  DPRD Minta Pemprov Tindaklanjuti Usulan DOB dan Tata Batas

Nama pemimpin mereka pun melambung tinggi.
Seorang mayor jendral. Wanita. Dokter. Ilmuwan. Ahli virus. Umur 54 tahun.
Namanya: Mayjen Chen Wei. Ahli epidemiologi dan virologi.

Apakah nonmiliter sudah akan boleh menggunakan
obat yang disuntikkan itu tergantung evaluasi atas efek samping obat tersebut?
Termasuk bagaimana bila yang disuntik tidak sesehat para tentara itu.

Lockdown di Tiongkok
sangat berhasil. Tanpa lockdown di
Korsel juga berhasil –meski masih ada saja penderita baru.

Bagi Korsel, sebenarnya, melakukan lockdown sekali pun
tidak sesulit Tiongkok. Wilayahnya kecil. Dikelilingi laut –kecuali di
perbatasan Utara.

Penduduknya disiplin. Tabungan uangnya banyak.
Di-lockdown tiga
bulan pun masih ada uang untuk belanja.

Meski begitu Korsel masih juga kecolongan.
Tiba-tiba muncul penderita baru dalam jumlah besar. Sekaligus 46 orang. Hanya
dalam satu hari.

Setelah ditelusuri penyebabnya satu: di sebuah
gereja. Nama gereja itu: River of Grace Community Church.

Hari itu, tanggal 1 dan 8 Maret, gereja
melaksanakan tindakan pencegahan Covid-19 kepada jemaatnya. Caranya:
tenggorokan jemaat itu disemprot dengan air garam. Ada sekitar 100 jemaat yang
hadir di kebaktian hari itu.

Entah dari mana resep air garam seperti itu.
Mungkin karena di sana tidak ada empon-empon. Tidak ada cairan jahe yang bisa
disemprotkan.

Ternyata ujung semprotan itu masuk ke
tenggorokan terlalu dalam. Sampai menyentuh liur yang disemprot.

Alat semprot yang sama dimasukkan ke
tenggorokan jemaat berikutnya. Yang duduk berjejer di dalam gereja itu.

Terjadilah penularan itu.

Kalau di majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat kegiatan
di gereja itu akan masuk rubrik Opo Tumon.(***)

 

Begitu banyak yang bertanya ke Korea Selatan: bagaimana tanpa lockdown jumlah penderita Covid-19 terus menurun di sana.

Yang bertanya itu termasuk Presiden Amerika
Serikat Donald Trump. Juga Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Begitulah pengakuan Presiden Korsel Moon
Jae-in, Selasa lalu.

Saya tidak berani ikut bertanya. Takut balik ditanya: memangnya Anda
mampu membeli berapa juta set alat test Covid-19? Atau pertanyaan lebih rendah
dari itu: memangnya Anda mampu melakukan test 320.000 penduduk hanya dalam
waktu sebulan?

Atau: memangnya penduduk di Indonesia bisa
sedisiplin Korea Selatan? Bukankah saat di negeri Anda diliburkan justru
berbondong-bondong rekreasi?

Amerika memang ikut tersengat Korea Selatan.
Saat Korsel sudah mengetes 320.000 penduduknya, Amerika baru bisa 5.000. Angka
itu begitu njomplang –belum
lagi diukur dari jumlah penduduk Amerika yang lima kali lebih besar.

Sebagai bandingan media di Singapura kemarin
menyebut Indonesia sudah mengetes 1.200 orang penduduknya. Namun Amerika lagi
mengejar angka itu.

Trump lagi terpojok. Semua yang ia nafikan
akhirnya ia lakukan: ia sendiri melakukan tes Covid-19 –yang awalnya berkeras
menolak. Padahal Trump baru menemui Presiden Brasil Jail Bolsonaro –yang
seminggu kemudian dinyatakan menderita Covid-19.

Trump bisa menepuk dada. Hasil tesnya: negatif. Trump juga sudah mau
membatalkan kampanye-kampanye politiknya. Ia juga sudah menjanjikan
menggratiskan biaya tes untuk seluruh rakyat Amerika.

Bahkan Trump sudah mau mengurangi bicara. Ia
sudah meminta wakil presidennya, Mike Pence, yang lebih banyak bicara soal
Covid-19.

Itu setelah Capres Partai Demokrat Joe Biden
menjawab pertanyaan wartawan: apa program besarnya untuk menanggulangi
Covid-19?

Jawab Biden: menutup mulut Trump.

Langkah Trump lainnya: mencari penemu obat baru
untuk melawan Covid-19.

Baca Juga :  Ramah, Ujang Iskandar Disukai Masyarakat Kalteng

Ia bermaksud membayar sebuah lembaga riset
swasta di Jerman Rp 15 triliun. Agar memproduksi anti-Covid-19 khusus untuk
Amerika –jangan dijual ke pihak lain.

Perusahaan riset tersebut, CureVac, belum tentu
bisa segera memproduksinya — tetapi diperkirakan punya kemampuan untuk itu.

Hanya saja Jerman langsung mengadangnya: Jerman
tidak untuk dijual. Itulah kata pemimpin Jerman, Angela Merkel menanggapi
langkah Trump.

Di Amerika sendiri diberitakan sudah mampu
melakukan uji coba obat sejenis. Sudah disuntikkan ke 45 orang sehat –yang mau
jadi relawan uji coba.

Obat baru itu disuntikkan di lengan atas
mereka. Itu untuk mengetahui efek samping obat tersebut.

Namun tes seperti itu masih panjang.
Prosedurnya banyak. Paling cepat setahun. Bahkan bisa 18 bulan –barulah bisa
diproduksi. Itu pun kalau hasil tesnya berhasil.

Atau meniru Korsel. Izin memproduksi penemuan
baru untuk alat test Covid-19 keluar dalam satu minggu.

Soal penemuan obat anti-Covid-19 Tiongkok sudah
lebih dulu mengumumkan. Februari lalu. Yakni ketika militer diperintahkan
terjun ikut mengatasi Covid-19 –di pusat wabah itu: Wuhan.

Militer membangun rumah sakit darurat di gedung
olahraga yang besar di Wuhan. Semua dokter dan perawatnya militer.

Sebelum mulai bertugas mereka disuntik
anti-Covid-19. Juga di lengan atas mereka. Agar tidak tertular. Video
penyuntikan ini dipublikasikan secara luas.

Dua minggu lalu rumah sakit darurat tersebut
ditutup. Jumlah penderita baru di Wuhan sudah menurun drastis.

Waktu penutupan itu dilakukan tinggal 46 pasien
baru Covid-19 di Wuhan. Itu cukup ditangani rumah sakit reguler. Seminggu
setelah penutupan itu hanya ada 1 pasien baru Covid-19 di Wuhan.

Kegembiraan hari itu bukan hanya misi militer
sudah berhasil, tapi juga ini: tidak satu pun dokter dan perawatnya yang
tertular Covid-19.

Baca Juga :  DPRD Minta Pemprov Tindaklanjuti Usulan DOB dan Tata Batas

Nama pemimpin mereka pun melambung tinggi.
Seorang mayor jendral. Wanita. Dokter. Ilmuwan. Ahli virus. Umur 54 tahun.
Namanya: Mayjen Chen Wei. Ahli epidemiologi dan virologi.

Apakah nonmiliter sudah akan boleh menggunakan
obat yang disuntikkan itu tergantung evaluasi atas efek samping obat tersebut?
Termasuk bagaimana bila yang disuntik tidak sesehat para tentara itu.

Lockdown di Tiongkok
sangat berhasil. Tanpa lockdown di
Korsel juga berhasil –meski masih ada saja penderita baru.

Bagi Korsel, sebenarnya, melakukan lockdown sekali pun
tidak sesulit Tiongkok. Wilayahnya kecil. Dikelilingi laut –kecuali di
perbatasan Utara.

Penduduknya disiplin. Tabungan uangnya banyak.
Di-lockdown tiga
bulan pun masih ada uang untuk belanja.

Meski begitu Korsel masih juga kecolongan.
Tiba-tiba muncul penderita baru dalam jumlah besar. Sekaligus 46 orang. Hanya
dalam satu hari.

Setelah ditelusuri penyebabnya satu: di sebuah
gereja. Nama gereja itu: River of Grace Community Church.

Hari itu, tanggal 1 dan 8 Maret, gereja
melaksanakan tindakan pencegahan Covid-19 kepada jemaatnya. Caranya:
tenggorokan jemaat itu disemprot dengan air garam. Ada sekitar 100 jemaat yang
hadir di kebaktian hari itu.

Entah dari mana resep air garam seperti itu.
Mungkin karena di sana tidak ada empon-empon. Tidak ada cairan jahe yang bisa
disemprotkan.

Ternyata ujung semprotan itu masuk ke
tenggorokan terlalu dalam. Sampai menyentuh liur yang disemprot.

Alat semprot yang sama dimasukkan ke
tenggorokan jemaat berikutnya. Yang duduk berjejer di dalam gereja itu.

Terjadilah penularan itu.

Kalau di majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat kegiatan
di gereja itu akan masuk rubrik Opo Tumon.(***)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru