27.3 C
Jakarta
Thursday, May 9, 2024

Bahaya Terbiasa Melakukan Self-Diagnose

ADA sebuah istilah “Life is too short to keep your feelings
inside.”
Hidup akan berarti sangat singkat jika kita terus-terusan
menyimpan sebuah rasa akan suatu masalah hidup. Kita sebagai manusia adalah hal
yang wajar jika memiliki sebuah masalah.

Salah satu Psikolog dari Himpunan
Psikolog (Himpsi) Jatim Atikah Dian Ariana mengatakan bahwa tingkat depresi itu
tinggi, data di Indonesia depresi menjadi nomor satu untuk kasus rawat jalan. Hal
ini membuktikan bahwa psikis jarang sekali diperhatikan oleh kebanyakan orang.
Padahal, kesehatan mental adalah hal yang sangat penting dan menjadi tolak ukur
dalam dunia kesehatan.

Dalam publikasi World Health
Organization (WHO),
satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan
mental atau neurologis dalam beberapa waktu di dalam hidup mereka. Publikasi
yang sama menyebutkan sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan
mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh diri tiap tahun. 

World Health Organizaton (WHO)
mendefinisikan bahwa tubuh yang sehat itu adalah sehat secara fisik, mental,
dan sosial. Selama ini, tidak sedikit orang yang fokus menjaga kesehatan tubuh
hanya secara fisik saja dan melupakan cara merawat kesehatan mentalnya. Padahal
keduanya saling terkait dan sama pentingnya.

Kesehatan mental merupakan status
kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari secara sadar terkait
kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai tekanan dalam
kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif. Bagi sebagian masyarakat
apalagi kaum muda, memiliki hormon yang tidak stabil, malah membuat mereka malu
untuk berbagi permasalahan dan lebih memilih untuk mereka simpan sendiri. Terlebih
stigma masyarakat masih menganggap orang yang pergi ke Psikolog yakni hanya orang
yang memiliki penyakit kejiwaan. Hal ini tidaklah benar, kawan-kawan.

Di Indonesia sendiri, dari data
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari
Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan, prevalensi gangguan mental emosional
yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk
usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. 

Baca Juga :  Bupati Serahkan Ambulans untuk Warga

Akhir-akhir ini kasus yang marak
terjadi yaitu tentang Self-Diagnose, yang berarti  mendiagnosis diri sendiri memiliki sebuah
gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki diri sendiri tanpa
pemeriksaan dan diagnosis dari ahli. Self-Diagnose sangat berbahaya
selain menyebabkan salah diagnosis, membuat kepanikan yang tidak berdasar,
dapat memicu stress dan depresi, bisa mengonsumsi obat yang salah, dan
menyebarkan informasi yang salah ke orang lain.

Misalnya, seseorang yang belakangan
ini sering merasa pusing. Kemudian ia menggunakan mesin pencari untuk menjawab
rasa penasarannya. Dari hasil pencariannya ternyata membawanya pada gejala
penyakit serius seperti kanker otak. Orang itu kemudian langsung merasa takut
dan sudah panik karena menyangka dirinya mengalami penyakit serius. Padahal
belum tentu dia memang memiliki penyakit serius, tapi dia telah menciptakan
kepanikan yang tidak perlu untuk dirinya sendiri. Perilaku inilah yang harusnya
dihindari.

Sama dengan penyakit fisik, hal
yang sama sering dilakukan pula untuk gangguan mental. Hal ini yang kemudian
menyebabkan munculnya persepsi yang salah mengenai gangguan mental. Orang yang
mood nya mudah berubah dikira berkepribadian ganda. Orang yang tidak mudah
berada di keramaian dikira antisosial. Orang yang sering berbohong dikira
psikopat dan masih banyak mispersepsi lainnya.

Solusi terbaik yaitu, jangan
mudah untuk mendiagnosa diri sendiri. Jadikan informasi yang diperoleh sebagai
gejala. Berkonsultasilah dengan psikolog untuk didiagnosa dan diberikan
treatment yang terbaik dan sesuai. Perlu diketahui, khusus untuk gangguan
psikologis, seseorang baru bisa dinyatakan memiliki gangguan ketika pendapat
itu didiagnosis oleh psikolog atau psikiater.

Apa yang kamu baca di internet
mungkin membawamu pada keyakinan-keyakinan tertentu. Namun pahamilah, bahwa apa
yang kamu yakini belum tentu sepenuhnya benar. Merasa mengalami satu atau dua
gejala dari sebuah gangguan atau penyakit pun bukan berarti kamu memiliki
penyakit atau gangguan itu.

Baca Juga :  Pengangkatan Sekda Kota Harus Ditinjau Ulang

Janganlah membiarkan dirimu larut
dalam permasalahan yang seharusnya tidak kamu simpan sendirian. Psikolog hadir
sebagai teman, sahabat, dan pendamping. Mereka selalu ada disaat kamu membutuhkan,
dan jangan khawatir akan rahasiamu terbongkar. Mempertahankan kerahasian data
adalah salah satu pasal yang wajib dipatuhi oleh seorang Psikolog. Psikolog
atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien
atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya.

Dalam kategori apa sih kita harus
berkonsultasi dengan seorang Psikolog? Terkadang kita tidak sadar kalau
sebenarnya kita sedang membutuhkan bantuan Psikolog untuk menyelesaikan
permasalahan kita, atau bahkan kita tidak tahu bahwa sebenarnya kita sedang
‘bermasalah’

Berikut mungkin beberapa tanda
yang bisa kamu waspadai, dan saatnya kamu harus perhatian kepada kesehatan
mentalmu. Pertama, saat masalahmu sudah mengganggu keseharianmu. Kedua, kamu pernah atau baru saja mengalami
kejadian traumatis. Ketiga, kamu berusaha memecahkannya sendiri, namun malah
menemui jalan buntu. Keempat, saat merasa orang-orang di sekitarmu gak ada yang
bisa membantu. Kelima, orang-orang terdekat merasa terganggu dengan sifat dan
perilakumu. Keenam, kamu mencari pelampiasan dengan kebiasaan buruk.

Nah kawan-kawan, tidak ada yang
salah untuk pergi ke Psikolog. Sebagian orang melakukannya untuk suatu tujuan
yang baik. Setidaknya masyarakat harus mulai menghapus berbagai pandangan
negatif tentang seseorang yang pergi ke Psikolog. Kita harus mengerti bahwa
setiap orang diberikan permasalahan yang berbeda-beda dan sudah tugas kita
untuk menghargai mereka yang berusaha untuk menjalani hidup seperti orang lain.
(***)

(Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang asal Sampit, Kalimantan Tengah)

ADA sebuah istilah “Life is too short to keep your feelings
inside.”
Hidup akan berarti sangat singkat jika kita terus-terusan
menyimpan sebuah rasa akan suatu masalah hidup. Kita sebagai manusia adalah hal
yang wajar jika memiliki sebuah masalah.

Salah satu Psikolog dari Himpunan
Psikolog (Himpsi) Jatim Atikah Dian Ariana mengatakan bahwa tingkat depresi itu
tinggi, data di Indonesia depresi menjadi nomor satu untuk kasus rawat jalan. Hal
ini membuktikan bahwa psikis jarang sekali diperhatikan oleh kebanyakan orang.
Padahal, kesehatan mental adalah hal yang sangat penting dan menjadi tolak ukur
dalam dunia kesehatan.

Dalam publikasi World Health
Organization (WHO),
satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan
mental atau neurologis dalam beberapa waktu di dalam hidup mereka. Publikasi
yang sama menyebutkan sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan
mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh diri tiap tahun. 

World Health Organizaton (WHO)
mendefinisikan bahwa tubuh yang sehat itu adalah sehat secara fisik, mental,
dan sosial. Selama ini, tidak sedikit orang yang fokus menjaga kesehatan tubuh
hanya secara fisik saja dan melupakan cara merawat kesehatan mentalnya. Padahal
keduanya saling terkait dan sama pentingnya.

Kesehatan mental merupakan status
kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari secara sadar terkait
kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai tekanan dalam
kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif. Bagi sebagian masyarakat
apalagi kaum muda, memiliki hormon yang tidak stabil, malah membuat mereka malu
untuk berbagi permasalahan dan lebih memilih untuk mereka simpan sendiri. Terlebih
stigma masyarakat masih menganggap orang yang pergi ke Psikolog yakni hanya orang
yang memiliki penyakit kejiwaan. Hal ini tidaklah benar, kawan-kawan.

Di Indonesia sendiri, dari data
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari
Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan, prevalensi gangguan mental emosional
yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk
usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. 

Baca Juga :  Bupati Serahkan Ambulans untuk Warga

Akhir-akhir ini kasus yang marak
terjadi yaitu tentang Self-Diagnose, yang berarti  mendiagnosis diri sendiri memiliki sebuah
gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki diri sendiri tanpa
pemeriksaan dan diagnosis dari ahli. Self-Diagnose sangat berbahaya
selain menyebabkan salah diagnosis, membuat kepanikan yang tidak berdasar,
dapat memicu stress dan depresi, bisa mengonsumsi obat yang salah, dan
menyebarkan informasi yang salah ke orang lain.

Misalnya, seseorang yang belakangan
ini sering merasa pusing. Kemudian ia menggunakan mesin pencari untuk menjawab
rasa penasarannya. Dari hasil pencariannya ternyata membawanya pada gejala
penyakit serius seperti kanker otak. Orang itu kemudian langsung merasa takut
dan sudah panik karena menyangka dirinya mengalami penyakit serius. Padahal
belum tentu dia memang memiliki penyakit serius, tapi dia telah menciptakan
kepanikan yang tidak perlu untuk dirinya sendiri. Perilaku inilah yang harusnya
dihindari.

Sama dengan penyakit fisik, hal
yang sama sering dilakukan pula untuk gangguan mental. Hal ini yang kemudian
menyebabkan munculnya persepsi yang salah mengenai gangguan mental. Orang yang
mood nya mudah berubah dikira berkepribadian ganda. Orang yang tidak mudah
berada di keramaian dikira antisosial. Orang yang sering berbohong dikira
psikopat dan masih banyak mispersepsi lainnya.

Solusi terbaik yaitu, jangan
mudah untuk mendiagnosa diri sendiri. Jadikan informasi yang diperoleh sebagai
gejala. Berkonsultasilah dengan psikolog untuk didiagnosa dan diberikan
treatment yang terbaik dan sesuai. Perlu diketahui, khusus untuk gangguan
psikologis, seseorang baru bisa dinyatakan memiliki gangguan ketika pendapat
itu didiagnosis oleh psikolog atau psikiater.

Apa yang kamu baca di internet
mungkin membawamu pada keyakinan-keyakinan tertentu. Namun pahamilah, bahwa apa
yang kamu yakini belum tentu sepenuhnya benar. Merasa mengalami satu atau dua
gejala dari sebuah gangguan atau penyakit pun bukan berarti kamu memiliki
penyakit atau gangguan itu.

Baca Juga :  Pengangkatan Sekda Kota Harus Ditinjau Ulang

Janganlah membiarkan dirimu larut
dalam permasalahan yang seharusnya tidak kamu simpan sendirian. Psikolog hadir
sebagai teman, sahabat, dan pendamping. Mereka selalu ada disaat kamu membutuhkan,
dan jangan khawatir akan rahasiamu terbongkar. Mempertahankan kerahasian data
adalah salah satu pasal yang wajib dipatuhi oleh seorang Psikolog. Psikolog
atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien
atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya.

Dalam kategori apa sih kita harus
berkonsultasi dengan seorang Psikolog? Terkadang kita tidak sadar kalau
sebenarnya kita sedang membutuhkan bantuan Psikolog untuk menyelesaikan
permasalahan kita, atau bahkan kita tidak tahu bahwa sebenarnya kita sedang
‘bermasalah’

Berikut mungkin beberapa tanda
yang bisa kamu waspadai, dan saatnya kamu harus perhatian kepada kesehatan
mentalmu. Pertama, saat masalahmu sudah mengganggu keseharianmu. Kedua, kamu pernah atau baru saja mengalami
kejadian traumatis. Ketiga, kamu berusaha memecahkannya sendiri, namun malah
menemui jalan buntu. Keempat, saat merasa orang-orang di sekitarmu gak ada yang
bisa membantu. Kelima, orang-orang terdekat merasa terganggu dengan sifat dan
perilakumu. Keenam, kamu mencari pelampiasan dengan kebiasaan buruk.

Nah kawan-kawan, tidak ada yang
salah untuk pergi ke Psikolog. Sebagian orang melakukannya untuk suatu tujuan
yang baik. Setidaknya masyarakat harus mulai menghapus berbagai pandangan
negatif tentang seseorang yang pergi ke Psikolog. Kita harus mengerti bahwa
setiap orang diberikan permasalahan yang berbeda-beda dan sudah tugas kita
untuk menghargai mereka yang berusaha untuk menjalani hidup seperti orang lain.
(***)

(Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Malang asal Sampit, Kalimantan Tengah)

Terpopuler

Artikel Terbaru