Pertunjukan belum
berjalan separonya. Wanita di sebelah saya ini menyodorkan tisu. Rupanya dia
tahu saya mengusap air mata. Padahal saya sudah berusaha serahasia mungkin.
Saya jatuh terharu
menonton Operet Aku Anak Rusun ini. Yang menampilan judul “Selendang
Arimbi” itu. Dipentaskan di Atrpreneur Ciputra Kuningan, Jakarta. Sabtu
kemarin. Saya dapat tiket pertunjukan yang jam 14.00.
Saya tidak menonton
penampilan mereka yang pertama. Yang di tahun 2017. Waktu itu saya banyak pergi
jauh.
Saya tidak bisa
membandingkan mana yang lebih menyenangkan. Yang jelas saya suka sekali
menonton Selendang Arimbi.
Saya sengaja
menggunakan kata “suka” atau “tidak suka”. Saya menghindari
kata “baik” atau “tidak baik”. Melihat karya seni sering
harus subyektif.
Sekilas –dari
promosinya– Selendang Arimbi ini seperti operet anak-anak. Tapi sutradara
berhasil tidak membuatnya jatuh ke operet dolanan.
Jalan ceritanya bisa
dibilang “serius”. Kelemahan gerak tari anak-anak itu berhasil
tertutup oleh kekolosalannya. Ada 200 anak dari tiga rumah susun Jakarta tampil
di Selendang Arimbi: Rusun Pulo Gebang, Rawa Bebek, dan Daan Mogot.
Ketidaksempurnaan gerak
dansa waltz-nya tertutup dengan gerak humor sang penari –terutama
yang diperankan wanita berbaju merah itu. Gerak lucu itu justru menjadikan tari
dansa itu sendiri lebih menghibur. Daripada, misalnya, menampilkan pedansa
serius.
Apakah wanita itu
pedansa profesional yang diselipkan di antara anak-anak rusun?
Sutradara juga sering
menyajikan banyak cerita di satu panggung. Tanpa terjadi kontradiksi. Misalnya
saat teman-teman Arimbi membantu jualan selendang. Adegan jualannya justru
diwujudkan dalam gerak di background. Adegan utamanya adalah tari
lain. Yang menggambarkan kesibukan Taman Fatahillah Jakarta.
Yang seperti itu
membuat penonton merasa mendapat sajian menu beragam yang serasi.
Teknik berceritanya pun
tidak kronologis –ciri khas lama opera anak-anak. Di Selendang Arimbi banyak
dipakai teknik flashback. Atau flashfuture.
Bahkan ending ceritanya pun sebuah flashback yang
jauh. Yang membuat penonton tidak bisa menebak akhir dari cerita itu.
Sungguh teknik
penceritaan yang modern. Seperti novel yang diwujudkan dalam opera.
Ceritannya: Mega, anak
miskin, mendapat beasiswa menjadi murid baru sanggar tari terkenal: Itnas
Ibmira. Nama sanggar ini sendiri sudah menimbulkan imajinasi: merangsang
penonton membacanya dari belakang.
Pasti akan ada cerita
tersembunyi dari nama itu. Tapi belum dibocorkan di awal sampai di tengah
cerita. Ini bagian dari rahasia di akhir cerita.
Bakat Arimbi
menimbulkan kecemburuan murid lainnya. Termasuk anak manajer tari yang juga
belajar di situ. Arimbi difitnah sebagai pencopet. Padahal uang banyak itu
hasil jualan selendang di Taman Fatahillah –dibantu teman-teman yang simpati
pada Arimbi.
Fitnah itu terjadi
justru seperti Arimbi jatuh tertimpa tangga. Arimbi lagi di puncak
kesedihannyi: ibunyi suka menari sendirian setiap kali sang ibu ingat almarhum
suaminyi. Ternyata ketahuan: ibunyi pernah punya cita-cita tinggi tapi kandas.
Terpaksa jadi penjual selendang di kaki lima sepeninggal suami –untuk
menghidupi Arimbi saat masih bayi.
Arimbi akhirnya juga
tahu ibunyi sedang sakit paru. Dan kian parah. Sampai tidak bisa jualan.
Justru di saat hampir
berhasil menjadi penari utama di sanggar itu Arimbi memutuskan: berhenti
menari. Meneruskan pekerjaan ibunyi: jualan selendang. Ingin bisa membawa
ibunyi ke dokter.
Selendang tipe jumputan
itu, di dunia nyata, ternyata produk penghuni rumah susun. Dijual di lobi
Artpreneur sore itu.
Di akhir cerita baru
ketahuan: sang ibu dulunya kawin dengan penari juga. Lalu pindah ke Jakarta.
Ingin karir tarinyi melejit ke tingkat nasional. Seperti temannyi yang sudah
lebih dulu sukses.
Mereka sewa pondokan di
rumah reot di bantaran sungai. Kena gusur. Dipindah ke rumah susun.
Nasib orang begitu
berbeda. Teman akrabnyi sukses sekali. Kaya. Sampai punya sanggar tari sendiri.
Bahkan bisa ke New York. Memperdalam tari di sana. Bertahun-tahun.
Sampai-sampai sang ibu punya cita-cita: kalau punya anak akan diberi nama sama
dengan temannyi itu.
Mengharukan: di akhir
cerita sang ibu ditengok teman lamanyi itu. Yang bernama Sinta Arimbi itu.
Diantar oleh Sinta Arimbi, anaknyi. Sang teman yang kemudian akan mengurus
kesembuhan wanita itu.
Operet Selendang Arimbi
memang bercerita di seputar rumah susun. Tapi jangan membayangkan ada adegan
kumuh atau kotor atau semrawut di panggung. Di operet ini kemiskinan
digambarkan tidak dengan kekumuhan.
Sang sutradara
kelihatan sadar sekali bahwa operet Selendang Arimbi akan ditonton golongan
atas. Tempat pementasannya saja di Artpreneur Ciputra. Harga tiketnya saja Rp
750 ribu. Yang termurah Rp 350 ribu.
Sutradara berhasil
membawa kesedihan dalam kegembiraan. Sebagai hiburan operet ini berhasil.
Penonton memang ada yang tersedan seperti saya –tapi karena terharu. Bukan
karena sedih. Muncul empati dalam keterharuan itu.
Bravo.
Selendang Arimbi
bercerita tentang rumah susun bukan dari sisi kesedihannya. Tapi potensinya.
Lalu memberikan harapan: bagaimana potensi itu menjadi keunggulan nyata.
Vero –mantan istri
Ahok itu– juga tampil. Dua kali. Dan ikut jadi pusat perhatian penonton.
Antara lain karena setting panggungnya dibuat begitu. Adegan
yang dimainkan Vero relevan dengan kemampuannya: memainkan alat musik
celo.
Plot penampilan Vero pun
sangat padu. Dan proporsional. Tidak sampai jatuh pada mentang-mentang Vero-lah
produser dan penggagas Operet Aku Anak Rusun ini.
Tiga anak Vero ada di
Artpreneur itu: putra sulungnyi jadi penonton. Ia duduk –kebetulan– di
sebelah saya bersama Olwen, teman akrabnya.
Putri dan anak
bungsunyi ikut menjadi pemain.
Operet Selendang Arimbi
ini terasa lebih istimewa karena ada drama tersendiri di baliknya: sutradaranya
meninggal tanggal 31 Oktober lalu. Justru ketika Selendang Arimbi tengah
seru-serunya di tahap latihan.
Rita Dewi Saleh,
sutradara itu, meninggal akibat sakit paru. Kanker paru. Adakah cerita sakit
parunya ibunda Arimbi terinspirasi dari sakit yang dialaminyi sendiri?
Video bagaimana Bunda
Rita melatih anak-anak rumah susun ditampilkan sebelum opera. Termasuk saat
melatih dari tempat tidurnya. Melatih sambil selang oksigen masih ada di lubang
hidungnya.
Adegan video-video itu
seperti dibuat menyatu dengan opera. Seperti intronya. Penonton menjadi sudah
terharu sejak intronya itu.
Saya sengaja menutup
diri sebelum menonton operet Selendang Arimbi. Saya tidak mau membaca berita
seputar itu. Tidak ingin tahu riwayatnya. Saya ingin menonton tanpa terpengaruh
bahan-bahan yang tersedia. Saya ingin menonton sebagai penonton.
Saya memang sempat
bertemu Vero sebelum pertunjukan. Tapi saya tidak mau ngobrol soal Selendang
Arimbi.
Saya juga bertemu dengan raja opera anak-anak masa lalu: ratu pop kita
Titiek Puspa. Tapi saya hanya mendengarkan ledakan mimpinyi. Yang masih sangat
jernih. Juga hanya untuk mengagumi kesehatannyi yang prima, kulit wajahnyi yang
tetap halus dan geraknyi yang masih enerjik. Di usianyi yang 82 tahun.
Saya juga ketemu Rina Ciputra dan Ibu Martha Tilaar yang mensponsori
operet ini. Ada juga istri Gubernur DKI Anies Baswedan. Juga hanya untuk
salaman.
Sehari setelah menonton
saya baru bertanya pada Vero. Tentang siapa nama sebenarnya pemeran Arimbi itu.
Apakah dia benar-benar anak rumah susun.
“Nama anak itu
Mega. Dari rumah susun Pulo Gebang,” ujar Vero.
Saya harus mengakui
Operet Aku Anak Rusun: Selendang Arimbi ini hasil kerja keras dan kerja cerdas.
Juga wujud sebuah empati. Bagaimana 200 anak rusun ditransformasikan ke
Artpreneur Ciputra. Dalam sebuah operet kelas Artpreneur –bukan ‘operet untuk
sebuah proyek pemda’.
Rumah susun, di operet
ini, bukan obyek. Tapi sekaligus subyek. Vero layak dapat bunga malam
itu.(Dahlan Iskan)